**
Ady, gay
Menjadi seorang yang sangat terbuka mengenai identitasnya sebagai bagian dari komunitas LGBTQ+, merupakan hal yang tidak asing lagi bagi Setiadi Kusuma Jaya, mahasiswa llmu Filsafat Universitas Indonesia. Sejak dari bangku SMP, dia sudah berani membuka dirinya kepada orang-orang disekitarnya; bahwa ia adalah seorang homoseksual. Ia pun mendapat tekanan dari berbagai pihak, mulai dari gurunya, keluarga, dan masyarakat. Terlebih ketika dirinya masih belum membuka diri sebagai homoseksual.
“Waktu closeted—karena gue nggak ada yang mendidik, kita sebagai LGBTQ+ itu nggak ada yang mendidik dari masyarakat—jadi mau nggak mau gue ngikutin apa kata internet yang mana lewat dating app. Gue lewat situ dan itu takut banget, apalagi dating app kan lewat GPS jadi takut orang tahu (lokasi kita—red),” tuturnya. Ady juga mengungkapkan bahwa saat itu dia harus memaksakan diri untuk mengikuti norma masyarakat sebagai laki-laki heteroseksual.
Mengenai identitas dirinya sebagai seorang gay, pihak keluarga sendiri tidak sepenuhnya menerima. Ady mengungkapkan bahwa masih ada rasa keterasingan dan penolakan dari keluarganya. Rasa keterasingan itu sendiri dirasakannya ketika ibunya masih melihatnya sebagai seorang laki-laki yang akan beristri dan mempunyai anak. Penolakan dan keterasingan itu sendiri bukan hanya berasal dari keluarga dan masyarakat, melainkan juga dari komunitas itu sendiri.
“Terutama untuk segenerasi gue, itu gue merasa terasing, karena gue merasa gue nggak bisa masuk ke dalam kultur mereka, yang mana kaya uke-seme-an (istilah bahasa Jepang; uke berarti penerima, seme berarti pemberi atau penyerang—red), pacaran maskulin dan feminin. Gue, sebagai orang yang belajar feminisme, nggak mau gitu-gituan,” ujarnya.
Di lingkungan UI sendiri secara umum, berbeda dengan kondisi di payung fakultasnya, yaitu FIB, yang menurut Ady cukup menerima. Secara umum, lingkungan kampus masih belum sepenuhnya menerima minoritas seperti dirinya. “Di lingkungan UI luas gue merasakan banget (penolakan—red) dimana gue terkaget-kaget ketika ada teman gue yang lesbian atau gay lainnya itu tertutup banget, tidak bisa berekspresi seekspresif gue.”
Terlebih, ketika ia menjabat sebagai Wakil Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (BEM FIB), ia sama sekali tidak menyembunyikan fakta mengenai seksualitasnya. Bahkan menurutnya lingkungan FIB sendiri cukup menerimanya sebagai seorang homoseksual. Dia sendiri mengaku bahwa dia tidak benar-benar melakukan coming out atau pengungkapan orientasi seksual seseorang, tapi semua orang mengetahui bahwa dirinya adalah homoseksual.
“Gue bukannya bermaksud coming out itu nggak penting, tapi kalo diri gue pribadi gue lebih suka menormalkan diri gue ke masyarakat. Sama kaya lo punya pacar atau cowok gitu,” terangnya. Meskipun ada beberapa orang yang memandangnya dengan cara berbeda karena ia berpacaran dengan laki-laki. Ady sama sekali tidak memedulikan hal tersebut.
Ady pun menyampaikan bahwa menjadi bagian dari LGBTQ+ itu sendiri bukan sesuatu yang asing lagi di masyarakat. Tindakan-tindakan konservatif dan pencelaan terhadap komunitas tersebut sangatlah tidak perlu. Masalah orientasi seksual juga bukan menjadi bahan untuk memvalidasi tindakan diskriminasi, karena hal itu merupakan urusan pribadi dan mereka yang termasuk dalam LGBTQ+ masih mempunyai kemampuan dan keahlian yang manfaat dan jasanya bisa diberikan kepada masyarakat.
Untuk orang-orang yang sudah bebas berekspresi karena mendapatkan ruang aman dan mempunyai hak istimewa untuk terbuka menjadi bagian dari LGBTQ+, bukan berarti sudah cukup diam dan menjalani kehidupan apa adanya. Namun, sudah seharusnya mereka bersuara untuk para minoritas yang berada di kondisi membahayakan sehingga mereka harus sangat tertutup mengenai orientasi seksualnya. “Indonesia itu masih jauh dari itu. Dan makanya, aku harap untuk teman-teman ber-privileged gunakan ruang yang kalian punya untuk mengadvokasikan seluruh hak teman-teman yang belum punya kesempatan itu,” tegas Ady.
Lala, lesbian
Lala (bukan nama sebenarnya), menyadari ada yang berbeda pada dirinya semenjak ia masih kecil. Masa-masa cinta monyet yang dialami rekan seusianya pada penghujung Sekolah Dasar (SD) nampak berbeda dengan yang ia alami—sebab Lala jatuh cinta pada sesama perempuan. Saat itu ia masih tak mengerti mengenai apa yang ia rasakan dan hanya bisa memendamnya dalam diam. Dalam diam pula ia merasakan kebingungan, mempertanyakan jati dirinya hingga sempat berada dalam masa denial. Baru beberapa tahun kemudian ketika mengenyam bangku SMP, wawasannya mulai semakin meluas dan ia berkenalan dengan istilah-istilah baru yang sebelumnya asing baginya.
“Oh, ternyata tuh ada yang namanya LGBT, ada yang namanya homoseksual. Paling dari situ baru (aku berpikir—red), ‘Oh iya bener, cocok’ berarti aku gini,”
Lala cukup beruntung sebab ia dikelilingi oleh orang-orang yang suportif. Teman-teman terdekatnya menerima Lala sebagaimana adanya, demikian pula dengan keluarganya yang bahkan mengapresiasi keterbukaan Lala. Meskipun begitu, penerimaan yang ditunjukkan oleh orang-orang terdekatnya rupanya tak berlaku di sosial media. Ia cukup vokal menyuarakan tentang hak-hak kaum LGBT di media sosial, dan bukan hanya sekali atau dua kali ia menerima komentar yang pahit atas tindakan tersebut.
“Meskipun mereka bilang bahwa di agama diajarkan untuk tidak menjadi seperti ini, tapi kan di agama juga diajarkan untuk tidak saling membenci,” kata Lala. Dengan raut wajah yang tampak meragu, Lala menuturkan bahwa penerimaan masyarakat Indonesia yang kurang terhadap kaum LGBT membuatnya ingin singgah ke luar negeri supaya dapat lebih mengekspresikan dirinya.
Dion, Gender Fluid
Tidak menyukai apa yang disukai oleh teman-temannya, sejak kecil Dion (bukan nama sebenarnya) merasa bahwa dirinya berbeda. Ia menyukai baik laki-laki, perempuan, maupun trans. Ia merasa sulit untuk terpaku pada konsepsi gender pada umumnya. Sebagaimana kawan LGBTQ+ lainnya, Dion sempat mengalami masa denial. Menolak apa yang ia pikir ‘berbeda’ dengan menganggapnya hanya sebagai sebuah fase pubertas. Ia mengira pada akhirnya dia akan kembali menjadi heteroseksual sepenuhnya. Namun, kenyataan berkata lain, ada sisi feminin yang tidak bisa direduksi dan dihilangkan dari dirinya yang seharusnya maskulin.
“Gue mengeksplorasi, gue berdoa sama Tuhan, gue berusaha menutupi karena gueh tau it’s sin, itu dosa kan. Nggak boleh, bible says boys cannot love boys, nggak boleh suka sama sesama,” kata Dion. Beberapa tahun ia gunakan untuk menolak dirinya sendiri dan berpura-pura menjadi penyuka lawan jenis. Singkat cerita, saat ini ia lelah untuk berpura-pura menjadi heteroseksual. Sekarang, Dion mendefinisikan dirinya seseorang yang bergender fluid.
“Gue nggak bisa terpaku deh sama konsepsi gender, yang kalo lu laki-laki ya lu harus maskulin abis. Nggak bisa, karena gue menyadari bahwa gue punya sisi feminin, dan sisi feminin ini nggak bisa direduksi dan dihilangkan. Emang kayak gini, gue gini apa adanya,” ujar Dion.
Selain itu, tantangan dan diskriminasi tentunya pernah dialami oleh Dion sebagai bagian dari LGBTQ+ di Indonesia. Tidak semua keluarganya mengetahui hal ini. Ia tumbuh dalam lingkungan yang mengharuskan menjadi laki-laki maskulin. Masa-masa SMP dan SMA adalah masa kebanyakan tindak diskriminatif terjadi padanya.
Memasuki masa perkuliahan, Dion mendapat angin segar dari lingkungan fakultasnya yang heterogen. Selama perkuliahan tindakan diskriminatif bisa dihitung dengan jari. Meskipun begitu, ia pernah dijadikan bahan lucu-lucuan atau ditegur terlalu feminin di depan kelas. Beberapa temannya juga ada yang menjaga jarak dari Dion sejak mengetahui statusnya. Ada yang menjadi renggang, ada pula yang menganggapnya sebagai ‘pendosa’ dan memberikan sindiran berupa ayat suci. Tidak peduli ada kebaikan lain dalam dirinya, ia merasa nilai dirinya berkurang jauh di mata orang lain saat menjadi bagian dari komunitas pelangi.
“Nggak peduli sebaik, sehebat, sekaya, dan sepintar apapun diri lu, kalo lu bagian dari rainbow community, ya value lu langsung turun banyak gitu loh, karena gue pernah ngalamin sendiri,” ujarnya.
Terlepas dari semua tindakan diskriminatif yang ia terima, Dion merasa cukup beruntung karena lingkungannya saat ini cukup welcome dan open minded dengan identitas dirinya, dan ia tidak harus menutup-nutupi hal tersebut. Meskipun ada yang tidak mensupport, mereka mempunyai sikap toleransi dan tidak mendiskriminasi Dion.
Ketika ditanya mengenai harapannya, tidak muluk-muluk, Dion berharap agar tindak diskriminasi, prejudis, dan tindakan ofensif lainnya terhadap komunitasnya berkurang. Ia tidak mengharapkan terbentuknya komunitas atau grup dalam kampus untuk mendukung mereka. Ia pesimis. Menurutnya, hal tersebut hanya akan menjadi wacana, mendapat protes, lalu menjadi trending. “Tidak perlu jauh-jauh kalau masih banyak sivitas akademikanya yang homofobik, transfobik, bifobik, dan masih menganggap ini penyakit,” katanya.
Lebih lanjut ia berharap agar lingkungan kampus dapat meningkatkan kesadarannya terlebih dahulu. terutama pada hal yang dianggap tabu dan salah oleh mayoritas. Beberapa diantaranya adalah isu kekerasan seksual dan edukasi seks. Maka, sebelum dibentuknya support system atau komunitas LGBTQ+, perlu adanya kesadaran bagi internal kampus terhadap mereka.
Teks: Mohamad Farhan, Intan Eliyun, Magdalena Natasya, Humairah Nur Ramadilah
Foto: SatyaPrem (Pixabay)
Kontributor: Syifa Nadia
Editor: Nada Salsabila
Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!