Keluarkan Pernyataan Sikap Atas Pembubaran FPI, BEM UI Menuai Kritik

Redaksi Suara Mahasiswa · 11 Januari 2021
4 menit

By Satrio Alif, Fila Kamilah, Syifa Nadia

Pemerintah telah resmi mengeluarkan kebijakan pembubaran Front Pembela Islam (FPI) melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) yang diteken oleh enam lembaga tinggi negara pada 30 Desember 2019 lalu. Penetapan SKB ini dimungkinkan oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan/Perppu 2/2017. Meskipun begitu, hingga saat ini keputusan tersebut masih menyisakan polemik. Keputusan ini disambut dengan baik oleh sebagian lapisan masyarakat, akan tetapi beberapa pihak menyoroti upaya pembubaran FPI sebagai bentuk represi dan pemberangusan demokrasi oleh pemerintah.

Pemerintah mengklaim bahwa tindakan pembubaran ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, di antaranya ialah FPI belum memenuhi persyaratan untuk perpanjangan SKT, kerap terlibat dalam tindak pidana dan kerap melakukan razia/sweeping yang seharusnya menjadi kewenangan pihak berwajib. Dalam sebuah kesempatan wawancara oleh Associated Press (27/7/2019), Presiden Jokowi pun sempat menyatakan bahwa pemerintah mungkin saja tidak memperpanjang izin FPI apabila tidak sejalan dan mengancam kedaulatan negara.

Sikap BEM UI terhadap Pembubaran FPI

Melalui tautan yang diunggah di akun media sosialnya, BEM UI menentang tindakan pembubaran organisasi kemasyarakatan yang dilakukan oleh pemerintah tanpa proses peradilan, sebagaimana dapat dilihat dari prosedur pelarangan dan pembubaran Front Pembela Islam melalui SKB tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam. Menurut BEM UI, SKB tersebut menyalahi prinsip-prinsip demokrasi.

BEM UI mengeluarkan pernyataan sikap sebagai berikut:

1. Mendesak negara untuk mencabut SKB tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FPI dan Maklumat Kapolri tentang Kepatuhan terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FPI;

2. Mengecam segala tindakan pembubaran organisasi kemasyarakatan oleh negara tanpa proses peradilan sebagaimana termuat dalam UU Ormas;

3. Mengecam pemberangusan demokrasi dan upaya pencederaian hak asasi manusia sebagai bagian dari prinsip-prinsip negara hukum;

4. Mendesak negara, dalam hal ini pemerintah, tidak melakukan cara-cara represif dan sewenang-wenang di masa mendatang; dan

5. Mendorong masyarakat untuk turut serta dalam mengawal pelaksanaan prinsip-prinsip negara hukum, terutama perlindungan hak asasi manusia dan jaminan demokrasi oleh negara.

BEM UI Menerima Kritik dari Berbagai Pihak

Pernyataan sikap yang dikeluarkan oleh BEM UI dalam waktu cepat menyebar luas dan memancing berbagai reaksi dari masyarakat. Berbagai tudingan tertuju pada BEM UI, misalnya tuduhan bahwa BEM UI telah ‘disusupi’ oleh golongan ekstrimisme. Bahkan, postingan BEM UI terkait tuntutan dihapus oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Menanggapi hal ini, Rozy Brilian selaku Koordinator Bidang Sosial-Politik BEM UI 2020 menyatakan terdapat kesalahpahaman yang diarahkan pada BEM UI, “Sebenarnya menurut kami (tanggapan-red) itu bagus, untuk membuka sebuah ruang dialektis, di mana ada tesis (dan-red) ada antitesis, kemudian berkembang diskursus yang ada. Tapi sebenarnya yang kami point out di sini adalah terkait dengan diskursus (perundang-undangan-red) ya. Kami juga sangat menyayangkan, ketika ada orang yang menuding jauh sekali dari aspek-aspek yang substansial,” jelasnya.

Rozy juga menyoroti Perppu Nomor 2 Tahun 2017 yang problematik. Perppu tersebut dinilai dapat menjadi landasan dari kesewenang-wenangan pemerintah untuk membubarkan organisasi kemasyarakatan tanpa peran lembaga peradilan. Menurut Rozy, hal ini tentunya bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar negara hukum dan perlindungan Hak Asasi Manusia. Negara berprinsip hukum seharusnya menerapkan asas due process of law yang menekankan bahwa setiap orang berhak memperoleh proses hukum yang adil dan tidak memihak tanpa terkecuali, bukan mengambil keputusan secara sepihak.

“Nanti selanjutnya kan kita nggak akan pernah tahu apakah ada ormas-ormas lagi yang kemudian dibubarkan oleh pemerintah. Jadi begini, kita juga memperhatikan kontinuitas dari bahaya undang-undang ini. Kita tidak pernah tahu organisasi kemasyarakatan apa yang akan dibubarkan oleh pemerintah lewat subjektivitas dari pemerintah itu sendiri,” ungkapnya.

Menyusul tudingan-tudingan yang muncul, BEM UI pun kemudian mengeluarkan “Rilis Pernyataan Disinformasi dan Tudingan Kepada BEM UI” melalui akun media sosialnya. Dalam rilis pernyataan tersebut, BEM UI menyatakan bahwa mereka mengecam keras dan tidak setuju terhadap seluruh bentuk kekerasan terutama yang berlatar belakang agama dan meminta Pemerintah Indonesia untuk bersikap tegas dan konsisten dengan tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Tak hanya BEM UI, beberapa lembaga seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Koalisi Masyarakat Sipil, dan Amnesty Indonesia pun menyatakan sikap yang sama bahwa pelarangan terhadap segala kegiatan FPI berpotensi mendiskriminasi dan melanggar hak berserikat dan berekspresi di negara ini.

Tidak lama setelah pernyataan sikap tersebut diunggah ke laman Instagram BEM UI, postingan tersebut tiba-tiba raib. Rozy menyatakan bahwa hilangnya postingan awal tersebut bukan karena dihapus pihak BEM UI. Tak ayal, hal ini mengundang berbagai pertanyaan. “Benar-benar di luar kehendak kami kalau misalkan tiba-tiba post itu hilang, tidak ada notifikasi dari Instagram juga, jadi benar-benar tiba-tiba (menghilang-red) dan kami menduganya ada orang yang menghapus,” ujar Rozy.

Tindakan BEM UI, Tepatkah?

Heru Susetyo, salah satu Dosen Fakultas Hukum UI, menilai bahwa proses pembubaran sepihak yang dilakukan oleh pemerintah laksana mengulang rezim orde baru. Ia menyatakan kesetujuannya atas pernyataan sikap yang BEM UI keluarkan. “Setuju dengan BEM UI, FPI memang masalah, tapi gunakan pendekatan hukum bukan politik,” terangnya.

Adapun, UU Ormas tahun 2017 yang menjadi landasan dari penetapan SKB oleh pemerintah juga dipenuhi dengan pasal karet. Pasal 60 ayat (2) dalam UU tersebut berbunyi “Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 59 ayat (3) dan ayat (4) dijatuhi sanksi administratif dan/atau sanksi pidana.” Tidak ada mekanisme yang jelas untuk menentukan batas-batas ‘melanggar ketentuan’. Sehingga, proses peradilan menjadi penting dalam hal ini.

Sementara itu, NA, seorang mahasiswi UI, menyebut kritik yang dilontarkan oleh BEM UI dengan sebutan “rabun situasi”. Meskipun BEM UI telah mengklarifikasi bahwa pernyataan sikap yang dikeluarkannya merupakan bentuk kritik atas cacatnya UU Ormas yang berlaku di Indonesia dan bukan sebagai bentuk keberpihakan terhadap FPI, poin nomor satu dalam pernyataan sikap tersebut dinilainya terlalu kontroversial. Ia juga mengaku dirinya lega ketika pemerintah dapat membubarkan FPI, karena NA menilai keberadaan ormas tersebut cukup meresahkan. “Menurut gue, it’s just a too strong statement untuk mendesak negara mencabut SKB mengenai FPI tanpa melihat situasi yang ada saat ini. Menurut gue, fine-fine aja bahwa undang-undang itu dipakai untuk membatasi gerak ormas yang berpotensi untuk jadi makar,” tutupnya.

Teks: Satrio Alif, Fila Kamilah, Syifa Nadia
Kontributor: Nada Salsabila
Foto: Istimewa
Editor: Nada Salsabila

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas dan Berkualitas!