Opini: Kerap Terjebak Citra Politikus, Pemilih Muda Tidak Sekritis Itu

Redaksi Suara Mahasiswa · 23 Desember 2023
3 menit

Pesta demokrasi akan hadir dalam waktu dekat. Para bakal calon legislatif maupun eksekutif mengeluarkan berbagai jenis ‘jurus’ untuk memikat hati para pemilih muda. Pemilih muda digadang-gadang akan menjadi turning point perpolitikan di Indonesia yang lebih baik karena dianggap lebih kritis dan rasional dalam memilih calon pemimpin yang akan berkontestasi. Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan bahwa jumlah pemilih kritis pada pemilu mendatang mencapai 72%. Pemilih kritis ini dikategorikan sebagai pemilih yang tidak mudah goyah atau dipengaruhi oleh apa pun dalam memilih calon yang berkontestasi.

Berdasarkan hasil riset Center for Strategic and International Studies (CSIS) pada September 2022 silam, pemilih muda yang berpartisipasi pada Pemilu 2024 nanti diprediksi akan mencapai angka 54% dari total pemilih di Indonesia. Tolok ukur pemilih muda tersebut merujuk pada klasifikasi yang dirumuskan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) di mana mereka yang berusia 17–39 tahun. Definisi tersebut pun memiliki kategori di antaranya generasi Z (berusia 17–23 tahun) dan generasi milenial (berusia 24–39 tahun). Melihat data tersebut yang akan mendominasi pada pesta demokrasi nanti, benarkah pemilih muda akan menjadi turning point dan game changer dalam demokrasi dan perpolitikan di Indonesia?

Pemilih Muda Lebih Kritis, Pemilih Muda yang Mana?

Pertanyaan tersebut menjadi penting karena ketika berbicara mengenai pemilih muda, maka selalu dikaitkan dengan pemilih yang lebih kritis dan rasional. Indikator jumlah yang mampu dikatakan kritis bersifat semu jika dilihat dari tingkat usia seseorang. Namun, jika melihat dari tingkat pendidikan, umumnya orang yang mengenyam pendidikan tinggi acapkali disebut-sebut sebagai seseorang yang lebih kritis dan mampu mengambil keputusan sendiri yang berdasar.

Hasil riset BPS pada tahun 2022 menunjukkan bahwa hanya 37% generasi  milenial yang menamatkan pendidikan sekolah menengah atas (SMA/sederajat), dan hanya sekitar 10,4% yang mampu menyelesaikan pendidikan tinggi hingga mendapatkan gelar S-1. Tentu generasi Z memiliki persentase lebih tinggi dibandingkan generasi milenial. Melansir dari Tempo, terhitung hanya sebanyak 57% generasi Z yang terdaftar di perguruan tinggi saat ini. Namun, hal ini tentunya tidak bisa menjadi argumen utama bahwa pemilih muda tidak sekritis seperti pandangan masyarakat pada umumnya.

Pendidikan formal yang diterima oleh generasi muda tidak selalu mencakup pendidikan politik. Padahal, pendidikan politik untuk anak muda memegang peran penting dalam pembentukan generasi yang melahirkan demokrasi yang lebih baik dan meningkatkan kesadaran akan politik di negaranya. Tidak hanya di sekolah, bahkan juga terjadi di perguruan tinggi, khususnya pada mahasiswa yang mengambil ilmu eksak.

Mahasiswa dari disiplin sains dan teknologi (saintek) cenderung kurang mendapatkan pendidikan politik yang memadai dibandingkan dari disiplin sosial dan humaniora (soshum). Hal ini dikarenakan kurikulum saintek pada dasarnya dirancang untuk memberikan pengetahuan teknis dan spesifik kepada masing-masing bidang mahasiswa. Selain itu, pendidikan politik pada disiplin soshum relatif menjelaskan secara umum dan dasar, sehingga membuat para mahasiswa memaknai pemilu ala kadarnya, hanya sebatas prosedural–tidak mengkritisi secara substansial sebagai pemilih.

The Indonesian Institute (TII) dalam risetnya menjelaskan, 58% generasi muda di Indonesia belum mengetahui profil, visi-misi, dan program kerja dari partai politik yang akan menjadi peserta Pemilu 2024. Hal ini juga berdampak terhadap minimnya calon yang dikenali oleh anak muda, khususnya calon legislatif (caleg) yang akan berkontestasi.

Seringkali pemilihan umum presiden (pilpres) dianggap lebih “seksi” daripada pemilihan umum legislatif (pileg) di Indonesia. Ini menyebabkan pemilih tidak mementingkan caleg-caleg yang sedang berkontestasi, memilih asal-asalan, bahkan tidak mencoblos sama sekali. Padahal, keduanya memiliki peranan penting dan kedudukan yang sama, serta memiliki dampak yang signifikan pada arah kebijakan dan tata kelola negara. Mengatasi masalah seperti ini, pentingnya sinergi lembaga pemerintah, partai politik, maupun organisasi nirlaba melakukan sosialisasi lebih masif dalam memperkenalkan politik kepada generasi muda di Indonesia.

Mentalitas “Bandwagon”

Pemilih muda sering dianggap sebagai kelompok demografis yang paling aktif bermedia sosial. Aktif bermedia sosial bisa menarik sentimen, membentuk bias, serta memengaruhi pilihan pemilih muda dalam memilih figur calon pemimpin yang berkontestasi di Pemilu 2024. Selain itu, kebanjiran informasi yang didapatkan oleh generasi muda di media sosial tanpa dianalisis dengan baik dapat mengurangi mereka memahami isu-isu dengan mendalam dan kritis.

Keaktifan generasi muda di media sosial menjadi peluang tersendiri untuk calon yang akan berkontestasi di Pemilu 2024. Para bakal calon legislatif dan calon presiden nampaknya harus serius mencitrakan diri di media sosial untuk mendapatkan suara-suara pemilih muda. Mereka pun berlomba-lomba untuk mendapatkan pengakuan diri sebagai “anak muda”, mulai dari pakaian, gaya bahasa yang dipakai, hingga aktivitas yang dilakukan.

Kendati sifatnya yang sedikit memaksa, hal ini terbukti memiliki dampak terhadap sentimen pemilih muda. Survei Tirto Juli 2023 lalu menunjukkan, lebih dari 90% responden menyatakan bahwa aktivitas para tokoh di media sosial memengaruhi sentimen mereka. Survei tersebut menambahkan, mayoritas responden mengakui ada kans cukup tinggi untuk memilih figur yang lebih aktif di media sosial dibandingkan yang tidak aktif. Hal ini secara tidak langsung membuat para figur akan menjadikan generasi muda sebagai komoditas politik. Keputusan pemilih muda akan dipengaruhi berdasarkan popularitas seorang figur, bukan berdasarkan visi, misi, dan rekam jejak para kandidat.

Pada akhirnya, generasi muda tetaplah menjadi komoditas dalam politik. Meskipun dianggap memegang porsi besar dalam membentuk masa depan demokrasi negara, namun dengan pendidikan dan kesadaran politik yang rendah, rasanya terlalu berlebihan jika mereka dianggap sebagai "turning point". Kelompok generasi muda tetap saja bisa mudah dimanipulasi retorika politik tanpa substansi oleh para calon yang berkontestasi.

Opini ini merupakan kontribusi dari fellowship "Pemilu dan Anak Muda" yang diselenggarakan oleh Perludem.

Teks: Abira Massi Armond
Editor: Dian Amalia
Ilustrator: Amalia Ananda

Pers Suara Mahasiswa UI 2023
Independen, Lugas, Berkualitas