Kritik Demokrasi dalam Diskusi Publik: Serukan Perubahan dan Perjuangan

Redaksi Suara Mahasiswa · 7 Maret 2024
3 menit

Pada Rabu sore (6/3), sebuah Diskusi Publik bertajuk “Demokrasi Rusak, Pemilu Dibajak Rezim” terselenggara di Taman Lingkar Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia (Perpusat UI). Acara itu merupakan hasil kolaborasi Barisan Garda Depan (Brigade) UI, Transparency International Indonesia (TII), dan UI Bergerak. Diskusi tersebut menghadirkan empat pembicara, yaitu Asfinawati, Rocky Gerung, Danang Widoyoko, dan Hariati Sinaga. Tujuan penyelenggaraannya adalah upaya para kolaborator untuk mengingatkan publik akan bahayanya penurunan kualitas pemberantasan korupsi dan kerusakan demokrasi yang sedang terjadi saat ini.

Dalam diskusi tersebut, Asfinawati menjadi narasumber pertama yang membuka diskusi. Dari sudut pandangnya sebagai seorang pegiat Hak Asasi Manusia (HAM), Asfinawati mengutarakan pendapatnya terkait pelanggaran hak politik dalam pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Menurutnya, segala kecurangan Pemilu yang gila-gilaan sedang terjadi merupakan indikasi dari pelanggaran salah satu HAM, yaitu hak politik. Dia juga menyoroti bahwa Indonesia akan semakin terpuruk jika oligarki benar-benar kembali berdiri setelah reformasi terjadi. Berbagai peristiwa selama Masa Pemilu 2024 yang mengarah pada pembatasan rakyat biasa untuk berperan serta dalam menentukan jalannya demokrasi adalah gejala awal dari keterpurukan itu.

Selanjutnya, Danang Widoyoko selaku Sekretaris Jenderal TII mendiskusikan kapasitas dan kredibilitas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam pembahasannya, Danang mengisyaratkan bahwa telah terjadi penurunan prestasi kerja pada lembaga independen tersebut.

“UU (red: Undang-Undang) KPK direvisi dalam kurang 2 minggu; menutup partisipasi, tidak transparan, dan mengabaikan suara rakyat–ini membahayakan. KPK bukan lagi untuk menegakkan keadilan, tetapi untuk melanjutkan kepentingan,” ungkap Danang.

Lebih lanjut, Danang juga berpesan agar mahasiswa dapat menjadi oposisi pemerintah untuk memimpin perlawanan dan pergerakan demi memperbaiki demokrasi dan hukum Indonesia. Dia menyampaikan pesan tersebut sebagai antisipasi jangka panjang.

“DPR, hak angketnya maju mundur. Partai politik juga saling menunggu. Oposisi paling mungkin dari luar; ada buruh dan mahasiswa”.

Hariati Sinaga selaku Dosen dari Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI melanjutkan diskusi dengan membahas ruang perempuan untuk bersuara yang semakin sempit. Secara khusus, Hariati menyoroti kondisi perempuan yang memprihatinkan di bidang pendidikan dan perekonomian. Bukannya mendapatkan perhatian, banyak pihak justru menjadikan keadaan mereka sebagai lahan kesempatan dalam kesempitan. Sebagai contoh, Hariati mengangkat kasus terkait banyaknya penggelontoran Bantuan Sosial (Bansos) dan makanan gratis selama masa Pemilu 2024 kepada para perempuan yang kurang berpendidikan. Kasus itu pun menjadi penjelas akan pendominasian pemilih pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor 02 oleh para perempuan yang kurang berpendidikan, bahkan yang hanya lulusan Sekolah Dasar (SD).

“Jadi, saya berharap ini bisa semakin membuka mata dan telinga kita terhadap permasalahan perempuan, terutama (permasalahan perempuan) di sekitar teman-teman. Apakah aspirasi politik perempuan ke depannya akan didengar? Oleh karena itu, penting untuk menggerakan wadah afirmatif dan menyiapkan energi untuk sepuluh tahun ke depan,” tuturnya.

Pernyataan Hariati itu mendapat dukungan dari seorang mahasiswa Fakultas Teknik (FT) UI bernama Dika. Ia berpendapat bahwa salah satu faktor yang menyebabkan mengakarnya keburukan dalam perpolitikan Indonesia adalah ketidakberdayaan banyak orang untuk memiliki berbagai privilese dalam kehidupan, seperti edukasi, relasi, dan modal budaya (cultural capital). Ketidakberdayaan tersebut memaksa orang-orang itu untuk menggadaikan dirinya kepada keburukan agar tetap bertahan hidup.

Adapun dalam diskusinya, Rocky Gerung sebagai Filsuf dan Pengamat Politik menyampaikan banyak sindiran kepada rezim Joko Widodo (Jokowi). Dia menduga bahwa telah terjadi penyelundupan korupsi ke dalam hierarki pemerintahan melalui perintah “seseorang” secara terstruktur dari awal perencanaannya.

“Sumber korupsi adalah pengabdian terhadap kekuasaan. Ada dirty vote, dirty hand, (dan) dirty mind (dengan) mastermind-nya, yaitu Jokowi,” ungkapnya.

Rocky juga mengkritik kinerja rezim Jokowi terhadap amanat pencerdasan kehidupan bangsa dan pemeliharaan fakir miskin. Menurutnya, rata-rata Kecerdasan Intelektual (Intelligence Quotient/IQ) nasional yang hanya berkisar pada angka 78 adalah bukti nyata dari kegagalan pemerintah dalam pemenuhan amanat di bidang pendidikan.

Meskipun rintikan hujan menemani jalannya kegiatan ini, semangat mahasiswa dan masyarakat untuk turut hadir menyuarakan demokrasi bangsa tetap menyala. Kegiatan Diskusi Publik pun berjalan dengan baik dari awal hingga ketika Rocky Gerung menyampaikan pernyataan penutupnya sore itu.

“Selamat menempuh kuliah, siapkan diri untuk demonstrasi! Harapan kita adalah pemakzulan,” tutup Rocky.

Sebagai pesan tambahan, Asfinawati menyampaikan kepada Suara Mahasiswa (Suma) UI bahwa hanya rakyat yang dapat menyelamatkan demokrasi dari pemerintahan yang semakin otoriter. Adapun penyelamatan tersebut harus dilakukan sesegera mungkin.

“Mumpung mereka masih dalam konsolidasi dan belum dilantik, maka suara-suara yang menginginkan demokrasi, menginginkan perubahan yang lebih baik harus disuarakan,” tuturnya.


Teks: Kanza Armifa Anggi

Editor: Jesica Dominiq M.

Foto: Vilda Zahra


Pers Suara Mahasiswa UI 2024

Independen, Lugas, dan Berkualitas!