Jejak kelam pada sejarah Indonesia terancam terkubur setelah pemerintah berencana menyusun ulang buku sejarah resmi, yang justru mengecualikan kejadian pelanggaran HAM berat, termasuk yang terjadi selama tahun 1998. Ancaman terhadap ingatan kolektif ini semakin nyata dengan munculnya wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto oleh Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) yang diketuai Fadli Zon, Menteri Kebudayaan Republik Indonesia.
Merespons hal tersebut, pada Kamis (26/6), sejumlah elemen masyarakat yang terdiri dari penyintas, keluarga korban pelanggaran HAM, organisasi masyarakat sipil, dan mahasiswa menggelar aksi di depan Gedung Kementerian Kebudayaan, Jakarta. Aksi bertajuk “Merawat Ingat, Melawan Lupa” ini menjadi bentuk solidaritas masyarakat dalam mengawal kebijakan pemerintah yang dinilai berpotensi menghilangkan fakta sejarah, mencederai perjuangan korban, serta mengabaikan keadilan bagi rakyatnya.
Aksi ini turut dilakukan dalam bentuk pertunjukan teatrikal berupa pembacaan kutipan buku secara bergantian oleh setiap massa aksi yang hadir, lalu dilanjutkan dengan diskusi terbuka mengenai berbagai bentuk kekerasan sistematis yang terjadi di era Orde Baru.
Tuntutan Massa Aksi
Pemerintah yang kerap mengeluarkan pernyataan kontroversial kembali menjadi sorotan publik. Merebak dugaan bahwa terdapat upaya penghapusan fakta-fakta peristiwa kelam bangsa yang hingga kini belum mendapatkan titik terang bagi penyintas maupun keluarga korban. Alih-alih mengupayakan penyelesaian dan pengungkapan kebenaran, kebijakan pemerintah justru terkesan ingin menguburkan usaha masyarakat dalam menuntut keadilan dan meninggalkan tanggung jawab negara sebagai pemangku kewajiban dalam pemenuhan hak-hak korban atas perlindungan dan pemulihan.
Beberapa wacana dan pernyataan Fadli Zon dalam proyek penulisan ulang sejarah dinilai sebagai tindakan lepas tangan negara terhadap pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM masa lalu yang berpotensi menghapus rekam jejak kekerasan, penghilangan paksa, dan pembungkaman yang terjadi sepanjang Orde Baru.
Sebagai bentuk perlawanan terhadap upaya penghapusan tersebut, koalisi massa aksi menyerahkan berbagai dokumen berisi keterangan korban, laporan investigasi, dan rekomendasi lembaga resmi kepada Direktorat Sejarah Kementerian Kebudayaan. Dokumen tersebut dibukukan dalam dua jilid berjudul Kita Merawat Ingatan yang secara keseluruhan memuat ribuan halaman data, laporan, juga kesaksian korban terkait pelanggaran HAM berat, terutama tragedi Mei 1998.
Di dalamnya tercatat data dan temuan dari Komnas HAM, Komnas Perempuan, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), serta Tim Relawan untuk Kemanusiaan yang selama ini mendokumentasikan kasus-kasus kekerasan negara. Koalisi menekankan bahwa negara tidak dapat lagi menghindar dari kewajiban untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang hingga kini penanganannya belum menunjukkan perkembangan berarti di Kejaksaan Agung meski mandat pengadilannya telah jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Ketidakseriusan ini dinilai sebagai bentuk pengabaian negara dalam memenuhi hak-hak korban atas keadilan dan kebenaran.
Oleh karena itu, dilansir dari KontraS, aksi ini bertujuan untuk:
Terakhir, aksi ini membuktikan bahwa perjuangan masyarakat tidak akan padam meski negara berusaha mengaburkan ingatan kolektif tentang sejarah kelam bangsa. Koalisi menegaskan bahwa keberanian untuk terus bersuara adalah upaya penting agar keadilan dapat ditegakkan, dan sejarah tidak menjadi alat kekuasaan yang menutupi kebenaran.
Teks: Vania Shaqila Noorjannah
Editor: Naswa Dwidayanti Khairunnisa
Foto: KontraS
Desain: Aqilah Noer Khalishah
Pers Suara Mahasiswa UI 2025
Independen, Lugas, dan Berkualitas!