Ribuan wisudawan Universitas Indonesia (UI) merayakan kelulusan mereka dalam wisuda yang berlangsung pada 11–13 September 2025 di Balairung UI. Di balik suasana penuh suka cita yang dihiasi toga dan bunga, perayaan ini juga diwarnai kritik dari para wisudawan terkait acara.
Untuk mengelola ribuan wisudawan dan pendampingnya, UI menerapkan beberapa kebijakan baru. Jadwal wisuda dibagi menjadi lima sesi, yang terdiri dari sesi pagi dan sesi siang, untuk mengurangi kepadatan di dalam kampus. Sebagai bagian dari upaya ini, panitia juga menerapkan aturan tempat duduk baru: wisudawan sarjana dan magister ditempatkan di tribun, sementara wisudawan doktor dan orang tua berada di area bawah.
Kebijakan ini menuai beragam tanggapan. Sebagian wisudawan merasa sistem ini memudahkan akses bagi orang tua, tetapi banyak pula yang menyayangkannya karena wisudawan—sebagai tokoh utama acara—justru tidak menjadi pusat perhatian.
Biaya Tinggi yang tidak Sepadan dengan Kualitas Acara
Prosesi wisuda tahun ini dihadiri beberapa tokoh penting, antara lain Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Muhammad Jusuf Kalla, serta Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon.
Di balik kemeriahannya, sejumlah wisudawan mengeluhkan biaya wisuda yang dinilai tidak sebanding dengan fasilitas yang disediakan. Dengan nominal lebih dari Rp1 juta, pendingin ruangan dianggap masih belum merata, terutama bagi wisudawan yang duduk di tribun.
“Di tribun masih pengap, kipasnya justru bikin lembap,” tutur salah satu wisudawan Fakultas Teknik. Hal ini juga didukung oleh unggahan akun X wisudawan, @villifai yang menyoroti bahwa jumlah pendingin ruangan di area tribun saat gladi resik sangat terbatas. Sementara itu, di area panggung—tempat duduk para petinggi kampus—justru disediakan enam unit AC.
Masalah ini tidak hanya sampai saat pra-acara wisuda saja. Fasilitas pendingin juga terbukti tidak merata saat prosesi wisuda meskipun sudah ditambah beberapa unit di banyak titik. Beberapa wisudawan memang mengaku nyaman dan beruntung karena duduk di dekat AC, tetapi kondisi ini justru memperlihatkan ketidakmerataan fasilitas.
Di sisi lain, kelengkapan lain seperti konsumsi, dokumentasi, hingga kualitas toga dan jubah juga banyak dikomentari. “Konsumsinya cuma sekali, toganya tipis, dokumentasi hanya berupa soft file. Dengan biaya segitu, harusnya kami dapat pengalaman yang lebih berkesan,” ujar salah satu wisudawan Fakultas Hukum.
Perbandingan dengan kampus lain juga diutarakan oleh satu wisudawan Fakultas Teknik. Ia menyatakan bahwa Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) yang sama-sama menggunakan Balairung UI saja hanya memungut biaya Rp350 ribu. “Aneh saja, pemilik gedung malah lebih mahal daripada penyewa,” keluhnya.
Selain terkait biaya, banyak wisudawan mengaku kecewa karena tidak dipanggil satu per satu dalam prosesi. Tahun ini, hanya perwakilan dari setiap fakultas dengan IPK tertinggi yang naik ke panggung, tanpa adanya pemindahan tali toga secara simbolis bagi setiap lulusan.
Kritik serupa terkait hal ini juga diutarakan oleh salah satu wisudawan Fakultas Hukum, “Fakultas kita juga mengadakan wisuda kan, dan biayanya nggak sampai segitu. Dengan biaya yang lebih [me]mudah[kan], kita bisa dipanggil semua. Gedungnya juga lebih bagus, ber-AC.”
Biaya wisuda yang tinggi dan fasilitas yang kurang lengkap ini diperparah dengan beberapa hal kontroversial, seperti cara penggalangan Dana Abadi UI yang dianggap tidak etis, adanya gerai Starbucks saat pra-wisuda, serta aturan pakaian orang tua yang dinilai menyulitkan.
Pembungkaman Lewat Larangan Poster
Suasana wisuda yang seharusnya menjadi ajang perayaan juga diwarnai ketegangan akibat indikasi pembungkaman aspirasi mahasiswa. Sebelumnya, panitia sempat mengeluarkan larangan bagi wisudawan untuk membawa atribut berupa poster. Namun, hal ini tidak menghentikan semangat kritis para wisudawan.
Beberapa wisudawan dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) tetap berani membawa atribut simbolis, seperti bendera pink, hijau, dan biru yang melambangkan Brave Pink, Hero Green, dan Blue Resistance. Bahkan, ada perwakilan wisudawan yang mengibarkan bendera Palestina di atas panggung, menunjukkan keberanian mereka dalam menyuarakan isu-isu krusial.
Saran dan Harapan Wisudawan UI untuk Perbaikan ke Depannya
Terlepas dari banyaknya kritik yang diberikan, wisudawan tetap mengapresiasi kelancaran lalu lintas di sekitar kampus juga pembagian sesi yang membuat acara lebih tertib dibanding tahun lalu. Namun, mereka berharap wisuda UI selanjutnya bisa lebih memaknai perayaan ini sebagai momen utama para lulusan.
Sejumlah saran pun disampaikan. Wisudawan menekankan pentingnya mengembalikan prosesi pemanggilan nama satu per satu lengkap dengan pemindahan tali toga, agar setiap lulusan dapat merasakan momen sakral tersebut secara langsung. Selain itu, penempatan wisudawan di tribun dinilai perlu ditinjau ulang karena perayaan ini sejatinya ditujukan untuk mereka, bukan semata-mata untuk memudahkan akses orang tua.
Kritik juga diarahkan pada aspek fasilitas: pendingin ruangan harus lebih merata, konsumsi yang disediakan perlu lebih layak, dan souvenir sebaiknya menyesuaikan besarnya biaya yang dibayarkan. Tidak kalah penting, transparansi alokasi dana wisuda dianggap perlu dilakukan secara lebih detail agar wisudawan dapat memahami dengan jelas ke mana biaya yang cukup besar itu digunakan.
Teks: Huwaida Rafifa Yumna, Tsabita Athaya
Editor: Naswa Dwidayanti Khairunnisa
Foto: Istimewa
Desain: Kania Puri A. Hermawan
Pers Suara Mahasiswa UI 2025
Independen, Lugas, dan Berkualitas!