Komitmen Bakal Calon Dekan FISIP UI: Dari Isu Akademis Hingga Kekerasan Seksual

Redaksi Suara Mahasiswa · 20 Oktober 2021
10 menit

Pada tanggal 19 Oktober 2021 telah diselenggarakan Uji Publik Calon Dekan FISIP UI Periode 2021-2025 yang dapat disaksikan via streaming Youtube. Tujuan dari diselenggarakannya acara ini adalah untuk memberikan pengenalan awal kepada civitas akademika FISIP UI mengenai visi dan misi para calon dekannya yang akan memimpin FISIP UI selama empat tahun ke depan.

Sebagai unit yang secara struktural berada di bawah Rektor, Dekan yang merupakan pimpinan eksekutif tingkat fakultas juga dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Rektor. Pemilihan Dekan (Pildek) yang diselenggarakan secara serentak di UI melibatkan Oleh karena itu, dalam seleksi calon dekan saat ini, terdapat panitia seleksi yang bekerja keras menyeleksi calon-calon dekan di fakultas berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan untuk kemudian diseleksi lebih lanjut oleh rektor di tingkat universitas.

Menurut Ibu Dra. Suraya Abdulwahab Afiff, M.A., Ph.D selaku ketua panitia Uji Publik Calon Dekan FISIP UI Periode 2021-2025, kegiatan ini merupakan rangkaian dari proses seleksi calon dekan FISIP UI untuk periode 2021-2025. Keempat calon dekan telah lulus tahap verifikasi administrasi. Secara umum, terdapat tiga tujuan uji publik hari ini. Pertama, mendapatkan uraian yang jelas tentang visi, misi, dan rencana strategis dari para calon dekan. Kedua, untuk melakukan pengujian secara terbuka terhadap visi, misi, dan rencana strategis tersebut. Terakhir, kegiatan ini merupakan suatu cara untuk menerima asupan lebih jauh mengenai pengembangan dan peningkatan kinerja FISIP UI.

Terdapat empat calon dekan yang akan berkompetisi dalam pemilihan dekan FISIP UI periode 2021-2025 yaitu Julian Aldrin Pasha Rasjid, Ph.D. dari Departemen Ilmu Politik, Prof. Evi Fitriani, Ph.D. dari Departemen Hubungan Internasional, Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto dari Departemen Antropologi, serta Prof. Adrianus Eliasta Meliala, Ph.D. dari Departemen Kriminologi.

Terdapat dua sesi dalam rangkaian acara. Pada sesi pertama, terdapat pertanyaan dari tiga panelis yang harus dijawab oleh para calon dekan,  ketiga panelis tersebut antara lain  Dr. Imam B. Prasodjo dari Departemen Sosiologi FISIP UI, Dr. Lidwina Inge Nutjahyo dari FH UI, serta Prof. Vedi hadiz dari University of Melbourne. Sementara itu, pada sesi kedua terdapat pertanyaan dari perwakilan dosen, perwakilan mahasiswa, perwakilan tenaga kependidikan, perwakilan alumni, dan akan dibuka kesempatan pada publik untuk memberikan catatan, masukan, ataupun pertanyaan kepada calon dekan.

Visi Misi Para Calon Dekan FISIP UI

Dipandu oleh moderator, Johanna Debora Imelda, M.A., Ph.D. dari Departemen Kesejahteraan Sosial, masing-masing bakal calon dekan FISIP UI diberikan waktu 15 menit untuk memaparkan visi dan misinya.

Pemaparan visi dan misi calon dekan FISIP UI diawali oleh bakal calon dengan nomor urut I, Julian Aldrin Pasha Rasjid, Ph.D. dari Departemen Ilmu Politik. Dengan visi “Membangun FISIP UI dengan Kebersamaan” beliau menjelaskan misinya dalam bentuk rencana kerja FISIP UI Program Unggulan. Misi tersebut berupa membuka kelas-kelas niche dan spesifik di bidang pendidikan, membangun klaster riset fakultas berjejaring Internasional di bidang riset dan inovasi, meningkatkan engagement dengan masyarakat berdasarkan expertise-based demi solusi masalah sosial politik di bidang community engagement, membangun budaya dan lingkungan kerja yang nyaman, user-friendly dan yang menjunjung tinggi kebersamaan, keterbukaan, dan tanggung jawab di bidang Tata Kelola, pendampingan proses kenaikan pangkat untuk dosen utamanya proses percepatan promosi Guru Besar dan Lektor Kepala di bidang Sumber Daya Manusia, monetisasi hasil penelitian/riset atau kegiatan lain seperti pelatihan (workshop) maupun pengabdian masyarakat di bidang Sumber Daya Keuangan, dan meningkatkan kerja sama dengan pihak eksternal untuk menambah, melengkapi, serta memelihara sarana dan prasarana FISIP UI di bidang Sarana dan Prasarana.

Kemudian dilanjutkan oleh calon dekan nomor urut 2, Prof. Evi Fitriani, Ph.D. dari Departemen Ilmu Hubungan Internasional. Berangkat dari motto Enhancing Resilience, Achieving Excellence beliau menyampaikan visi dan misinya. Visinya adalah FISIP UI sebagai pusat keunggulan ilmu-ilmu sosial di Asia Tenggara yang berperan aktif dan konstruktif dalam memperkuat UI sebagai lima besar di Asia Tenggara, dan bekontribusi terhadap peningkatan kehidupan masyarakat serta pembangunan negara kesatuan Republik Indonesia. Menurut beliau, visi tersebut dapat diwujudkan dengan misi yang berupa menyelenggarakan kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat (Tridharma) di bidang ilmu-ilmu sosial yang unggul, membangun human capital staff dan lulusan yang resilien dan kompetitif, meningkatkan tata kelola guna menciptakan ekosistem akademik yang kondusif, mengembangkan sistem keuangan dan pendanaan yang berkelanjutan, serta menggunakan jejaring dan ICT guna mewujudkan kegiatan Tridharma yang unggul.

Setelah itu, giliran calon dekan dengan nomor urut 3, Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto, dari Departemen Antropologi. Beliau memiliki visi menjadikan FISIP UI sebagai lembaga pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat yang unggul, sejahtera, dan bermartabat di tingkat nasional dan internasional yang berdaya saing di tingkat Asia Tenggara. Beliau percaya visi tersebut dapat dicapai dengan misi berupa menyediakan akses pendidikan dan pengajaran yang berkualitas di bidang ilmu sosial dan ilmu politik secara luas dan adil, memastikan terselenggaranya Tridharma Perguruan Tinggi di bidang ilmu sosial dan ilmu politik yang bermutu, sesuai dengan tuntutan lokal, nasional, dan global, menghasilkan lulusan dengan kapasitas intelektual, moral, budi pekerti, dan daya saing yang tinggi dalam bidang ilmu sosial dan ilmu politik, serta membina suasana akademik yang mendukung tercapainya visi universitas.

Terakhir, bakal calon dengan nomor urut 4, Prof. Adrianus Eliasta Meliala, Ph.D. dari Departemen Kriminologi. Beliau memiliki visi menjadikan FISIP UI menjadi Fakultas Ilmu Sosial terbaik di Indonesia dan Asia Tenggara. Beliau menyoroti tujuh masalah seperti digitalisasi kampus, internasionalisasi Ilmu Sosial Lokal, SDM akademik, format belajar mengajar, keuangan fakultas, refungsionalisasi sarana dan prasarana, variasi layanan kemahasiswaan, serta public outreach. Beliau menawarkan gaya kerja yang membangun keseimbangan dalam rangka pemenuhan kinerja yang dibebankan UI melalui persuasif dan dialog, dalam kerangka tata kelola, sesuai dengan sinergi tiga pilar, serta mendorong terobosan dan inovasi.

Tantangan sebagai Dekan

Masing-masing panelis diberi kesempatan mengajukan satu petanyaan dan kemudian akan dijawab oleh tiap bakal calon dekan FISIP UI dalam waktu dua menit.  Dr. Imam B. Prasodjo dari Departemen Sosiologi FISIP UI sebagai salah seorang panelis, mengajukan pertanyaan mengenai tantangan yang akan dihadapi Calon Dekan saat menjabat sebagai Dekan FISIP UI

“Dari visi dan misi yang sudah dipaparkan, tentu untuk merealisasikannya akan ada tantangan atau kendala yang akan dihadapi (dekan—red) baik di tingkat universitas maupun kementrian (Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi). Secara terbuka dan objektif, bisakah para Calon Dekan menyebutkan tantangan atau kesulitan yang akan dihadapi dalam merealisasikan yang sudah dipaparkan tadi?”

Calon Dekan dengan nomor urut 1, Julian Aldrin Pasha Rasjid, Ph.D., menjawab bahwa dalam merealisasikan rencana tersebut, perlu diketahui bahwa sebenarnya semuanya telah terstruktur dari universitas melalui apa yang telah diturunkan dalam kebijakan umum dan diejawantahkan di dalam Rencana Strategis (Renstra) UI.

“Kemudian apabila terdapat suatu kendala dalam merealisasikannya, kami akan melakukan komunikasi di tingkat pimpinan universitas untuk bisa memahami dan mengakomodasi apa yang menjadi perhatian kami. Karena semua itu pada akhirnya akan ditujukan untuk kepentingan universitas. Dalam hal ini yang kami tekankan adalah bagaimana kami dapat memberikan suatu perspektif kepada universitas agar fakultas diberikan ruang,” jelasnya.

Sementara itu, Prof. Evi Fitriani, Ph.D., sebagai calon dekan dengan nomor urut 2, menjawab bahwa selama ini masalah yang masih melingkupi di tingkat UI adalah brikoratisasi administrasi keuangan yang luar biasa rumit dan lama untuk masalah pencairan keuangan.

“Hal tersebut menghambat program-program Tridarma karena sistem keuangannya tidak cukup adaptif terhadap kebutuhan di dunia akademik. Sehingga mungkin kami nanti akan bersama-sama pada tingkat pimpinan untuk memperbaikinya.”

Prof. Evi juga menyatakan bahwa masalah lain yang datang dari Kementerian adalah kebijakan-kebijakan dalam bidang pendidikan yang sering berubah-ubah dan tiba-tiba harus diterapkan sampai pada level prodi. Beliau memberikan contoh kebijakan Kemendikbud yang berubah-ubah adalah penerapan kampus merdeka yang secara tiba-tiba tanpa diberikan waktu untuk adaptasi dan kebijakan tentang universitas yang tidak diperbolehkan mengangkat pegawai tetapnya sendiri, sedangkan jatah PNS untuk UI sangat terbatas.

Seusai Prof. Evi menyampaikan gagasannya, Calon Dekan dengan nomor urut 3—Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto—pun turut berpendapat. Beliau, yang mengusung visi ‘menjadikan FISIP UI sebagai lembaga pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat yang unggul, sejahtera, dan bermartabat di tingkat nasional dan internasional yang berdaya saing di tingkat Asia Tenggara’ ini mengatakan bahwa tantangan dari universitas adalah adanya logika berpikir eksak dalam melakukan research yang mewarnai policy research universitas membuat mereka yang berada dalam Ilmu Sosial mengalami kesulitan menghadapi patokan-patokan yang disusun dengan gaya riset eksakta.

Gagasan yang ia ajukan menyasar pada sistem pendidikan Indonesia, “Kita sama-sama tahu dalam FISIP ini mahasiswa datang dari latar belakang yang berbeda-beda. Banyak juga yang berasal dari ilmu eksakta. Saya berharap suatu saat mahasiswa kita diseleksi berdasarkan apa yang mereka pelajari di SMA. Jadi, intake masuk kita memang benar-benar bagus dari awal sekali. Mereka yang benar-benar bagus di SMA dan memang karena bidang minatnya di situ. Bukan karena terpaksa menjalankan pilihan kedua atau ketiga.”

Terakhir, jawaban dari calon dengan nomor urut 4, Prof. Adrianus Eliasta Meliala, Ph.D. “Terkait dengan Kemendikbud, saya setuju bahwa memang Kemendikbud itu memberikan banyak tantangan. Namun, perlu dilihat pula bahwa Kemendikbud adalah institusi yang paling banyak berubah. Hal tersebut terjadi karena spektrum lembaga yang ditanganinya sangat luar biasa, yakni terdiri dari 14.000 PTS dan 300 PTN.” jelasnya. Menurutnya untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan tidak mendatangkan semua permasalahan kepada menteri atau sekjen, tetapi cukup kepada pejabat yang tepat.

Isu Kekerasan Seksual

Dr. Lidwina Inge Nutjahyo dari FH UI mengajukan pertanyaan tentang penanganan kekerasan seksual di lingkungan Universitas. “Apa saja yang diperlukan untuk menciptakan ruang belajar dan bekerja yang aman dari segala bentuk kekerasan seksual. Khususnya di tingkat fakultas dan kemudian juga di tingkat universitas?”

Prof. Adrianus menghimbau panelis dan forum untuk tidak meragukan komitmen dan kompetensinya. Pengalamannya sebagai Ketua Dewan Guru Besar Fakultas selama dua periode dan Koordinator Komite Etik dan Moral Universitas, menurutnya membuktikan bahwa ia cepat dalam menangani kasus yang berhubungan dengan kekerasan seksual pada ranahnya. “Masalahnya adalah saya bukan orang yang mempunyai kewenangan A-Z. Ketika sudah sampai F saya harus berhenti, tetapi tidak dilanjutkan oleh yang lain. Jadi, jangan ragukan komitmen saya, Bu Inge, karena saya akan menaruh perhatian penuh pada hal tersebut, yakni dalam menciptakan ruang yang aman dan nyaman bagi kita semua.”

Cukup berbeda dengan Prof. Adrianus yang membicarakan komitmen dan pengalamannya, Prof. Semiarto menyatakan bahwa langkah terpenting yang bisa dilakukan untuk membangun ruang belajar dan bekerja yang aman dari kekerasan seksual adalah dengan cara meningkatkan awareness. Ia pun menggarisbawahi bahwa isu kekerasan seksual bukan hanya masalah laki-laki atau perempuan semata, tetapi masalah martabat sebagai manusia, yang harus melibatkan penanganan secara menyeluruh—sehingga diperlukan adanya crisis center yang berperspektif korban.

“Di situ kita bicara tentang pencegahan, penanganan, dan tindak lanjut. Selain itu, yang lebih penting lagi adalah bagaimana kita menciptakan mekanisme yang cukup sensitif, tapi kemudian orang bisa bebas menyampaikan.”

Di sisi lain, Prof. Evi Fitriani menyampaikan bahwa saat ini di FISIP UI sedang digodok Peraturan Dekan mengenai kekerasan seksual. “Apabila saya menjadi dekan, itu yang akan saya prioritaskan. Selain itu, akan dibangun juga unit penanganannya. Namun, yang lebih penting adalah menginternalisasikan peraturan bahwa kita tidak boleh melakukan kekerasan seksual,” komitmennya. Lebih lanjut, ia menekankan tidak boleh ada ruang untuk munculnya relasi kuasa, baik antara dosen dengan mahasiswa, maupun antar sesama mahasiswa. Peraturan yang nantinya ditetapkan pun harus berlaku secara konsisten dan merata.

Sementara itu, pandangan Prof. Julian Pasha lebih terfokus kepada mekanisme penanganan kekerasan seksual di kampus. “Kami perlu juga tekankan di sini bahwa ketika kasus tersebut terjadi, kami akan memproses secara proaktif dengan membentuk tim etik. Dalam skala yang lebih kecil itu bisa dikatakan untuk bekerja secara independen mencari tahu apa yang sebetulnya terjadi, kemudian akan dilanjutkan pada proses kelembagaannya,” paparnya.

Pengalamannya sebagai anggota Panitia Penyelesaian Pelanggaran Tata Tertib (P3T2) di UI memberikannya gambaran mengenai berbagai kendala yang musti dilewati ketika hendak menangani ataupun mendampingi kasus kekerasan seksual. Julian berharap untuk dapat terbentuknya lembaga konseling tingkat fakultas yang memfasilitasi atau memberikan ruang aman dan nyaman bagi korban. Kendati demikian, Julian menyiratkan bahwa upaya penanganan yang akan dilakukan tidak bertentangan dengan peraturan mengenai kekerasan seksual. “Kami tetap tidak bisa mentolerir apapun bentuk yang dilakukan seperti itu. Sekali lagi karena kita tunduk dengan peraturan yang mengatur tentang itu di tingkat universitas, maka kami akan berlaku dalam koridor peraturan itu. Sehingga nantinya apabila ada sanksi yang akan diberikan, itu tidak melanggar peraturan tersebut,” jelasnya. Padahal, hingga saat ini, belum ada peraturan mengenai kekerasan seksual yang benar-benar mengakomodasi hak korban.

Salah satu pertanyaan lain yang cukup menarik adalah mengenai mekanisme baku atau standar SOP mengenai kekerasan seksual yang ditanyakan oleh Prof. Billy Sarwono. “Pertanyaan dari saya yang pertama adalah kapan mekanisme baku atau standar SOP akan diterapkan di kampus FISIP UI? Karena bagi saya dan teman-teman khususnya yang perempuan, merasa bahwa penyelesaian kasus kekerasan seksual yang harus menunggu bukti atau dilakukan sesuai tahapan yang saat ini berlaku itu semakin memperpanjang penderitaan korban.”

Prof. Evi Fitriani, Ph.D menjawab bahwa memang belum ada mekanisme baku atau standar SOP yang dibuat oleh Senat Akademik Fakultas. “Benar sekali bahwa SOP yang sudah kita tunggu-tunggu itu belum keluar juga karena sedang diproses oleh Senat Akademik Fakultas dengan Dekan, namun sebetulnya sudah pernah ada Buku Saku SOP Penanggulangan Kekerasan Seksual untuk Kampus Depok dan Salemba. Jadi sebetulnya pada level universitas sudah ada buku saku itu, namun kalau kita menunggu SOP yang dirumuskan oleh Senat Akademik Fakultas memang belum ada. Jika saya terpilih menjadi dekan itu salah satu yang akan saya prioritaskan untuk segera diselesaikan dan dilaksanakan karena saya sendiri melihat dan mengobservasi bahwa kekerasan seksual dibiarkan terlalu lama dan berlarut-larut,” ujarnya

Sementara itu, menurut Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto bahwa 100 hari kerja cukup untuk mengevaluasi, mempelajari serta mendengarkan masukan-masukan dari berbagai pihak sebelum menerapkan mekanisme baku atau standar SOP tersebut. “Saya rasa sudah jelas aturannya sudah ada semua, proses untuk menanganinya juga sudah ada tapi bagaimana itu diinternalisasikan, dijalankan, lalu kemudian secara konsisten diingatkan kepada semua pihak. Saya pikir dalam konteks pertanyaannya kapan, ya jawabannya secepatnya. Saya rasa 100 hari kerja waktu yang cukup untuk mengevaluasi, kita tidak boleh menerapkan semuanya, evaluasi dulu dan pelajari dulu semuanya serta dengarkan masukan-masukan dari berbagai pihak. Jadi ketika memutuskan itu memang harus cepat namun juga harus komprehensif sehingga kita bisa mengambil jalan yang paling baik,” paparnya

Selanjutnya, menurut Julian Aldrin Pasha Rasjid, Ph.D bahwa yang paling penting adalah membuat suatu prosedur yang tetap dan bisa diimplementasikan dengan membuat tim kecil untuk membentuk suatu mekanisme baku atau standar SOP mengenai kekerasan seksual. “Saya melihat hal ini dari perspektif bagaimana kita bisa memihak kepada korban, melindungi mereka, sekaligus memberikan keadilan bagi semua. Dalam hal ini mungkin pilihannya menjadi dua yaitu penyelesaian secara etik dan penyelesaian secara hukum. Dalam pemahaman saya ketika masuk dalam kasus-kasus yang berkenaan dengan kekerasan seksual maka mungkin itu lebih menyentuh kepada pelanggaran etika nya, oleh karena itu kita akan bekerja dalam ruang itu. Yang terpenting adalah membuat suatu prosedur yang tetap dan bisa diimplementasikan dengan membuat tim kecil misalnya dan juga kita tahu di tingkat universitas yang disebut sebagai P3T2 (Panitia Penyelesaian Pelanggaran Tata Tertib Kehidupan Kampus UI),” tuturnya.

Terakhir, menurut Prof. Adrianus Eliasta Meliala, Ph.D. bahwa beliau tidak setuju dibuat mekanisme baku mengenai kekerasan seksual karena sudah terdapat peraturan yang mengatur mengenai hal tersebut. Menurut beliau yang terpenting adalah eksekusinya baik secara hukum maupun secara etik. “Saya tidak setuju dengan pembuatan mekanisme baku tersebut, bukan karena saya tidak setuju kita tidak boleh memerangi kekerasan seksual tapi apakah memang masih perlu? Apakah memang masih ada ruang tentang pembuatan mekanisme baku?. Bayangkan bahwa gagasan sesuatu diatur dalam beberapa hal, pertama yaitu sebagai suatu perbuatan yang melanggar hukum dan sudah ada ketentuan pidana, yang kedua sebagai sesuatu yang melanggar etik dan sudah ada Peraturan Rektor Nomor 12 tentang kode etik dan kode perilaku. Jadi yang harus kita lakukan adalah tinggal mengeksekusi,” jelasnya.

Penulis: Della Soe

Foto: Youtube “Televisi UI”

Editor: Syifa Nadia

Pers Suara Mahasiswa UI

Independen, Lugas, dan Berkualitas!