Kekerasan Seksual dalam Bis Kuning: Pentingnya Bystander dan Regulasi Kekerasan Seksual

Redaksi Suara Mahasiswa · 24 September 2022
6 menit

Sebagai penyesuaian terhadap penurunan kasus COVID-19 di Indonesia, perkuliahan di Universitas Indonesia kembali dilakukan secara tatap muka. Oleh karena itu, menjadi pekerjaan rumah bagi Universitas Indonesia untuk memperhatikan keamanan dan kenyamanan fasilitas mahasiswa seperti ruang kelas, kantin, transportasi dan lain-lain. Sayangnya, keamanan dalam menggunakan fasilitas di universitas Indonesia nyatanya belum sepenuhnya terpenuhi oleh warga UI, khususnya menyangkut kerentanan kekerasan seksual.

Beberapa minggu belakangan, warga UI dikagetkan dengan kabar pelecehan seksual yang terjadi di Bis Kuning (Bikun). Bikun merupakan moda transportasi yang disediakan secara gratis oleh pihak UI untuk kegiatan dan akses mobilisasi di dalam kampus. Berita ini diikuti broadcast tangkapan layar pesan singkat instagram mengenai seseorang yang menceritakan pengalamannya menyaksikan dan mencegah kekerasan tersebut terjadi.

Pelecehan seksual tersebut terjadi pada Jumat (2/9/2022) pukul 10.15 WIB di dalam salah satu Bikun rute belok kanan (biru). Berdasarkan sejumlah keterangan saksi, terduga pelaku dikatakan berusaha untuk memegang pantat korban. Namun, hingga berita ini diterbitkan, pihak Suara Mahasiswa UI belum dapat memastikan apakah korban dan terduga pelaku merupakan mahasiswa UI. Kendati saksi sempat mengatakan bahwa terduga pelaku mengenakan jaket biru bertuliskan “Engineering UI”.

Biru, bukan nama sebenarnya, menjadi salah satu penumpang yang berada di dalam bus dan menyaksikan langsung kejadian tersebut. Ketika ditemui Suara Mahasiswa pada Jumat (09/09), Ia menuturkan bahwa peristiwa tersebut terjadi ketika dia menaiki Bikun dan bertujuan ke stasiun Pondok Cina (Pondok Cina).

Pada Jumat (02/09/2022), pukul 10.15 WIB, Biru berangkat menuju Pocin dari halte Fakultas Ilmu Budaya (FIB) untuk menemui temannya. Bikun berada dalam kondisi padat penumpang di bagian tengah bus dan lenggang pada ruang bagian depan dan belakang bus. Pada saat menuju halte Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Biru mendengar teriakan dari seorang penumpang perempuan yang ditujukkan kepada seorang penumpang laki-laki.

“..ada cewek pakai kerudung gitu, tiba-tiba di dalam bikun dia bilang gini dengan nada agak tinggi, ‘Woi tangan woi!’ Digituin kan? Nah terus si yang cewek pakai kerudung ini tetap kayak ngelihatin cowok yang ada di sisi kiri aku,” tutur Biru.

Biru menuturkan penumpang tersebut berada tepat di belakang korban ketika upaya yang diduga pelecehan tersebut terjadi. Setelah berteriak, penumpang tersebut merangkul dan mengajak korban untuk bergeser menjauhi pelaku.

“Nah, terus akhirnya mbak-mbak yang pakai kerudung ini minta cewek yang enggak pakai kerudung itu (korban-read) buat mendekat ke dia gitu. Terus dirangkul dan agak ngejauh dari si cowok (terduga pelaku-read),” tutur Biru

Kejadian Serupa Lainnya di Bikun

Biru menuturkan bahwa sehari sebelum kasus ini terjadi, tepatnya pada Kamis (1/9), Ia mendengarkan keluhan temannya yang juga menjadi korban pelecehan seksual di dalam Bikun. Korban menaiki Bikun dari halte FEB dan disentuh bagian pahanya. Berdasarkan ciri-ciri yang disebutkan oleh korban kepada Biru, keduanya terlihat mirip, sehingga Ia mengatakan terdapat kemungkinan bahwa terduga pelaku merupakan orang yang sama dengan yang Ia lihat di Bikun pada Jumat pagi. Terduga pelaku merupakan seorang laki-laki berkacamata, berjanggut, tidak terlalu tinggi, dan bertubuh gempal.

“Nah, dia juga jadi korban kayak dipegang gitu. Bagian pahanya kalau nggak salah. Ciri-cirinya itu kebetulan mirip kayak orang yang pernah aku lihat di Bikun. Itu agak berisi agak pendek cowoknya kacamata terus brewokan gitu sih.. itu yang aku ingat, ” jelas Biru.

Suara Mahasiswa UI telah berupaya menghubungi korban, sayangnya hingga artikel ini ditulis pihak kami masih belum mendapatkan respon korban.

Hopehelps: 'Kita Harus Berfokus pada Korban'

Ketika diwawancarai pada Selasa (13/09/2022), Aurelia Giacinta Tamirin, Direktur Lokal Hope Helps UI, pengada layanan tanggap dan pencegahan kekerasan seksual di Kampus UI, mengatakan dirinya mendapatkan kabar mengenai kasus pelecehan di Bikun pada Sabtu (03/09). Bertepatan dengan munculnya cuitan pada akun twitter UI base yang membagikan tangkapan layar pesan singkat mengenai cerita langsung saksi yang melihat langsung kasus tersebut.

Aurelia mengetahui kasus ini dari pesan personal yang dibagikan oleh anggota SEMAR UI (Serikat Mahasiswa Progresif UI) yang turut resah akan isu kekerasan seksual di UI.

“Jadi aku dapet kabarnya kalau ga salah itu, sehari sebelum–pokoknya ketika tweet itu muncul. Aku sendiri dikasih taunya sama anak SEMAR,” jelas Aurelia.

Aurelia mengatakan terkait pelaku, bahwa pihaknya tidak memiliki kewenangan apa-apa, tanpa persetujuan korban. Sebab, bagi HopeHelps, korban menjadi prioritas utama ketika kasus kekerasan seksual terjadi.

“... Kita memang tidak punya kewenangan untuk nge-track pelaku atau kemudian meminta bertemu dengan pelaku tanpa persetujuan dari korbannya itu sendiri. Karena fokus tindakan HopeHelps harus didasarkan persetujuan korban,” jelas Aurelia.

Hal ini karena dalam kasus kekerasan seksual korban menjadi pihak yang paling dirugikan sehingga mereka harus menjadi pihak yang diutamakan. Bukan kemarahan kita terhadap pelaku.

“Karena lagi-lagi yang paling dirugikan adalah korban, jadi mereka yang harus diutamakan, bukan kemarahan kita terhadap pelaku,” pesan Aurelia.

Pentingnya Pengetahuan Bystander Intervention

Guna berfokus pada korban, Aurelia mengatakan penting bagi semua orang untuk paham terkait bystander intervention ketika menyaksikan kekerasan seksual. Bystander adalah individu yang mengamati atau menyaksikan kekerasan seksual, tidak secara langsung terlibat, tetapi memiliki pilihan untuk mengintervensi atau melakukan sesuatu terhadap kejadian tersebut  (Tabachnick, 2012).

“Menurut aku penting untuk semua orang untuk paham terkait bystander intervention supaya kalo kejadian kita ga terlalu bingung. Di Google ada banyak, tapi intinya itu cara terkait bagaimana saksi dapat mengintervensi tindakan kekerasan seksual baik secara langsung maupun tidak langsung,” tutur Aurelia.

Ia menjelaskan terdapat lima jenis intervensi yang dapat dilakukan ketika menyaksikan terjadinya kasus kekerasan seksual. Pertama, Distract, mendistraksi korban atau pelaku seperti mengajak mengobrol atau mengalihkan perhatian korban atau pelaku. Intervensi ini bertujuan untuk menggagalkan peristiwa kekerasan seksual yang terjadi.

Kedua, Delegate, yakni mencari bantuan pihak lain seperti melaporkan kepada pihak berwenang seperti sopir, dalam konteks wilayah UI dapat melaporkan ke Pengamanan Lingkungan Kampus (PLK UI) dan Hope Helps UI.

Ketiga, Document, mendokumentasikan kejadian atau wajah pelaku. Hal yang perlu diperhatikan dalam langkah intervensi ini adalah selalu menanyakan kepada korban apa yang ingin dilakukan terhadap hasil dokumentasi yang didapatkan, jangan mengunggah atau mengirim dokumentasi tersebut tanpa persetujuan korban.

Keempat, Delay, intervensi yang dilakukan ketika pelaku sudah pergi atau menunggu hingga situasinya memungkinkan untuk adanya intervensi. Kelima, Direct, yakni konfrontasi secara langsung, tetapi perlu memperhatikan keselamatan bystander, korban, dan orang-orang disekitarnya. Mengutip Camelien (2021), jalankan interaksi yang pendek dan ringkas dengan pelaku dan terus berada disisi korban.

Selain bystander intervention, Aurelia juga menghimbau mengenai pentingnya pertolongan pertama psikologis. Untuk memberikan tindakan kepada pelaku, kita memerlukan persetujuan korban.

“... tidak semua korban mau untuk dibantu, ga semua korban mau kasusnya dilaporkan atau pelakunya dicaritahu. Tapi kalau korbannya kasih consent, kasih dia bantuan. Tolong mereka dari sisi yang sifatnya tuh memang sudah darurat, misalnya dia memang mau dicelakai atau sudah tidak bisa bergerak, tapi yang lainnya tergantung korban,” jelas Aurelia.

Kepada UI: Jangan Diam!

Kasus pelecehan seksual di Bikun memunculkan keresahan berbagai pihak. Hal ini juga dirasakan oleh Biru. Ia mengungkapkan bahwa beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkup UI membuat dirinya dan berbagai mahasiswa lain merasa tidak nyaman.

“Resah banget karena enggak hanya di tingkat fakultas, karena kejadian KS di lingkup UI pun juga banyak. Jadi, eh kita semua merasa kayak enggak nyaman, ngerasa kayak KS di mana-mana.”

Dalam upaya menangani keresahan tersebut, kepada UI, Biru berharap dibentuknya peraturan terkait kekerasan seksual agar pelaku mendapatkan hukuman secara legal. Bagi Biru, hukuman secara sosial belum tentu efektif sehingga diperlukannya sanksi yang layak untuk pelaku.

“Minta tolong banget sih dari pihak UI-nya buat bikin peraturan terkait KS, biar si pelaku ini bisa dihukumlah secara legal. Karena yang namanya hukuman secara sosial itu enggak cukup gitu lho, harus ada sanksi yang setara buat pelaku,” ungkap Biru.

Selain jaminan hukum, Biru juga berharap adanya penambahan fasilitas berupa CCTV di dalam Bikun guna menjadi bukti ketika ingin melaporkan kasus kekerasan seksual.  Sementara bagi pengguna Bikun, Biru meminta agar penumpang untuk menyebar dan tidak berkumpul di tengah Bikun guna memberikan ruang dan menghindari terjadinya kasus kekerasan seksual.

“... tambahin CCTV sih, itu penting. Agar kalau kita mau lapor ada bukti yang jelas gitu. Sama minta buat temen-temen semua juga yah, karena bikun sering padat ditengah, minta tolong aja buat digeser kedepan dan kebelakang biar ga terlalu sesek juga. Biar orang juga ga asal main megang, ungkap Biru.

Bagi Aurelia, Ia berharap UI dapat berfokus pada korban dan tidak menutup mata terhadap kasus kekerasan seksual yang beberapa kali terjadi di UI. Meski terdapat kepedulian dari Civitas UI dan hadirnya organisasi-organisasi yang bergerak dalam penanganan kekerasan seksual.

“…harapan aku sendiri adalah supaya lagi lagi jangan tinggal diam sih maksudnya. UI-nya harus melek sama permasalahan-permasalahan mahasiswa…karenakan tetap aja itu kan transportasi yang disediakan oleh UI–UI yang sebenarnya punya kewenangan untuk mengatur bagaimana jalannya transportasi tersebut,” ujar Aurelia.

Sementara dalam penanganan kasus kekerasan seksual di UI, Ia berharap korban menjadi pihak yang selalu diutamakan dan segala peraturan yang dibuat bisa mengakomodasi seluruh kebutuhan korban.

“Semoga penanganan kasus di UI selalu korban yg diutamakan, pokoknya gimanapun bentuk peraturannya, itu harus bisa mengakomodasi seluruh kebutuhan korban,” tutup Aurelia.

Teks: Loga Priti Dewi
Editor: Dian Amalia Ariani
Ilustrasi: Amalia Ananda

Pers Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, dan Berkualitas!

Referensi

Camelien, M. M. P. (2021, November 22). Menjadi Bystander dalam Peristiwa Pelecehan Seksual: Apa yang Harus Dilakukan? – Yayasan Pulih. Yayasan Pulih. Retrieved September 21, 2022, from https://yayasanpulih.org/2021/11/menjadi-bystander-dalam-peristiwa-pelecehan-seksual-apa-yang-harus-dilakukan/

Tabachnick, J. (2012). A Sexual Violence Bystander Intervention Toolkit. New York State Department of Health. Retrieved September 21, 2022, from https://www.health.ny.gov/publications/2040.pdf