Perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi yang begitu pesat semakin memudahkan kita dalam bertukar informasi. Tidak pandang umur, jenis kelamin, atau latar belakang pendidikan, siapa saja yang terhubung dengan internet dapat mengakses informasi yang dibutuhkan, termasuk bidang kesehatan. Kemajuan teknologi memudahkan tenaga kesehatan memberikan edukasi kesehatan secara digital melalui media sosial, mulai dari Instagram, TikTok, Youtube, Facebook, atau situs web resmi milik pribadi atau organisasi.
TikTok, sebagai media sosial pendatang baru yang sedang ramai digandrungi oleh masyarakat, nampaknya merupakan wadah yang potensial dalam menyampaikan edukasi kesehatan digital. Berbagai macam konten edukasi kesehatan dapat dengan mudah ditemukan. Mulai dari kesehatan reproduksi, kesehatan gigi, kesehatan kulit, hingga edukasi seks serta berbagai macam edukasi kesehatan lainnya. Para dokter yang biasa disebut ‘dokter TikTok’ biasanya memberikan edukasi berupa video singkat, berdurasi 1-3 menit, yang diiringi dengan potongan musik dari aplikasi tersebut.
Tidak kalah dengan dokter, tenaga kesehatan lainnya, seperti bidan dan perawat kerap ikut andil dalam membuat konten edukasi kesehatan. Terlebih lagi, dalam rangka memperluas individu yang dapat dijangkau, konten edukasi kesehatan dari satu media sosial tertentu disebarluaskan melalui media sosial lain. Namun, kebebasan tidak bersekat yang ada di sosial media seringkali mengaburkan aturan-aturan yang berlaku sehingga terkesan menjajal konsistensi tenaga kesehatan untuk tetap menerapkan kode etik profesinya dalam melakukan edukasi secara digital.
Antara Materi Edukasi dan Kerahasiaan Informasi
Menjalankan sebuah profesi, baik di dunia nyata maupun dunia maya, diatur oleh sebuah aturan yang dikenal dengan sebutan kode etik profesi. Kode etik profesi adalah nilai dan aturan untuk menyatakan secara tegas apa yang benar dan baik serta apa yang salah dan buruk secara profesional. Dokter merupakan salah satu tenaga kesehatan yang menjalankan profesinya sebagaimana telah diatur dalam Kode Etik Profesi Kedokteran Indonesia (KODEKI). Selain itu, aktivitas dokter di media sosial juga telah diatur melalui Fatwa Etik Dokter Dalam Aktivitas Media Sosial yang dikeluarkan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK). Oleh karena itu, dalam memberikan edukasi kesehatan secara digital pun dokter diwajibkan untuk tetap menerapkan kode etik profesinya.
Dokter TikTok acapkali menggunakan teknik menceritakan kembali atau story telling dalam memberikan edukasi kesehatan. Tujuannya adalah agar lebih mudah dimengerti, tidak membosankan bagi audiens yang menyaksikan tayangan edukasi, dan agar suatu permasalahan kesehatan yang sama tidak terulang lagi. Namun, tanpa sadar konten story telling yang disajikan memuat segala jenis informasi tentang pasien yang merupakan sebuah kerahasiaan. Rahasia tersebut seharusnya dijaga rapat-rapat karena telah tertuang di dalam poin ke-7 Fatwa Etik Dokter Dalam Aktivitas Media Sosial yang dikeluarkan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) yang berbunyi, “Pada penggunaan media sosial termasuk dalam hal memuat gambar, dokter wajib mengikuti peraturan perundangan yang berlaku dan etika profesi. Gambar yang dimuat tidak boleh membuka secara langsung maupun tidak langsung identitas pasien, rahasia kedokteran, privasi pasien/keluarganya, privasi sesama dokter dan tenaga kesehatan, dan peraturan internal RS/klinik. Dalam menampilkan kondisi klinis pasien atau hasil pemeriksaan penunjang pasien untuk tujuan pendidikan, hanya dapat dilakukan atas persetujuan pasien serta identitas pasien seperti wajah dan nama yang dikaburkan. Hal ini dikecualikan pada penggunaan media sosial dengan maksud konsultasi suatu kasus kedokteran sebagaimana yang diatur pada poin 6.”
Berdasarkan penelusuran lebih lanjut, dr. Sandra, salah satu dokter dari Dokter Tanpa Stigma yang merupakan sebuah gerakan sosial melawan stigma di dunia kesehatan, membenarkan bahwa pengalaman atau kasus spesifik seorang pasien tidak boleh diceritakan secara detail ke publik. “Menceritakan pengalaman pasien secara detail ke pihak lain apalagi ke publik tentu tidak dibenarkan, kecuali atas persetujuan dari pasien yang bersangkutan dengan tetap merahasiakan identitas pasien tersebut. Hal ini juga tercantum dalam Fatwa Etik Dokter Dalam Aktivitas Media Sosial yang dikeluarkan oleh MKEK,” jelas dr. Sandra, “edukasi ke publik sebenarnya tidak perlu menceritakan secara spesifik kasus seorang pasien, cukup fokus pada materi edukasinya saja,” lengkapnya.
Edukasi Kesehatan Perlu Bebas dari Prasangka dan Stigmatisasi
Selain harus menjaga kerahasiaan informasi tentang pasien, story telling yang dilakukan dokter TikTok untuk tujuan mengedukasi, mestinya tidak mengandung prasangka atau stigmatisasi terhadap pasien, termasuk pula ketika harus melakukan prosedur medis yang dianggap bertentangan dengan nilai pribadi yang dianut sang dokter. Hal ini juga telah tertuang dalam Pasal 5 KODEKI yang berbunyi, “Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan fisik maupun psikis hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien.” Pedoman pelaksanaan dari KODEK ini juga telah menjelaskan lebih jauh bahwa dokter berkewajiban untuk berusaha menyembuhkan pasien dari penyakitnya dan memulihkan kesehatannya. Kesehatan yang dimaksud bukan hanya sekadar kesehatan fisik seseorang, melainkan juga kesehatan psikisnya. Dokter harus menanamkan semangat optimis penuh harapan, tanpa melakukan kebohongan, untuk mendorong agar pasien yakin dan percaya bahwa ia dapat sembuh.
Sayangnya, masih ditemukan konten edukasi kesehatan di mana tenaga medis bersikap judgmental terhadap seorang pasiennya yang pernah meminta dilakukan prosedur medis yang dianggap tabu oleh sang dokter, seperti pasien yang berkonsultasi untuk tindakan aborsi ataupun pasien yang sudah meminum pil KB walaupun belum menikah. Hal ini tentu sangat disayangkan, sebab, sudah menjadi hak bagi setiap pasien untuk mendapatkan prosedur pemeriksaan yang objektif tanpa ada prasangka dan stigmatisasi yang menghakimi. Meskipun terdapat fakta bahwa setiap manusia, termasuk dokter, memiliki nilai dan norma tertentu di dalam dirinya, namun hal ini tetap tidak membenarkan penghakiman secara tidak profesional. Terkait hal ini, dr. Sandra sering kali menggencarkan kritik terhadap tenaga medis yang masih melakukan hal ini, “Saya selalu mengkritik rekan-rekan sejawat yang tidak bisa profesional memisahkan ranah kerja profesional dan etika-etika kedokteran dengan nilai-nilai pribadi yang dianut. Saat kita bekerja sebagai dokter bersikaplah sesuai kapasitas dokter, tidak perlu melebar menjadi ahli agama. Layani pasien dengan professional sesuai dengan sumpah profesi kita.”
Bukan hanya dokter, tenaga kesehatan lain, termasuk bidan dan perawat yang hendak membagikan konten edukasi kepada khalayak umum juga harus memperhatikan hal-hal di atas. Mengedukasi masyarakat? Tentu sangat diperlukan. Akan tetapi, tidak diperkenankan membuka aib pasien, apalagi dibumbui dengan penghakiman karena bertentangan dengan nilai moral yang dipegangnya. Parahnya, jangan sampai hal tersebut menjadi bumerang bagi para tenaga kesehatan sendiri, yakni memunculkan skeptisisme pada calon pasien terhadap tenaga kesehatan hingga akhirnya mereka enggan untuk memeriksakan diri ke tenaga kesehatan, dan dalam kasus yang ekstrim, menggunakan cara penyembuhan yang dicari melalui internet atau melalui tenaga non-medis. “Sumpah dan etika profesi kita berlaku baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Tetaplah profesional di mana pun kita berada,” tutup dr. Sandra.
Referensi:
Teks: Della Azzahra Soepardiyanto, Salma Rihhadatul Aisy
Ilustrasi: Brilian Kesumanegara
Editor: Ninda Maghfira
Pers Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, dan Berkualitas!