Logo Suma

Ketiadaan Moral dalam Death Note

Redaksi Suara Mahasiswa · 17 Desember 2020
4 menit

By Dimas Andriansyah

Judul: Death Note
Sumber: Manga
Pengarang: Tsugumi Ohba, Takeshi Obata
Studio: Madhouse
Genre: Mystery, Police, Psychological, Supernatural, Thriller, Shounen
Rilis: 2006 - 2007
Jumlah Episode: 37

“If we catch Kira, he is evil. If he wins and rules the world, then he is justice.”

(Eps. 30, ‘Justice’)

Dirilis pada tahun 2006, serial Death Note telah menjadi salah satu masterpiece tersendiri dalam dunia anime, bahkan animasi secara general. Adaptasi dari manga karya Tsugumi Ohba dan Takeshi Obata dengan judul serupa ini telah menyita perhatian berbagai kalangan dengan konsep cat and mouse dan diskursus moralnya. Penikmatnya pun berasal dari berbagai kalangan, mulai dari yang hanya penikmat anime di kanal ilegal hingga akademisi, terbukti dari ditemukannya beberapa artikel ilmiah bahkan skripsi yang mengangkat Death Note sebagai objek kajiannya. Hal ini tidak mengherankan mengingat Death Note menyajikan perdebatan yang intens, khususnya mengenai konsep keadilan dan moral di sepanjang serinya.

Kisah Death Note bermula ketika Light Yagami, seorang siswa SMA jenius, menemukan death note, sebuah buku catatan yang dapat membuat seseorang mati terkena serangan jantung hanya dengan menulis nama dan membayangkan orang tersebut. Merupakan seorang siswa teladan dan putra dari kepala kepolisian setempat, Light memiliki sensitivitas yang tinggi akan keadilan. Ia merasa bahwa dunia ini sudah busuk karena berbagai tindak kejahatan yang kian hari kian melimpah. Muak dengan situasi tersebut, Light memutuskan menggunakan death note untuk membersihkan orang-orang jahat itu dan mulai membangun utopia dengan dirinya sebagai Tuhan. Dimulai dengan satu penculik lokal, Light pun meningkatkan intensitas dan level penghakiman Tuhannya dengan membantai para pelaku kejahatan kelas kakap. Hal ini pun menjadi fenomena global dan dunia mulai menyadari keberadaan Light sebagai entitas hakim transendental dengan nama Kira.

Rangkaian kematian penjahat yang seragam disebabkan oleh serangan jantung. Hal ini menarik perhatian kepolisian hingga level internasional. Ketika polisi telah buntu dan hendak menutup kasus ini, L, orang yang menyandang nama detektif terhebat di dunia, menyatakan dirinya telah bergabung dalam penyelidikan dan akan menemukan Kira. Dengan sebuah skema cerdas yang memanfaatkan seorang penjahat dan siaran TV lokal, L dengan singkat dapat mempersempit lingkup geografis penyelidikan secara signifikan dan secara bersamaan mengetahui limitasi Kira dalam membunuh. Menyadari bahwa ia telah terjebak dalam rencana L, Light pun menanggapi tantangan tersebut dan berniat mengantar L ke dalam kuburnya. Momen ini lah yang menandai awal dari perang deduksi intens antara Light dan L untuk menemukan satu sama lain.

Sebagai anime yang dirilis pada tahun 2006, Death Note menghadirkan visual yang cukup enak dipandang, bahkan hingga dewasa ini. Corak warna yang digunakan dirasa tepat dalam menggambarkan dunia Death Note yang kelam dan “busuk”. Hal ini tidak terlepas dari usaha seluruh staf Madhouse yang memang merupakan rumah produksi ternama dan telah memproduksi berbagai judul anime dengan visual memukau lain, seperti Hunter x Hunter, One Punch Man, dan No Game No Life. Selain warna, penuansaan dalam Death Note juga sangat didukung melalui berbagai referensi kristiani yang kerap digunakan. Sebut saja visual Light-Ryuk dan Raye Penber-Naomi Misora yang secara berurut merujuk pada Creation of Adam dan Pieta karya Michelangelo, L yang mencuci kaki Light, dan musik choral gereja yang menjadi latar suara dominan pada anime ini.

Semenjak awal perilisannya pada empat belas tahun yang lalu, Death Note masih tetap menjadi anime paling populer menurut situs My Anime List. Keunggulan ini menjadi bukti kualitas anime tersebut. Konten utama yang paling memikat dari anime ini tentu saja adalah pertarungan Light dan L. Pertarungan ini tidak hanya menghadirkan skema-skema deduksi kompleks untuk menjegal satu sama lain, tetapi juga menciptakan polarisasi di komunitas penggemar dalam memandang nilai moral yang dibawa kedua karakter. Namun, hal yang menarik adalah, fenomena ketika sebagian besar penggemar Death Note terjebak dalam dikotomi antara baik dan jahat dengan berdasar pada logika, “Jika Light jahat, maka L baik”. Padahal, dapat dikatakan bahwa logika tersebut tidak cukup tepat.

Nilai moral Light berdasarkan pada etika utilitarianisme yang berfokus pada hasil, bukan intensi di balik suatu perilaku. Nilai moral inilah yang membuat Light tidak masalah membunuh karena dalam penilaiannya ia sedang menciptakan dunia baru yang lebih baik. Antitesis dari etika utilitarianisme ini adalah etika deontologi yang diperkenalkan oleh Immanuel Kant, di mana penentuan moralitas suatu perilaku didasarkan pada nilai moral absolut, yang dalam konteks ini adalah dilarang membunuh apa pun konsekuensinya. Namun, apakah benar L menganut etika deontologi yang dalam kasus ini dianggap baik?

L memang tidak pernah membunuh secara langsung, tetapi ia secara gamblang mengorbankan satu tahanan untuk memancing Kira pada siaran televisi lokal yang telah disebutkan. Ia juga tidak segan menyiksa Misa dan berbuat seenaknya dalam interogasi sebagai tersangka Kira kedua. Sebagian penggemar mengira jika kekalahan L terjadi karena ia sudah menganggap Light sebagai teman. Namun, terdapat argumen bahwa saat itu L juga sedang berbohong untuk melemahkan kewaspadaan Light. Pandangan ini diperkuat dengan beberapa temuan pada versi manganya, di mana L sempat menghajar habis anak-anak panti saat ingin memberikan pelukan sambutan di hari pertamanya dan juga kutipannya yang telah diubah pada adaptasi anime yang mengatakan:

It’s not a sense of justice. Figuring out difficult cases is my hobby. If you measured good and evil deeds by current laws, I would be responsible for many crimes. The same way you all like to solve mysteries and riddles, or clear video games more quickly … For me, too, it’s simply prolonging doing something I enjoy doing. That’s why I only take on cases that pique my interest. It’s not justice at all. And if it means being able to clear a case, I don’t play fair, I’m a dishonest cheating human being who hates losing.” (Death Note One-Shot Special)

Berdasarkan referensi tersebut, terlihat bahwa motivasi L murni karena tantangan intelektual semata dan sama sekali bukan karena etika deontologis yang ia miliki. Oleh karena itu, pandangan yang mengungkapkan bahwa L berdiri di bawah bendera moral kebaikan tampaknya sudah tidak relevan. Untuk menutup uraian ini, menurut hemat penulis, daripada berfokus pada nilai moral yang karakternya anut, akan lebih lebih tepat jika kita menikmati anime ini dengan memfokuskan cat and mouse antara Light dan L, sebagaimana kutipan dari Light di awal uraian dan juga yang diungkapkan Tsugumi Ohba sendiri pada sebuah wawancara:

“I did not put much deep thought into subjects like “life and death” or “justice and evil”.
I wrote the story hoping that it would be good entertainment.”

“… I never thought it was important to define Light as either good or evil. To me, Light is evil, L is slightly evil and only Soichiro is totally righteous.”

Teks: Dimas Andriansyah
Foto: Istimewa
Editor: Ruth Margaretha M.