Kontroversi BOP UI: Nihil Transparansi hingga Indikasi Komersialisasi Pendidikan

Redaksi Suara Mahasiswa · 28 April 2023
3 menit

Kamis (27/04), aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Universitas Indonesia (UI) menggelar diskusi publik bertajuk Asa Bersama: “SK BOP Baru, Penyesuaian atau Penekanan?” sebagai bentuk penyikapan atas perubahan mekanisme  Biaya  Operasional Pendidikan (BOP) yang menuai polemik dan kontroversi. Diskusi ini menghadirkan Abdul Haris selaku Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan UI, Juditha Danuvanya sebagai Koordinator Bidang Kemahasiswaan BEM UI, Fauzan al-Rasyid seorang influencer pendidikan, dan Manik Marganamahendra selaku Ketua BEM UI 2019.

Tak Banyak Perubahan, Benarkah?

Abdul Haris menyatakan secara keseluruhan tak banyak yang berubah dari landasan BOP, hanya ada penyelarasan dengan Permendikbud No. 25. “Kami berusaha untuk tidak melakukan kenaikan, angka-angka tidak banyak berubah, istilah BOP-B saja yang kita leburkan,”

Ia juga menyebutkan bahwa perubahan BOP merupakan implikasi dari beban tugas UI sebagai world class university. “Kita dihadapkan pada persoalan dan kinerja yang berat, tapi kita juga dibebani biaya untuk membawa universitas menjadi global level. Universitas Indonesia tiap tahun anggaran sekitar 2,5 sampai 3 triliun,”

Sementara itu, menurut Juditha, ada beberapa perubahan signifikan dalam mekanisme BOP tahun ini. Salah satunya ialah ketidakbebasan mahasiswa dalam memilih dan mengajukan kelas BOP. “Tahun kemarin ada yang dilempar dari BOP-B ke BOP-P, sekarang dengan range terbuka lebar, probabilitas akan terjadi blunder itu tinggi,” tutur Juditha.

Juditha juga menyayangkan nihilnya transparansi dan pelibatan mahasiswa dalam perumusan kebijakan BOP. Ia berkata bahwa pada tanggal 13 Maret, sudah ada pertemuan antara Direktur Kemahasiswaan (Dirmawa) dan BEM se-UI, tapi draf Surat Keputusan (SK) BOP tak kunjung dibuka sampai H-4 pengumuman Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP).  “Di tanggal 13 Maret itu, kami mengunjungi salah satu stakeholder yaitu Kantor Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB). Di PMB salah satu fungsionarisnya bilang drafnya udah ada kok, emang bakal berubah. Kami minta dikirimkan karena Pak Munir sendiri bilang drafnya nggak ada. Setelah itu pernyataannya berubah bahwa drafnya memang belum ada,” jelasnya.

“Kami bingung, apakah dari UI ada itikad baik untuk melibatkan kami atau hanya retorika belaka?” tuntut Juditha.

Manik: “Mahasiswa Hanya Jadi Pasar!”

Fauzan Al-Rasyid turut memaparkan bukti banyaknya kasus penetapan BOP yang tak adil dan tidak transparan berupa kompilasi cuitan dan Direct Message (DM) mahasiswa. “Tahun kemarin banyak BOP bermasalah dengan mekanisme BOP-B dan BOP-P,” ucap Fauzan.

Ia kemudian memberikan rekomendasi bagi UI, yaitu memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk melengkapi atau memperbaiki data. “Harus ada transparansi penetapan BOP, (misal-red) kalau mengajukan 5 juta dapatnya 7.5 juta, itu kenapa?” ungkap Fauzan. “Harus ada waktu banding yang cukup, ada mekanisme untuk melengkapi berkas,”

Sementara itu, menurut Manik Marganamahendra, naiknya BOP lebih dari sekadar masalah teknis. “Kita harus melihat ini sebagai bentuk neoliberalisme pendidikan, (yaitu-red) pendidikan sebagai bentuk servis atau jasa yang diperjualbelikan,” tutur Manik. Ia juga menambahkan bahwa ada perubahan tata kelola manajemen di universitas menjadi korporatisasi, di mana pola pendidikan di Indonesia hanya sekedar memenuhi kebutuhan pasar saja, bukan semata-mata mencerdaskan.

“Data dari World Bank, Universitas Indonesia merupakan PTN-BH yang paling tinggi menerima sumber pendanaan dari student fee, sebanyak 59%. Jauh dengan ITB yang 39%, UI other income-nya hanya 20%,”

Manik kemudian mengingatkan Abdul Haris akan nota kesepahaman tentang keterbukaan akses biaya pendidikan yang pernah ia tandatangani sebagai calon rektor di tahun 2019, bersama dengan Ari Kuncoro dan calon rektor lainnya. “Perlu dipertanyakan lagi komitmen para pemimpin kita di UI bagaimana melihat mahasiswa, jangan hanya sebagai objek atau pasar saja melainkan melibatkan mahasiswa dengan optimal,” tegas Manik.

Lempar Tanggung Jawab, Wakil Rektor Tinggalkan Diskusi

Tensi nampaknya meninggi ketika sesi tanya-jawab dimulai. Seorang mahasiswa baru dari Fakultas Hukum (FH) UI melontarkan pertanyaan pertama terkait bagaimana jika terjadi perubahan kondisi ekonomi pada mahasiswa dan alasan peleburan BOP-B dan BOP-P, yang kemudian dijawab langsung oleh Abdul Haris. Akan tetapi, melalui kolom chat yang makin ramai, banyak partisipan menilai jawaban wakil rektor tersebut terlalu bertele-tele.

“Saya kurang mengerti terkait teknis, bisa ditanyakan langsung kepada Pak Badrul Munir (Direktur Kemahasiswaan UI-red),” ujar Abdul Haris. Tak lama, pada pukul 14.45, ia pamit untuk meninggalkan diskusi karena kehadiran tamu, yang seketika menuai protes keras dari partisipan.

“Ini wakil rektornya Pak Abdul Haris atau Pak Badrul Munir?” tuntut Melki Sedek Huang, Ketua BEM UI 2023. Menurut Melki, di surat undangan tertera bahwa diskusi berakhir pukul tiga sore.

“Saya bilangnya kan bisa sampai 14.45,” ucap Abdul Haris.

Setelah Abdul Haris meninggalkan diskusi, Badrul Munir menggantikannya untuk menjawab pertanyaan dari mahasiswa. Ia menyatakan mahasiswa akan mempunyai kesempatan untuk menerima, mengajukan cicilan, atau keringanan melalui proses banding.

Mengenai sempitnya lini masa pengajuan banding di mana tanggal 5 Mei sudah merupakan masa pembayaran, Badrul Munir menjanjikan bahwa akan ada pengunduran atau perubahan status mahasiswa yang mengajukan banding menjadi tunda bayar. “Ketika berkaitan dengan pembayaran, ini tidak sangat-sangat strict, dari POKJA akan dilakukan semacam penandaan lah, ini sedang proses banding atau bagaimana.”

Teks: Nada Azka

Foto: Nada Azka

Editor: M. Rifaldy Zelan


Pers Suara Mahasiswa UI 2023

Independen, Lugas, dan Berkualitas!