Nasib Perempuan Muda Berpolitik, Sekedar Untuk Penuhi Kuota?

Redaksi Suara Mahasiswa · 11 Desember 2023
10 menit

Di tepi Taman Tunas Bangsa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI), tepat di depan Gedung F, Auditorium Juwono Sudarsono, Stevi duduk pada salah satu bangku beratap hijau yang disebut ‘kubikel’ oleh mahasiswa FISIP UI. Saat ditemui oleh Suara Mahasiswa UI pada Kamis siang (15/03), mahasiswi jurusan ilmu politik angkatan 20 itu segera menyapa dengan senyum hangat. Hari itu, Stevi menceritakan dengan jujur bagaimana ia memutuskan untuk memasuki dunia politik dengan tekad yang kuat, walaupun sebelumnya ia sempat merasa ragu.

Dalam perjalanannya, ia pernah merasakan dilema yang sama ketika harus memilih jurusan ilmu politik sebagai jalur pendidikannya pun terjun ke dunia politik sebagai rencana karirnya.

"Jujur, sebelum gua memutuskan untuk ikut politik praktis, gua mempunyai ketakutan yang cukup besar," ujar Stevi memulai ceritanya.

Ia menekankan akar dilema utamanya bahwa politisi perempuan seringkali menjadi objek seksualisasi, baik penampilannya hingga posisinya. Misalnya, beberapa politisi laki-laki bahkan sengaja mencari pasangan yang menarik secara fisik untuk mendulang suara, sehingga dalam hal ini perempuan digunakan sebagai “get voters” oleh calon politisi menjelang pemilu.

"Jelas sulit sekali untuk mengubah budaya patriarki di dunia politik. Boro-boro di organisasi politik, terkadang di kelas kuliah aja, kita bisa melihat bahwa lebih banyak laki-laki yang bertanya. Di sini terlihat bahwa tradisi bersuara itu lebih dimiliki laki-laki, sehingga mungkin banyak perempuan udah minder duluan," ujarnya dengan nada prihatin.

Tokenisme ini tidak hanya berlaku pada pilihan istri pejabat. Meski Indonesia sudah memiliki aturan resmi keterwakilan politik perempuan, ia menyaksikan bagaimana di lapangan perempuan yang dicalonkan nyatanya seringkali dijadikan sekedar token untuk memenuhi syarat kuota.

“Seringkali partai politik masukin perempuan ke politik hanya untuk memenuhi syarat administratif. Perempuan-perempuan ini kadang hanya dimajuin di dapil-dapil (daerah pilihan–read) yang bukan basis partai, jadi mereka maju hanya dijadikan suicide mission aja, udah pasti ngga kepilih,” terang Stevi.

Stevi memberikan contoh, “Misalnya partai A kuat di Jawa Barat, tapi lemah di Jawa Tengah. Dia dicalonkan di Jawa Tengah.  Yang penting kan partainya mencalonkan 30% perempuan, masalah dia menang atau engga, dia dicalonkan di dapil mana, itu jadi kewenangan ketua partainya lagi kan?”

Alhasil Stevi menyimpulan, hal ini menggambarkan bahwa partai-partai politik di Indonesia belum memiliki komitmen dalam mengkaderisasi anggota perempuannya dengan baik. Apalagi jika perempuan tersebut masih muda, dia sering mendengar aturan tidak tertulis mengenai ‘senioritas’ dalam pencalonan.

“Bahkan jika perempuan tersebut, penokohannya sudah oke, dia udah dikenal di dapilnya, tapi ngga dimajuin karena dia masih muda dan ngga senior, karena partai lebih prioritasin yang senior dulu, biar ngga ‘ngelangkahin senior-seniornya’,” jelas Stevi.

Perempuan yang berminat berkarir di dunia politik seperti Stevi mungkin tidak hanya akan mendapat tantangan dari eksternal, tapi juga internal. Misalnya, sebagai perempuan keluarganya seringkali bimbang mengenai pilihan karir Stevi. Kekhawatiran ini terkait dengan gender perempuan yang identik dengan peran domestik, yang seolah harus lebih memilih mengurus rumah tangga ketimbang mengejar karirnya.

“Keluarga gua alhamdulillah support, walaupun kadang tetap ada kekhawatiran dari keluarga gua, kayak “nanti kamu ketika berkeluarga gimana? Anaknya mau dititipin atau gimana?”

Stevi sadar betul, tidak mudah bagi seorang anak muda, dari keluarga yang bukan pejabat, bukan pengusaha, perempuan pula, untuk memiliki akses karir yang lancar sebagai politisi. Jalan yang ditempuhnya akan terjal dan berbatu.

Tetapi, tantangan-tantangan ini tidak lantas menyurutkan ambisinya. Hingga saat ini, ia masih mempertahankan idealismenya dan berharap kultur politik di Indonesia akan membaik dari segi keadilan gendernya dalam beberapa tahun ke depan.

"Jika bukan kita, orang-orang sipil, yang akan membawa perubahan? Kita tidak bisa hanya mengandalkan elit politik untuk memahami masalah rakyat biasa seperti kita," kata Stevi sambil mengangguk tegas, penuh keyakinan dalam suaranya.


Keterbatasan akses perempuan untuk memajukan isu-isu strategis perempuan dalam dunia politik adalah salah satu keprihatinan utama Stevi. Dalam cakupan yang lebih spesifik, menurutnya saat ini politisi perempuan yang berada di legislatif dan eksekutif, mayoritas memiliki privilese secara ekonomi. Artinya, keterwakilan perempuan pun belum menjamin kebijakan yang dihasilkan akan menguntungkan seluruh kalangan perempuan.

"Kalaupun perempuan sudah berhasil terpilih, pertanyaannya adalah, apakah mereka benar-benar memiliki pengaruh dalam menghasilkan kebijakan yang menguntungkan perempuan? Pernahkah kita melihat perempuan memimpin perlawanan dan menggabungkan kepentingan perempuan secara efektif di parlemen? Sayangnya, terkadang ketika mereka sudah duduk di sana, suaranya justru meredup," ungkap Stevi dengan nada prihatin.

Dia juga menyoroti pentingnya solidaritas perempuan dalam perpolitikan, meskipun seringkali solidaritas ini lebih tampak di luar pemerintahan, seperti dalam organisasi non-pemerintah (NGO) dan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), ketimbang dalam arena politik praktis. Hal ini menunjukkan bahwa ada banyak pekerjaan yang masih harus dilakukan untuk memberdayakan perempuan dalam dunia politik agar mereka dapat berperan secara maksimal dalam mengadvokasi isu-isu perempuan yang penting.

Meski dia melihat budaya politik hari ini masih jauh dari kata ideal, menurutnya, idealisme butuh kesabaran dan keterwakilan politik perempuan butuh regenerasi.

“Semua angka-angka keterwakilan di parlemen maupun eksekutif, itu akan bisa bertahan dan merelevansikan keterwakilannya kalau ada regenerasi,” tutup Stevi.

Mengapa Angka Partisipasi Perempuan di Dunia Politik Masih Sangat Rendah?

Keresahan Stevi sebagai perempuan muda yang berminat berkarir di dunia politik tentu sangat beralasan. Selama berabad-abad, budaya patriarki mengunci akses perempuan ke ranah publik, khususnya dalam posisi-posisi strategis seperti politik. Berbagai riset sosial menunjukkan pentingnya partisipasi politik perempuan pada isu-isu penting seperti perubahan iklim, keadilan rasial, kesetaraan gender, serta pembangunan berkelanjutan. Perempuan merupakan pendukung kuat kebijakan kolaborasi dan akuntabilitas antar generasi menuju dunia yang lebih adil, berkelanjutan, dan setara. Sayangnya, hingga saat ini data menunjukkan bahwa suara perempuan masih kurang terwakili di setiap tingkat pengambilan keputusan di seluruh dunia.

Sumber: Data UN Women/Diolah oleh Suma UI

Data UN Women per 1 Januari 2023 menunjukkan dari 195 negara di dunia, hanya 17 negara yang memiliki Kepala Negara perempuan, hanya 19 negara yang memiliki Kepala Pemerintahan perempuan, dan hanya 14 negara yang mencapai 50% atau lebih jumlah perempuan dalam kabinet. Dengan kata lain, sekitar 90% posisi pengambilan kebijakan tertinggi di negara-negara di dunia didominasi laki-laki. Dengan kondisi ini, kesetaraan gender di dunia politik mungkin baru dapat tercapai 130 tahun lagi.

Kendati berjalan dengan sangat lambat, tingkat keterwakilan perempuan di parlemen nasional secara global mengalami peningkatan secara bertahap dari 15 persen pada tahun 2002 menjadi 19,8 persen pada tahun 2012. Pertanyaannya, mengapa angka partisipasi perempuan di dunia politik berjalan lambat?

Sejarah mencatat betapa sulitnya perempuan mendapatkan hak pilih (voting rights). Pemilu pertama di dunia diselenggarakan di Athena, Yunani pada 508-507 SM. Saat itu, perempuan dikecualikan dari pemilihan umum karena masyarakat menganggap otak perempuan tidak memiliki nalar yang sempurna untuk menentukan pilihan politik. Bahkan di negara yang dianggap paling demokratis sekalipun, di Amerika Serikat, perempuan baru mendapatkan hak pilihnya setelah 144 tahun Amerika merdeka.

Hingga pada tahun 1952, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Politik Perempuan menetapkan bahwa “perempuan berhak untuk memberikan suara dalam semua pemilihan dengan syarat yang sama dengan laki-laki, tanpa diskriminasi apa pun.” Oleh karena itu, tidak heran mengapa hingga saat ini partisipasi politik perempuan masih minim. Jangankan mencalonkan diri, untuk mendapatkan hak memilih saja, perlu lebih dari seratus tahun perjuangan.

Di Indonesia sendiri, hak pilih perempuan sudah diberikan sejak pemilu pertama tahun 1955. Hasil rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT) menunjukkan bahwa jumlah pemilih perempuan Indonesia pada pemilihan umum tahun 2019 lebih banyak dari laki-laki. Dari total 187 juta pemilih, ada 92,9 juta pemilih perempuan.

Namun, jumlah pemilih perempuan yang banyak ini tidak diimbangi dengan jumlah perwakilan politik yang proporsional. Upaya untuk meningkatkan keterwakilan politik perempuan di Indonesia sudah didorong sejak tahun 2003 dengan lahirnya berbagai aturan hukum yang mendorong kesamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan di dalam organisasi sosial politik dan badan perumusan kebijakan, mulai dari menjamin persamaan hak memilih dan dipilih hingga menempati posisi jabatan birokrasi.

Selain aturan pemberlakukan kuota pencalonan perempuan minimal 30% pada setiap partai politik, diterapkan pula “zipper system” yang mengatur agar dalam setiap tiga bakal calon di badan legislatif atau eksekutif, ada sekurangnya satu orang perempuan yang mendapatkan nomor urut jadi, yaitu pada tiga nomor urut pertama, tidak di bawah nomor urut tersebut. Kendati demikian, aturan-aturan ini belum dapat menjadi jaminan keterwakilan politik perempuan.

Hal ini dikonfirmasi oleh Ikhaputri Widiantini, Dosen Filsafat Universitas Indonesia (UI) sekaligus akademisi feminis Jurnal Perempuan yang akrab disapa Upi mengatakan bahwa berbagai aturan hukum yang dibuat itu belum tentu akan menambah jumlah perempuan atau menambah jumlah kebijakan pro-perempuan.

“Indonesia memang memiliki berbagai kebijakan afirmasi seperti kuota 30% untuk perempuan, tapi kadang-kadang orang-orang merasa cukup dengan kebijakan afirmasi saja. Padahal kenyataannya, banyak partai-partai mencalonkan perempuan hanya untuk memenuhi persyaratan administratif. Jadinya tokenisme, yang penting ada perempuannya,” ujar Upi pada Rabu (15/03).

“Oke, ada partisipasi, tapi apakah opini atau suara perempuan di dalamnya dipertimbangkan?” tanya Upi.

Tsamara Amany, politikus perempuan Indonesia yang pernah menjabat sebagai Ketua DPP PSI selama 2017-2022 melontarkan hal senada. Berdasarkan pengalamannya, Tsamara melihat sistem dan kultur partai di Indonesia masih sangat maskulin, sehingga ajakan untuk masuk ke dunia politik terhadap perempuan tampak sebatas basa-basi saja.

eh, ada saudara perempuan, ngga? suruh nyaleg,” ujar Tsamara menirukan kaderisasi dan pencalonan perempuan dalam partai politik seringkali hanya untuk memenuhi kuota afirmasi pada Rabu (15/03).

Dengan modal politik yang minim, hanya sedikit dari perempuan-perempuan ini yang bisa menang dalam politik formal. “Akhirnya cuma sedikit dari perempuan-perempuan ini yang punya kemampuan bertarung melawan politisi-politisi yang lebih handal dan senior,” tambah Tsamara.

Mengekor ironi tersebut, Tsamara menegaskan bahwa belum banyak partai yang berinisiatif dalam melakukan pemberdayaan serius terhadap anggota-anggota perempuannya. “Harus diakui, bahwa saat ini belum banyak partai di Indonesia yang serius dalam melakukan kaderisasi terhadap anggota-anggota perempuannya,” terang Tsamara.

Budaya Patriarki Masyarakat Hambat Hak Politik Perempuan

“Pertanyaan pertama yang diajukan publik kepada perempuan yang maju jadi politisi bukan rekam jejak politiknya, tapi udah bener belum rumah tangganya? Yang ditanya justru urusan domestiknya dulu,” tutur Tsamara.

Pengalaman miris Tsamara ini bukan sekedar kejadian personal, namun menjadi fenomena yang seringkali menimpa politisi perempuan. Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terkait pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun 2018 menunjukkan iklim patriarkis dalam perpolitikan Indonesia menghambat kesempatan mereka untuk menang.

Stigma misoginis bahwa perempuan tidak cocok memimpin karena karakter feminimnya masih kental bertahan dalam kultur politik, baik di Indonesia maupun di tingkat global. Alhasil, ketika mencalonkan diri, perempuan seringkali diragukan dan diremehkan kemampuannya. Padahal berbagai riset sosial menunjukkan organisasi –baik profit dan non-profit– yang memiliki lebih banyak pemimpin perempuan, performa organisasinya jauh lebih besar. Gaya kepemimpinan perempuan yang mengedepankan empati juga memiliki banyak kelebihan, mulai dari menguatkan kerja sama, efisiensi, performa pelayanan, hingga manajemen krisis. Contoh paling baru adalah studi di Brazil menunjukkan negara dengan pemimpin perempuan mencegah angka kematian COVID-19 lebih banyak daripada laki-laki.

Sayangnya, hasil riset ini seringkali diinvalidasi.

Jika perempuan di posisi strategis menunjukkan sifat yang lembut, maka disebut tidak cocok untuk memimpin karena terlalu emosional. Sementara jika dia menunjukkan sisi asertifnya, Ia akan menerima cemoohan sebagai terlalu bossy. Dengan demikian, pemimpin perempuan pun berada di posisi double bind atau apa saja yang dilakukannya adalah salah. Tidak hanya diremehkan, jika perempuan tersebut memiliki kapasitas memimpin, tetap publik akan mempertanyakan niatnya karena Ia dianggap akan mengabaikan anak dan suaminya.

Hal ini karena mata masyarakat masih memandang tugas domestik lebih dibebankan pada perempuan. Oleh karena itu, tidak heran ketika seorang perempuan berpolitik, yang disorot publik bukan gagasannya, melainkan ketubuhannya dan urusan rumah tangganya. “Ada yang menganggapnya konsekuensi berpolitik perempuan, menurut saya itu bukan sesuatu yang perlu dinormalisasi, kalo politisi laki-laki tidak bisa menerima (prinsip kesetaraan–red), kenapa politisi perempuan harus dipaksa menerima?,” tegas Tsamara.

Menurut Upi, streotip-streotip ini yang membuat perempuan-perempuan muda seperti Stevi memiliki kecemasan jika ingin berkarir di dunia politik. “Antusiasime tinggi, kecemasan luar biasa membuat banyak perempuan takut. Ada norma sosial yang terlalu kental yaitu budaya patriarki,” tutur Upi.

Dinasti Politik: Sudah Jumlahnya Sedikit, Belum Tentu Pula Representatif

“Kalau pun ada perempuan, biasanya perempuan tersebut memang bagian dari keluarga politik, akibatnya perempuan yang lahir bukan dari keluarga politik, sulit menembus pagar tersebut,” tutur Tsamara.

Di tingkat nasional, sepanjang sejarah, Indonesia hanya sekali dipimpin oleh presiden perempuan, yaitu Megawati Soekarnoputri. Namun, Megawati sendiri menjadi presiden bukan karena terpilih melalu pemilihan umum (pemilu) langsung, melainkan karena Presiden Gus Dur dipecat dari jabatannya sehingga Megawati yang saat itu memegang jabatan sebagai Wakil Presiden menggantikan kursinya.  

Megawati pernah dua kali mencalonkan diri sebagai presiden yaitu pada pemilu 2004 dan 2009. Meski PDI Perjuangan saat itu mendapat suara cukup banyak, Megawati tetap tidak berhasil memenangi pemilu. Alasan kekalahan Mega memang tidak dapat disederhanakan, namun keperempuanannya menjadi salah satu faktor yang dikampanyekan rival politiknya untuk menolak pencalonan Mega sebagai presiden.

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) adalah salah satu yang menolak calon presiden wanita kala itu dengan menggunakan hukum agama Islam sebagai pembenarannya. Hal ini juga dialami oleh Khofifah Indar Parawansa saat mencalonkan diri sebagai gubernur di Jawa Timur. Meski Khofifah dikenal sebagai pemimpin organisasi perempuan Nahdlatul Ulama, Muslimat, hal itu tak menghentikan kampanye penolakan pencalonan Khofifah dengan dasar haramnya pemimpin wanita..

Saat ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) juga diketuai oleh sosok perempuan, yaitu Puan Maharani. Namun, keberhasilan Megawati dan Puan Maharani sebagai presiden perempuan pertama di dunia politik juga tidak dapat menjadi landasan untuk menganggap bahwa politik Indonesia sudah cukup terbuka dengan politisi perempuan. Terdapat faktor eksternal yang memuluskan kiprah perpolitikan Mega dan Puan, yakni dinasti politik. Sebagai anak dan cucu presiden pertama Indonesia, Megawati dan Puan memiliki, modal yang besar, baik dari segi relasi, popularitas, maupun uang. Hal tersebut tidak dimiliki oleh kebanyakan politisi biasa, khususnya perempuan.

Begitu di tingkat nasional, begitu pula di tingkat daerah. Di tingkat daerah, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mencatat partisipasi politik perempuan secara keseluruhan masih kurang. Pada pilkada tahun 2017, kandidat perempuan hanya berjumlah 48 (7,17%). Pada pilkada 2018, kandidat perempuan mengalami sedikit kenaikan menjadi 101 (8,85%). Kemudian, pada tahun 2020 naik menjadi 159 kandidat atau hanya 11% dari total 1.431 kandidat.

Meski masih jauh dari angka ideal keterwakilan, namun tren representasi tersebut meningkat. Memang, sejak era 200-an sudah mulai bermunculan pemimpin-pemimpin daerah perempuan. Jumlah kepada daerah perempuan pada Pilkada 2017 mencapai 5,35 persen dari keseluruhan.

Meski relatif besar, namun sebagian di antaranya mengandalkan modal dinasti politik. Riset Tirto.id tahun 2017 mendapati hampir 40% dari kepala daerah perempuan di Indonesia memiliki hubungan kekeluargaan dengan pejabat lain, baik saat itu maupun di masa sebelumnya. Hubungan kekeluargaannya pun macam-macam. Ada yang menggantikan posisi suami, ada yang mendapat posisi saat bapaknya sedang menjabat, dan lain-lain.

Oleh karena itu, memang ada peningkatan kuantitas, namun belum tentu meningkatkan kualitas. Studi Perludem saat Pilkada 2016 menunjukkan hanya 37 persen dari pemimpin perempuan terpilih yang melontarkan visi keberpihakan pada perempuan. Beberapa contoh visi keberpihakan pada perempuan misalnya program spesifik untuk mengurangi angka kematian Ibu melahirkan, memberi bantuan modal untuk usaha bisnis yang dikelola perempuan, mewajibkan pemberian cuti haid dan pemberian fasilitas ibu dan anak di ruang-ruang publik, seperti ruang laktasi dan tempat penitipan anak.

Dengan demikian, tidak heran meski DPR RI telah diketuai oleh sosok perempuan, kebijakan pro-perempuan seperti Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga tetap harus menunggu lebih dari satu dekade untuk disahkan oleh legislatif.

Sudah jumlahnya sedikit, belum tentu pula representatif.

Hal ini menunjukkan bahwa hak politik perempuan tetap harus disokong kesetaraan akses dalam hal lain. Tidak hanya kebijakan afirmasi, namun komitmen politik untuk memberdayakan kader perempuan sama seperti kader laki-laki. “Dalam politik leadership itu penting, kita butuh tokoh penting yang mau melobi dan mendorong partai-partai ini untuk mendukung kesetaraan gender dalam kultur partai. Oleh karena itu kita juga harus berani melobi tokoh-tokoh penting ini agar dapat menjalankan agenda-agenda pro-perempuan,” tutur Tsamara memberi saran.

Dari sisi masyarakat, diperlukan perubahan kesadaran yang masif untuk menghilangkan stigma misoginis terhadap politisi perempuan. Hal ini diperlukan agar perempuan tidak ragu jika ingin bersuara melalui politik. Jika tidak, hanya perempuan dari keluarga yang mempunyai keistimewaan ekonomi, pendidikan, dan nama besar saja yang bisa maju. Karena sejatinya, masyarakat membutuhkan pemimpin perempuan yang mewakili dan memperjuangkan hak-hak perempuan.

“Demokrasi tidak pernah mengecualikan siapapun, termasuk perempuan. Kita butuh institusi yang bisa dipercaya, politisi yang dipercaya –yang dapat mendorong kebijakan-kebijakan yang berpihak pada perempuan,” tutup Upi.

Keterlibatan perempuan dalam proses politik merupakan elemen kunci dalam mencapai demokrasi yang inklusif bagi semua pihak. Dengan demikian, perempuan harus memiliki suara, kesempatan, hak untuk berpartisipasi intens dalam pengambilan kebijakan publik.

Liputan ini merupakan kontribusi dari fellowship "Pemilu dan Anak Muda" yang diselenggarakan oleh Perludem.

Teks      : Dian Amalia Ariani (Mahasiswa FISIP UI 2019)
Editor   : Kamila Meilina
Ilustrasi: Kejora Sava

Pers Suara Mahasiswa UI 2023
Independen, Lugas, Berkualitas!