Konflik Batin Seorang Serdadu Perang

Redaksi Suara Mahasiswa · 13 Agustus 2021
2 menit

Judul Film: De Oost
Sutradara: Jim Taihuttu
Produser: Sander Verdonk, Julius Ponten, dan Shanty Harmayn
Genre: Drama/Sejarah
Tahun Rilis: 25 September 2020
Durasi: 137 menit
Pemain: Martijn Lakemeier, Marwan Kenzari, Jonas Smulders, Coen Bril, Putri Ayudya, Lukman Sardi, Ence Bagus, dan Yayu Unru

Sejarah Indonesia dibangun dari sederet peristiwa yang tak terlupakan. Beberapa peristiwa menyebar dari mulut ke mulut dan terekam dari satu generasi ke generasi lain. Lalu, peristiwa lainnya menjadi abadi di buku-buku sejarah. Meskipun begitu, terdapat beberapa peristiwa yang menguap dan tak terungkap.

De Oost, sebuah film karya Jim Taihuttu–seorang sutradara Belanda-Maluku–menceritakan mengenai konflik batin yang harus dialami Johan de Vries (Martijn Lakemeier) ketika melihat pemberontakan yang terjadi di hadapannya. Sebagai serdadu Depot Speciale Troepen di bawah kepemimpinan Westerling (Marwan Kenzari), Johan harus melihat pembantaian penduduk. Korban-korban tersebut bahkan belum sempat diusut kebenarannya.

Cerita dibuka dengan bergabungnya Johan menjadi tentara relawan yang akan dikirim ke kamp militer di Semarang. Kondisi Indonesia sekitar tahun 1946, atau saat peristiwa pembantaian Westerling tersebut memang sedang tidak stabil, selepas konflik dengan Jepang. Semula, misi yang Johan bawa adalah melindungi tanah properti Belanda tersebut dengan berpura-pura menjadi pelindung bagi penduduk. Namun, yang dilihat dan dirasakan Johan di sana membuatnya dilema, antara menolong masyarakat yang tertindas dan tetap menjalankan tugas yang diberikan.

Lihat saja, pada permulaan cerita, saat para tentara sedang berpatroli ke perkampungan untuk menanyakan adakah penduduk melihat pemberontak. Akan tetapi, pada akhirnya tentara tersebut meminta minum dengan paksa. Seorang anak harus memanjat pohon untuk menyediakan kelapa muda sebagai minuman ara tentara tersebut. Anak itu disebut seperti monyet karena kemampuan memanjatnya. Melihat sikap anak tersebut dan perilaku teman-teman sesama tentaranya, hati nurani Johan terketuk. Johan malah memberi dua keping biskuit kepada anak tersebut sebagai imbalan dan bentuk terima kasihnya.

Film ini menyajikan perspektif lain, yakni bagaimana seorang tentara Belanda melihat penindasan yang dilakukan oleh kelompoknya sendiri. Jiwa kemanusiaan Johan terguncang saat melihat tembakan demi tebakan diarahkan kepada masyarakat itu. Tindakannya untuk mencegah ketidakadilan tersebut berujung pada kesengsaraan. Johan harus mengalami hukuman karena dianggap berbahaya dan tidak berpihak pada Belanda.

Dilema yang dirasakan oleh Johan dapat diibaratkan sebagai representasi prajurit dan masyarakat Belanda atas perasaan bersalah dan ketidakadilan yang telah menimpa masyarakat Indonesia pada masa lalu. De Oost menjadi salah satu film yang secara terang-terangan menggambarkan peristiwa masa itu, mulai dari pengadilan jalanan yang dilakukan oleh Westerling, konflik agama dan etnis antarmasyarakat Hindia Belanda saat itu, serta pemberontakan masyarakat dalam melawan Westerling.

Film ini tidak serta-merta jauh dari kekurangan dan kontroversi. Palmyra Westerling, putri dari Westerling, tokoh yang paling menonjol dalam film ini, mengaku keberatan dan mengecam penayangan film De Oost. Palmyra berpendapat bahwa film ini memutarbalikkan sejarah dan hanya dibuat untuk meraup untung bagi sutradara dan produser. Selain dari Palmyra Westerling, keberatan juga disampaikan oleh Federatie Indische Nederlanders (FIN). Akan tetapi, keberatan yang disampaikan tersebut ditolak oleh pengadilan dan Jim Taihuttu, dkk. dinyatakan tidak bersalah.

Terlepas dari kekurangan dan kontroversi yang terjadi, De Oost layak ditonton untuk mengisi peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus nanti. Film ini menyuguhkan latar tempat dan cerita sesuai zaman tersebut yang mendukung penuansaan cerita. Selain itu, sudut pandang yang ditawarkan dalam film ini tanpa dalih pembenaran perilaku dan memusatkan pada konflik batin, apakah menegakkan kemanusiaan dan keadilan atau menaati perintah pemimpin.

Teks: Putri Melina
Foto: Istimewa
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!