Lady Bird: Seni Banalitas Cinta dan Kehidupan

Redaksi Suara Mahasiswa · 14 Mei 2021
4 menit

Judul: Lady Bird
Sutradara: Greta Gerwig
Produser: Scott Rudin, Eli Bush, Evelyn O’Neill
Penulis: Greta Gerwig
Genre: Drama-komedi coming-of-age
Tanggal rilis: 3 November 2017 (Amerika Serikat)
Durasi: 94 Menit
Pemain: Saoirse Ronan, Laurie Metcalf, Tracy Letts, Lucas Hedges, Timothee Chalamet, Beanie Feldstein

Perhatian: mengandung spoiler cerita

Apabila membicarakan seni, seringkali kita akan langsung terpikir mengenai lukisan-lukisan termasyhur, bangunan-bangunan megah, serta patung-patung yang diukir dengan detail dan ketelitian luar biasa. Apabila kita harus mencari “seni”, kita akan langsung terpikir untuk ke museum, pameran, serta tempat-tempat yang mewah dan grandeur. Padahal, nyatanya seni dapat kita temukan di mana saja, bahkan di sudut kehidupan yang paling banal sekalipun. Sayangnya, kita seringkali tidak menyadari dan kurang mengapresiasinya. Seni dalam banalitas inilah yang dapat kita rasakan dan sadari apabila kita menyaksikan film besutan Greta Gerwig, Lady Bird.

Lady Bird merupakan film drama-komedi coming of age keluaran 2017 yang berlatar di Sacramento, California, sekitar tahun 2002-2003. Film ini mengisahkan seorang siswi SMA tingkat akhir bernama Christine McPherson (diperankan oleh Saoirse Ronan), yang menyematkan identitas baru pada dirinya sendiri dengan nama “Lady Bird”. Lady Bird merupakan sosok yang independen, keras kepala, pemberontak dan menginginkan kebebasan—ia memandang rendah kota asalnya Sacramento dan benci sekolahnya. Ia berambisi besar untuk bisa kuliah di universitas-universitas liberal arts ternama di pesisir timur Amerika Serikat yang menurutnya lebih “berbudaya”. Sangat disayangkan, keluarga Lady Bird hanyalah keluarga kelas pekerja sederhana yang hidup pas-pasan dan kesulitan secara finansial. Karena alasan ini, sang ibu, Marion menentang keras ambisi Lady Bird. Konflik Lady Bird dengan ibunya yang berkepanjangan tersebut menjadi inti dari jalan cerita film ini. Di antara tema konflik keluarga tersebut, penonton juga disuguhkan dengan berbagai klise dalam kehidupan remaja dan film coming-of-age: Lady Bird yang berusaha untuk bergabung dengan ‘anak-anak keren’ di sekolahnya hingga harus meninggalkan sahabatnya Julie, hubungan-hubungan romantisnya dengan lelaki yang pada akhirnya kandas dengan mengecewakan, serta perjuangannya secara akademik agar memiliki nilai yang cukup, serta persitegangan antara dirinya yang menginginkan kebebasan dengan lingkungannya.

Sebagai sebuah film drama coming-of-age, Lady Bird menggambarkan suasana kehidupan yang sangat awam. Kehidupan Lady Bird dan keluarganya tidaklah spesial, mereka bisa dibilang sama dengan jutaan keluarga kelas menengah-pekerja di Amerika Serikat yang berjuang untuk memenuhi kebutuhannya dan bermimpi tinggi di tengah ekonomi yang ganas dan mencekik. Kehidupan remaja Lady Bird juga tidak jauh berbeda dari remaja-remaja lain dengan berbagai klisenya. Film ini menggambarkan kehidupan dalam segala ke-biasa-annya, secara kasar dan apa adanya saja. Konsep inilah yang penulis sebut sebagai “banalitas”, yang menurut penulis menjadi seni utama dalam film ini.

Banalitas utama dalam film ini adalah tesis yang disajikannya:  bahwa cinta = perhatian. Gagasan ini disampaikan pada adegan ketika Lady Bird sedang membicarakan esai yang dibuatnya untuk pendaftaran kuliah dengan Suster Sarah-Joan, sang kepala sekolah. Suster Sarah-Joan menyampaikan bahwa menurutnya Lady Bird “sangat jelas mencintai Sacramento”. Hal ini terlihat melalui cara Lady Bird memaparkan Sacramento dengan penuh detail. Lady Bird, yang jelas-jelas justru ingin meninggalkan Sacramento, menepisnya dengan alasan bahwa ia hanya “perhatian”. Suster Sarah-Joan kemudian bertanya kepada Lady Bird, “Bukankah menurutmu mereka adalah hal yang sama? Cinta dan perhatian?”. Dari sinilah kita dapat melihat bagaimana penggambaran akan perasaan cinta yang banal menjadi sebuah karya seni. Sepanjang cerita, kita disajikan dengan penggambaran akan perhatian melalui cinta, yang utamanya berasal dari Marion, ibunya. Cinta yang banal ini tidak selalu menyenangkan—Justru digambarkan bagaimana perhatian dari ibunya sangat melelahkan, berlebihan, memaksa dan cenderung menghakimi. Namun, itulah bagaimana Marion mencintai putrinya. Tema tentang perhatian sebagai cinta ini juga dapat dilihat dari konflik yang terjadi ketika Lady Bird meninggalkan sahabatnya, Julie, untuk berteman dengan anak-anak yang lebih kaya dan populer agar bisa dekat dengan orang yang disukainya. Ketika Lady Bird meninggalkan Julie untuk bermain teater dan pergi ke prom sendirian, terlihat bagaimana ketika kita berhenti menaruh perhatian pada sesuatu, cinta kita terhadapnya juga menghilang. Oleh sebab itu, sekali lagi, cinta = perhatian, dengan segala banalitas dan ketidaksempurnaannya. Cinta yang banal ini mungkin tidak selalu sepenuhnya membahagiakan, tetapi cinta ini tekun, gigih, dan setia.

Bersamaan dengan tesis cinta ini, Lady Bird membawa konsep banalitas ke langkah lebih tinggi, yaitu dengan keseluruhan aspek kehidupan. Banalitas kehidupan itu ditunjukkan oleh karakter Lady Bird sendiri, yang walaupun merupakan tokoh utama, sifatnya jauh dari sempurna. Ia melakukan banyak kenakalan remaja. Lady Bird adalah kita, dengan kehidupan remaja yang banal, sama sebagaimana yang kita lewati. Banalitas kehidupan lainnya juga tampak dalam krisis finansial yang dihadapi oleh keluarga Lady Bird, yakni hilangnya pekerjaan sang ayah dan perjuangannya untuk mencari pekerjaan baru meskipun sedang bergelut dengan depresi. Banalitas ini adalah realitas yang dirasakan mayoritas manusia di dunia, yang hidup sebagai kelas pekerja dan menggantungkan seluruh kehidupannya pada kerja upahan.

Banalitas kehidupan final digambarkan di adegan penutup, yaitu saat Lady Bird berada di New York. Ia baru saja sadar setelah pingsan karena mabuk dalam suatu pesta. Ia memasuki sebuah gereja dan mengalami sebuah momen epifani, lalu menelepon ibunya—walau tidak diangkat—sehingga ia hanya meninggalkan pesan suara. Kemudian, ia memperkenalkan dirinya dengan nama Christine, dan menyatakan betapa ia menghargai nama yang diberikan oleh orang tuanya itu. Akhirnya, ia membahas Sacramento dan menyatakan bahwa ia mencintai ibunya, serta berterima kasih padanya. Inilah momen katarsis dalam film Lady Bird dan penggambaran realitas yang juga paling banal dalam kehidupan setiap manusia: kesadaran (realization) dan penyesalan (regret). Pada adegan itu, di saat ia sudah sangat jauh dari rumah dan dari keluarganya, barulah Lady Bird menyadari betapa ia sangat mencintai keluarganya dan Sacramento. Ia sekarang berada di kota yang benar-benar asing baginya, dengan keadaaan hangover, dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Akan tetapi, itu tidak penting—pada saat itu, ia hanya memikirkan bagaimana ia sangat merindukan keluarganya dan Sacramento.

Oleh karena itu, di sini terletak pesan yang juga banal karena sudah sering kali kita dengar: cinta akan selalu sulit karena pada dasarnya tidak akan ada persatuan tanpa perpisahan. Hargailah apa yang ada di sekelilingmu. Kenalilah dan apresiasi bentuk-bentuk cinta yang diberikan kepada kita, walau kadang tidak selalu menyenangkan. Ini adalah pesan yang sangat banal, tetapi Lady Bird sukses membawakannya sebagai sebuah karya seni yang menakjubkan.

Teks: Faiz Abimanyu (kontributor)
Foto: Istimewa
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!