Laki-Laki sebagai Korban Kekerasan Seksual: Maskulinitas dan Konotasi 'Kuat' yang Merugikan

Redaksi Suara Mahasiswa · 26 September 2021
4 menit

Beberapa waktu yang lalu, jagat pemberitaan diramaikan oleh kasus kekerasan seksual yang menimpa salah satu pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pusat. Berbeda dengan kasus kekerasan seksual yang biasanya terjadi pada seorang perempuan, kali ini kasus kekerasan seksual terjadi pada seorang laki-laki. Lantas, mengapa laki-laki selalu dianggap tidak dapat jadi korban kekerasan seksual?

Sebelum membahas kekerasan seksual pada laki-laki secara spesifik, ada baiknya kita mengulas terlebih dahulu mengenai: apa itu kekerasan seksual? Menurut Komnas Perempuan, kekerasan seksual didefinisikan sebagai setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang dan/atau tindakan lainnya, terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, dan/atau tindakan lain yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa, relasi gender dan/atau sebab lain, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan terhadap secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.

Kekerasan seksual pada dasarnya dapat dialami oleh siapa saja, baik itu laki-laki ataupun perempuan. Akan tetapi, terdapat pola tanggapan dan penindakan yang 'berbeda' apabila kekerasan seksual ini dialami oleh laki-laki. Pada laki-laki, kasus kekerasan seksual yang terjadi biasanya kurang mendapat penindaklanjutan yang lebih serius. Hal ini disebabkan oleh stereotip yang berkembang di masyarakat—berkelindan dengan budaya maskulinitas yang menilai laki-laki sebagai sosok yang mendominasi dan memegang kendali. Dengan adanya stereotip maskulinitas tersebut, laki-laki diharapkan untuk bertingkah semaskulin mungkin dan menjadi figur yang “kuat” dalam masyarakat, hal inilah yang membuat masyarakat berpandangan bahwa laki-laki tak mungkin jadi korban kekerasan seksual. Tentu, hal ini memberatkan posisi laki-laki ketika mereka menjadi korban kekerasan seksual.

Cantyo Atindriyo Dannisworo, dosen Psikologi Universitas Indonesia, yang akrab dipanggil dengan Dannis, mendefinisikan kekerasan seksual sebagai, “Segala bentuk perilaku yang terkait dengan menyentuh area seksualitas, merendahkan, merusak batas-batas personal secara seksual dan orang lain yang diberlakukannya tidak memberikan consent atas perilaku tersebut”. Siapa pun yang mendapat perlakuan seperti itu termasuk ke dalam golongan korban kekerasan seksual, baik perempuan maupun laki-laki. Pertanyaannya, bagaimana kekerasan seksual dapat terjadi kepada laki-laki yang kerap distereotipkan sebagai kaum yang maskulin, mendominasi, dan kuat?

Kekerasan Seksual pada Laki-laki Baru Bermunculan?

Fenomena kekerasan seksual pada laki-laki baru didengar oleh sebagian dari masyarakat, tetapi kasusnya dapat saja sudah banyak terjadi jauh sebelum kasus KPI dan Saipul Jamil. Akan tetapi, karena pandangan masyarakat yang beranggapan bahwa laki-laki harus jantan dan kuat, akhirnya banyak korban yang tidak menyuarakan apa yang dialaminya dengan alasan takut mendapatkan stigma buruk dari masyarakat. Selain itu, perlindungan hukum terkait kekerasan seksual pun tidak kunjung disahkan, sehingga membuat korban semakin enggan untuk bicara.

Perbedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam pandangan masyarakat patriarki memang cenderung menjadikan perempuan lebih banyak menjadi korban kekerasan seksual, tetapi tak menutup kemungkinan juga apabila laki-laki dapat menjadi korban kekerasan seksual. “Kalau kita ngomongin power, tidak hanya tentang gender dan society secara luas. Itu kan kasus KPI antara atasan dan bawahan,” ujar Dannis. Power distance di dalam lingkungan di luar keluarga juga dapat menjadi faktor umum penyebab kekerasan seksual dapat terjadi pada laki-laki yang dilakukan oleh laki-laki pula, misalnya di lingkungan kerja, antara atasan terhadap bawahannya. “Itu kan kalau dia bilang enggak, bisa terancam dipecat dan tidak mendapat uang,” lanjutnya.

Meski kekerasan seksual seperti kasus yang dicontohkan Dannis terjadi karena salah satu faktor relasi kuasa, tapi pola pikir masyarakat terhadap laki-laki juga turut berkontribusi pada langgengnya kekerasan seksual pada laki-laki—yang selama ini tidak kita sadari.

Pandangan serupa juga disampaikan oleh Ady. “Kita selama ini mikir bahwasanya laki-laki itu nggak jadi korban kekerasan seksual karena kita pun denial terhadap kelemahan laki-laki sendiri. Kuncinya itu sih, karena kita denial bahwasanya laki-laki juga punya batasan, mikirnya kita tuh sebagai laki-laki fu***** super human being, padahal kan enggak, pada akhirnya sih semua orang juga bisa jadi korban,” ujar Ady, mahasiswa Filsafat UI.

Dalam pandangan Ady, pola pikir dan konotasi yang menjustifikasi bahwa laki-laki selalu kuat, adalah bahaya. Menurutnya, kekerasan seksual itu akan selalu ada dan berevolusi. Dan cara untuk menghentikan rantai kekerasan seksual bukan berarti kita harus menjadi kuat. Maka dari itu, perlu adanya upaya untuk mengubah pandangan masyarakat terhadap maskulinitas laki-laki. “Ketahuilah bahwasanya ‘lelaki yang kuat’ itu tidak relevan, karena lelaki pun bisa lemah, begitu pula perempuan—bisa lemah, bisa kuat. Keyakinan laki-laki harus super macho, aktif, dan ofensif setiap saat merupakan mindset yang kolot,” tegas Ady.


Dampak Psikologis pada Korban

Selain luka fisik, korban juga terdampak luka psikologis yang bisa terlihat oleh orang lain atau dipendam sendirian. “Korban bisa mendapat gangguan seksual tertentu,  menghambat dorongan seksual atau malah tidak bisa menahan karena ada trauma tersendiri,” ungkap Dannis. Trauma yang dirasakan oleh korban membutuhkan jangka waktu yang cukup panjang untuk disembuhkan atau bahkan akan terus terbayang dalam hidupnya terlebih jika sang korban tertutup. “Selain itu, korban akan merasa keberhargaan dan kepercayaan dirinya hancur, mimpi buruk, munculnya kecemasan-kecemasan,” lanjut Dannis. Bercermin dari kasus kekerasan seksual baru-baru ini, penderitaan korban yang telah terjadi bertahun-tahun membuat korban hampir depresi dan menjadi mudah emosi karena terbayang oleh kejadian yang dialaminya. Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk membantu korban kekerasan seksual?

Luka fisik dan dampak psikologis yang dialami oleh korban kekerasan seksual tentu sulit untuk dihilangkan. Meskipun demikian, sebagai masyarakat awam, kita dapat membantu korban kekerasan seksual baik perempuan atau laki-laki dengan beberapa cara antara lain.

Pertama adalah mempercayai korban. Menurut Dannis, langkah pertama yang bisa dilakukan masyarakat awam untuk membantu korban kekerasan seksual adalah mempercayai korban dan tidak meremehkannya. “Yang pertama bisa dilakukan adalah dengan percaya kepada dia. Karena kadang-kadang, apalagi laki-laki ya, kadang-kadang kita meremehkan, tuh. Meremehkan kayak, ‘Ih, masa lu mau sih digituin?’, ‘Ih, masa lu bisa sih digituin?’ Dia (korban—red) jadi ngerasa bersalah, jadi menyalahkan dirinya sendiri, dan mungkin malah nggak mau cerita lagi ke orang lain. Karena dia tau, ketika dia cerita kok dia malah dipermalukan, kok dia malah dikata-katain. Jadi hal yang paling simple yang bisa dilakukan adalah dengan percaya pada apa yang dia alami,” ujarnya.

Setelah itu, dengarkan cerita korban tanpa menghakimi. “Abis itu, setelah kita udah percaya, tentunya kita dengerin. Tentunya tergantung sampai batas mana tingkat keparahan yang dialami tersebut. Kalau misalnya mengalami persoalan yang tidak terlalu berat, dengan cerita aja tuh udah membuat dia merasa cukup nyaman,” tutur Dannis.

Akan tetapi, untuk kasus-kasus yang berat seperti perkosaan, berikan rujukan lembaga yang bisa diakses oleh korban. “Tapi untuk kekerasan-kekerasan yang lebih parah misalnya perkosaan, Kalo ketika udah cukup berat kayak gitu kan kadang-kadang cerita aja nggak cukup. Nah, kita bisa ngebantu infokan rujukan-rujukan mana yang bisa dia datangi. Misalnya datang ke psikolog, karena dia merasa punya trauma-trauma tertentu, ” ujarnya.

Teks: Mohammad Farhan, Iis Khoreun

Kontributor: Olivia

Ilustrasi: Istimewa

Editor: Giovanni Alvita

Pers Suara Mahasiswa UI 2021

Independen, Lugas, dan Berkualitas!