Logo Suma

KPI Desak Fadli Zon Minta Maaf: Pemerkosaan Mei 98 Bukan Rumor!

Redaksi Suara Mahasiswa · 14 Juni 2025
3 menit

Tragedi pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998 yang menimpa perempuan, terutama dari etnis Tionghoa, hingga kini belum dituntaskan oleh negara. Meski berbagai laporan resmi dan kesaksian telah membuktikan adanya kekerasan seksual sistematis, negara dinilai abai dan justru membiarkan munculnya wacana penulisan ulang sejarah yang mengaburkan fakta.

Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut pemerkosaan massal 1998 sebagai “rumor” memicu kecaman dari berbagai pihak. Pernyataan ini dinilai menyakiti para penyintas dan mengancam upaya panjang masyarakat sipil dalam memperjuangkan keadilan serta pengakuan atas kekerasan seksual yang terjadi.

Merespons hal tersebut, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) menyelenggarakan konferensi pers secara daring pada Jumat (13/06) untuk menegaskan penolakan terhadap penghapusan tragedi pemerkosaan Mei 1998, serta menuntut permintaan maaf Fadli Zon kepada perempuan Indonesia.

Pemerkosaan Mei 98 Ada di Dalam Naskah Sejarah

Dalam konferensi pers, Usman Hamid selaku Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia menyanggah dengan tegas pernyataan Fadli Zon bahwa tragedi pemerkosaan massal 1998 ini sebagai rumor.

“Rumor adalah cerita atau laporan yang beredar di masyarakat yang kebenarannya tidak pasti atau diragukan. Atau, laporan yang beredar luas tanpa adanya otoritas yang mengetahui kebenarannya. Dan pada umumnya, rumor tidak dapat diterima di pengadilan,” tutur Usman.

Namun, peristiwa pemerkosaan pada Mei 1998 kontradiktif dengan definisi tersebut. Nyatanya, tragedi ini diakui secara kolektif oleh sejumlah kementerian, panglima ABRI, dan Jaksa Agung. Akan tetapi, dikarenakan tidak pernah ada proses peradilan atas peristiwa ini maka tidak dapat dipastikan apakah laporan-laporan yang ada dapat diterima secara hukum.

Salah satu mantan anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), Ita Fatia Nadia, turut mengungkapkan bahwa pernyataan Fadli Zon tidak sejalan dengan fakta yang dibuktikan. Ia menjelaskan bahwa laporan-laporan mengenai tragedi pemerkosaan Mei 1998 telah disusun secara resmi.

Bahkan, TGPF sendiri merupakan tim yang langsung dibentuk oleh Presiden B.J Habibie pada masa itu untuk mengumpulkan data dan bukti terkait insiden kekerasan seksual yang terjadi selama kerusuhan.

“Fakta sejarah itu sudah ditulis dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Di situ, tertulis pergolakan politik pada Mei 1998 dan terjadi pemerkosaan massal terhadap sejumlah perempuan Tionghoa di Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya dan Solo,” jelasnya.

Kamala Chandrakirana, Ketua Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), menambahkan bahwa sikap menyangkal fakta oleh pejabat publik menunjukkan hidupnya kembali culture of denial atau budaya penyangkalan. Dalam budaya ini, pemerkosaan dan kekerasan terhadap perempuan seringkali dianggap persoalan kecil yang tidak mendesak untuk dituntaskan. Padahal, keadilan dan kebenaran bagi para korban hingga kini belum sepenuhnya terwujud akibat kurangnya peran negara.

Kamala juga menekankan bahwa banyak korban, khususnya perempuan Tionghoa, yang masih memilih bungkam akibat trauma dan stigma yang belum terhapus. Tragedi pemerkosaan Mei 1998 menjadi salah satu catatan penting dalam sejarah bangsa yang seharusnya terus diingat. Jika peristiwa kelam ini dikeluarkan dari narasi nasional maka catatan sejarah tersebut akan kehilangan keabsahan yang dapat menjauhkan kepercayaan masyarakat.

Negara Utang Moral dan Tanggung Jawab Pada Korban

Menurut Sulistyowati Irianto, bangsa yang mengubur sejarahnya kelamnya hanya sedang meruntuhkan masa depannya sendiri. Selama pengakuan tak diberikan dan korban terus dibiarkan menanggung beban sendiri maka harapan Indonesia untuk menjadi bangsa yang berperadaban hanya akan menjadi utopia.

Negara dituntut segera membayar utang pengakuan. Bahwa peristiwa ini benar terjadi dan harus diakui secara resmi agar pemulihan dapat dimulai, bukan hanya bagi para korban, tetapi juga demi martabat bangsa.

Pernyataan serupa disampaikan oleh Andy Yentriyani, mantan Ketua Komnas Perempuan, yang menilai bahwa penyangkalan terhadap fakta kekerasan hanya akan memperpanjang penderitaan korban.

Berdasarkan penelusuran Komnas Perempuan selama lebih dari satu dekade, banyak korban masih memilih bungkam karena trauma mendalam, stigma sosial, tekanan keluarga, dan minimnya kepercayaan terhadap perlindungan hukum. Laporan TGPF bahkan secara eksplisit menyebut keterlibatan aparat negara, namun hingga kini tak ada satu pun bentuk pertanggungjawaban hukum yang ditegakkan.

Andy juga menyoroti absennya narasi jujur tentang konflik etnis dalam buku-buku sejarah Indonesia, terutama yang berkaitan dengan kekerasan terhadap komunitas Tionghoa. Narasi resmi justru dipenuhi pembenaran, membiarkan opini menyesatkan berkembang bahwa tragedi Mei 1998 hanyalah rumor belaka, karena para korban dianggap “bukan bagian dari bangsa ini.”

Sementara itu, Jaleswari Pramodhawardani secara tegas menyebut pernyataan Fadli Zon sebagai bentuk kebohongan publik. Kebohongan ini tak hanya mengkhianati para penyintas, tetapi juga mengingkari sikap resmi negara yang sudah tertuang dalam kebijakan era Presiden Habibie. Penyangkalan semacam itu tak ubahnya membuka kembali luka lama dan menjadi penghinaan terhadap korban yang selama bertahun-tahun memperjuangkan keadilan dalam sunyi.

“Tanpa keadilan, demokrasi kita adalah fatamorgana,” pungkasnya

Teks: Vania Shaqila Noorjannah, Huwaida Rafifa Yumna

Editor: Dela Srilestari

Foto: Istimewa

Desain: Kania Puri A. HermawanHermawan

Pers Suara Mahasiswa UI

Lugas, Independen, Berkualitas!