Logo Suma

Kuasa Hukum Sorbatua Serahkan Surat Dukungan ke MA

Redaksi Suara Mahasiswa · 10 Mei 2025
3 menit

Solidaritas Masyarakat Sipil untuk Sorbatua Siallagan kembali mengadakan aksi seruan keadilan di depan gerbang Gedung Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia pada Jumat (9/5). Aksi ini digelar untuk menyikapi kriminalisasi yang kembali dialami Sorbatua melalui pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Simalungun pada 7 November silam.

Bapak Sorbatua merupakan tetua adat Ompu Umbak Siallagan sekaligus pemilik tanah adat di wilayah Dolok Parmonangan, Simalungun. Sejak Maret 2024, ia beserta masyarakat adat Lamtoras lainnya berjuang di meja hijau melawan PT Toba Pulp Lestari (TPL). Melalui putusan Pengadilan Negeri Simalungun pada 14 Agustus silam, Sorbatua Siallagan harus menjalani hukuman penjara juga membayar denda sebesar satu miliar rupiah.

Masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan menyerukan adanya cedera proses pelaporan dan penangkapan, mengingat polisi yang datang untuk memproses laporan tidak menunjukkan identitas dan surat resmi sehingga dapat dianggap sebagai penculikan. Pihak Sorbatua pun mengajukan kontra memori kasasi atau banding pada bulan Desember yang sedang dikawal pada aksi ini.

Aksi seruan keadilan dibuka dengan peletakan sesajian di depan gerbang MA. Pembakaran kemenyan menunjukkan identitas mereka sebagai penduduk asli Tano Batak. Aksi kemudian dilanjutkan dengan seruan orasi oleh berbagai pihak yang hadir.

Selain itu, aksi juga disertai dengan upacara doa kepada leluhur yang dipimpin oleh Friska Simanjuntak, salah satu perempuan adat yang turut memperjuangkan hak masyarakat adat Lamtoras. Ia memakai pakaian adat berupa kain ulos dan ornamen tradisional lainnya. Diiringi alunan musik tradisional, Friska meratapi suka duka perjuangan menggunakan bahasa adat. Sebagai sarana permohonan doa dan berkat Tuhan yang Maha Esa, ritual ini memakai hasil panen masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan yang mereka bawa dari kampung halaman.

Pencemaran Lingkungan Jadi Ancaman

Hingga kini, masyarakat adat Lamtoras masih terus memperjuangkan haknya di hadapan pemerintah yang dinilai lebih berpihak kepada korporasi daripada masyarakat adat. Luka fisik dan cedera alam yang disebabkan TPL terhadap kawasan hutan adat tidak pernah dipertanggungjawabkan, padahal perusakan tersebut sangat merugikan masyarakat adat.

“Tanah adat yang sudah mereka kelola turun temurun harus dipertahankan untuk keluarga mereka, apalagi mata pencaharian mereka bergantung pada tanah. Kalau hanya dikuasai segelintir orang seperti TPL, [itu] akan mematikan mata pencaharian mereka,” ungkap Vita, orator dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

“Ikan sudah diracun, air sudah dikuasai, lingkungan tercemar, pohon [pun] sudah dihapuskan dan diganti dengan pohon baru [eukaliptus] demi keuntungan perusahaan,” lanjutnya.

Isu yang saat ini dihadapi masyarakat adat Lamtoras merupakan satu dari sekian banyak kasus perampasan hak masyarakat adat oleh korporasi. Maraknya kasus sejenis diakibatkan kegagalan pemerintah dalam menjamin hak hidup rakyat secara inklusif. Jika RUU Masyarakat Adat tak kunjung disahkan, akan ada Sorbatua-Sorbatua lainnya. Kriminalisasi atas pengelolaan tanah adat akan terus bermunculan.

Puan Maharani, salah satu anggota KPA yang hadir dalam aksi kali ini, menyatakan bahwa KPA berperan untuk membersamai, memberikan advokasi, serta membantu menganalisis dan mengawal kasus ini sampai tuntas. Ia menjelaskan bahwa KPA mengusung reforma agraria sejati. Artinya, seluruh hak atas tanah harus serta merta dimiliki masyarakat Indonesia secara adil, sesuai yang diamanatkan Pasal 33 UUD 1945 bahwa sumber agraria harus dikuasai oleh masyarakat dengan seadil-adilnya.

“Sebelum terbentuknya negara, kita sudah ada masyarakat adat. Tiba-tiba ada negara, negara menjual tanah ini ke perusahaan. Kita sebagai masyarakat enggak boleh diam aja,” tegas Puan.

Penyerahan Dokumen Pendukung kepada MA

Aksi melibatkan penyerahan dokumen dari massa kepada pihak Mahkamah Agung. Kuasa hukum Sorbatua Siallagan yang tergabung dalam Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara (TAMAN) sekaligus pengacara publik dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Judianto Simanjuntak, merangkum kembali berkas yang telah mereka serahkan ke Mahkamah Agung. Dokumen yang diserahkan berupa:

  1. Surat dukungan solidaritas massa aksi dengan 324 dukungan agar MA memberi putusan yang adil bagi Sorbatua Siallagan.
  2. Petisi change.org yang telah memperoleh 10.017 dukungan untuk mendesak pembebasan Sorbatua Siallagan.
  3. Catatan akhir tahun dari Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) juga Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak yang berisi keterangan dari Komnas HAM.

Ditegaskan pula bahwa prosesi penyerahan dokumen ini bukanlah upaya intervensi, melainkan bentuk dukungan masyarakat adat terhadap kinerja MA, sekaligus permohonan agar hakim menimbang keputusan seadil-adilnya.

Setelah itu, aksi dilanjutkan dengan pembacaan puisi, serta nyanyian lagu “Tano Batak” yang dipimpin langsung oleh anak dari Bapak Sorbatua Siallagan. Melalui orasinya, ia menegaskan kembali bahwa ayahnya tidak bersalah, sekaligus menuntut ditutupnya TPL sebagai perampas hak masyarakat adat.

Ia juga mengungkapkan kembali bahwa Bapak Sorbatua telah berjasa besar dalam menjaga kelestarian lingkungan dan hutan adat sehingga tidak semestinya dikriminalisasi, berbanding terbalik dengan TPL yang mengeksploitasi kekayaan alam Tano Batak demi kepentingan perusahaan dan melakukan kerusakan.  

Teks: Cut Khaira, Grace Tereneysa

Editor: Naswa Dwidayanti Khairunnisa

Foto: Dela Srilestari

Desain: Kania Puri A. Hermawan

Pers Suara Mahasiswa UI

Independen, Lugas, dan Berkualitas!