Lansia dan transpuan, dua kelompok masyarakat yang kerap mengalami marginalisasi. Tak berdaya secara ekonomi dan minim sistem pendukung sosial membuat hidup mereka rentan terpuruk. Lalu, bagaimana dengan kelompok lansia transpuan? Program sosial, dalam hal ini BPJSTK, yang disiapkan pemerintah kerap masih terlalu rumit birokrasinya, dan tak cukup memfasilitasi mereka.
Menurut hasil Survei Sosial Ekonomi (Susenas) Maret 2023, populasi lansia mencapai sekitar 11,75 persen dari total penduduk Indonesia. Dari angka tersebut, rasio ketergantungan lansia tercatat sebesar 17,09 persen, yang berarti setiap 100 orang di usia produktif menanggung sekitar 17 orang lansia. Banyak lansia harus hidup dengan melawan segala keterbatasan, terutama mereka yang hidup dalam kemiskinan. Perasaan kesepian, kesehatan yang semakin menurun, ketidakstabilan ekonomi, dan isolasi sosial adalah sejumlah hal yang kerap mereka hadapi.
Tantangan yang lebih berat lagi bahkan dialami lansia transpuan di Indonesia, seperti yang diungkapkan oleh Hartoyo, pendiri Suara Kita, sebuah organisasi yang berfokus pada advokasi hak komunitas ragam gender dan seksualitas.
“Sudah tua, hidup sendiri. Lansia miskin itu termarjinalkan, tetapi lansia transpuan lebih termarginalkan lagi. Mengapa? Karena biasanya dia nggak punya dukungan sosial, nggak punya anak, dan nggak punya pihak yang bisa diandalkan untuk merawat dia,” tutur Toyo.
Suara Kita dan berbagai komunitas dengan misi serupa secara intensif memperjuangkan agar kelompok transpuan bisa memperoleh fasilitas BPJS-TK (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial-Ketenagakerjaan).
BPJS-TK merupakan lembaga yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia untuk perlindungan sosial kepada para pekerja. Lembaga ini memastikan para pekerja mendapatkan hak-hak mereka, termasuk jaminan saat terjadi kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Peserta BPJS-TK dibagi menjadi dua kategori utama, yaitu Pekerja Penerima Upah (PPU), yakni mereka yang bekerja di sektor formal, serta Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU), yang mencakup pekerja mandiri atau pekerja di sektor informal.
Namun, bagi lansia transpuan, mendaftar sebagai peserta BPJS-TK tidaklah mudah. Banyak dari mereka yang tidak memiliki penghasilan tetap, bahkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pun seringkali kesulitan.
“Sekitar tahun 2021, pasca pandemi, Waria Crisis Center menginisiasi suatu gerakan untuk membayarkan BPJS-TK mereka melalui Suara Kita, yang dikoordinasi oleh Mas Hartoyo,” kata Rully Malay, aktivis hak transpuan di Yogyakarta, akrab dipanggil Bunda Rully.
Dana untuk membayar iuran BPJS-TK sebagian besar didapatkan dari donasi atau melalui kegiatan penggalangan dana seperti penjualan barang-barang hasil kerajinan tangan, hingga sumbangan dari diaspora yang masih peduli dengan kelompok-kelompok rentan di tanah air. Namun, upaya penggalangan dana ini memiliki tantangan sendiri.
“Mengumpulkan donasi itu tidak mudah, karena kita harus bekerja terus menerus dari waktu ke waktu, menyelenggarakan event, dan menyuarakan kampanye untuk membangun keberpihakan masyarakat kepada kelompok-kelompok rentan. Selain itu, kita juga tidak bisa mengestimasikan apakah target pendanaan dapat tercapai atau tidak,” jelas Bunda Rully.
Perjuangan berbagai komunitas yang mendukung transpuan mendapatkan fasilitas BPJS-TK tidak hanya sampai di situ. Mereka juga harus menghadapi proses administrasi yang rumit. Salah satu alasan utama mengapa kelompok transpuan sulit mendapat klaim manfaat dari BPJS-TK karena banyak dari mereka tidak mempunyai ahli waris yang jelas. Sebagian besar dari mereka juga bekerja di sektor informal sehingga tidak terdaftar secara resmi dalam sistem ketenagakerjaan.
Masalahnya, dalam banyak situasi, transpuan mengalami penolakan dari keluarga sendiri sehingga harus hidup di luar rumah. Tidak menikah dan memiliki keturunan. Bagi mereka, ‘keluarga’ adalah teman-teman tidak sedarah yang bersama setiap hari.
Situasi ‘terbuang’ dari keluarga sendiri, menyebabkan banyak individu minoritas gender dan seksualitas, termasuk transpuan tidak memiliki dokumen administrasi resmi seperti KTP dan Kartu Keluarga. Selain terkendala biaya, minimnya administrasi ini menjadi tambahan tantangan bagi mereka untuk mendapat pendidikan formal. Memiliki pekerjaan sektor formal pun sulit dilakukan kemudian.
Baru beberapa tahun terakhir saja transpuan mendapat kemudahan oleh Kementerian Kependudukan dan Pencatatan Sipil dalam pembuatan KTP dan KK setelah membangun kerja sama lewat audiensi dan advokasi berulang kali.
Sedangkan untuk BPJSTK, ini adalah hal yang baru diupayakan.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 5 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Program Jaminan Kerja, Jaminan Kematian, dan Jaminan Hari Tua, yang merupakan landasan hukum terkait perlindungan sosial bagi pekerja, pun juga menyisakan pasal-pasal yang rancu dan kadang sulit diimplementasikan. Hal ini mengakibatkan ambiguitas dalam penerapannya, khususnya terhadap lansia transpuan yang termasuk kategori Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU). Peraturan tersebut tidak secara eksplisit menjelaskan kriteria yang harus dipenuhi untuk masuk dalam kategori PBPU, sehingga mempersulit lansia transpuan dalam mengakses manfaat yang seharusnya mereka terima.
Birokrasi Tak Ramah Lansia Transpuan
Dian Semampo adalah seorang lansia transpuan yang mengalami diskriminasi hingga akhir hayatnya. Tahun lalu, di tengah kegembiraan orang-orang menyambut hari raya Idul Fitri, Dian justru terpaksa melarikan diri dari kejaran Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), yang sedang melakukan razia dan tertabrak di lampu merah Proliman, Prambanan, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Meski sempat dirawat di rumah sakit panti Rini Kalasan, nyawa Dian tidak tertolong.
Kepergian Dian meninggalkan luka yang mendalam bagi komunitas transpuan. Bunda Rully pun, merasa sangat terpukul dengan kejadian tersebut. Bersama dengan Komunitas Waria Crisis Center —yang didirikannya bersama almarhumah Shinta Ratri– ia ingin membawa kasus ini ke pengadilan, berharap agar keadilan bisa ditegakkan untuk Dian. Namun, harapan Bunda Rully pupus ketika keluarga Dian menolak membawa ihwal ini ke ranah hukum, dengan alasan tidak ingin berurusan dengan pengadilan.
“Kami sangat terpukul dengan kejadian tragis itu. Waktu itu kami menyampaikan statement akan menggugat kepada Ombudsman Daerah, tetapi keluarganya keberatan, mereka bilang nggak mau berurusan dengan pengadilan,” ungkap Bunda Rully dengan nada kecewa.
Setelah proses perundingan dengan pihak Satpol PP, para pihak menyepakati damai agar tak perlu melibatkan pengadilan. Jenazah Dian kemudian diserahkan kepada keluarganya yang berada di Semarang, Waria Crisis Center yang membiayai pemakamannya. Dian sebenarnya sudah terdata di komunitas untuk didaftarkan sebagai peserta BPJS-TK, tetapi sebelum resmi terdaftar ia keburu meninggal dunia.
Transpuan yang telah resmi terdaftar di BPJS-TK pun ternyata belum tentu bisa memperoleh manfaat klaim secara maksimal. Sejak 2022 hingga 2023, sudah ada sembilan transpuan yang meninggal tapi tidak semua dipenuhi hak-haknya dengan maksimal.
Ahli waris dari dua lansia transpuan dapat menerima Rp42 juta, di samping biaya pemakaman. Namun, satu peserta ditolak sama sekali dengan alasan tidak bekerja. Sedangkan enam peserta lainnya hanya mendapat tanggungan biaya pemakaman sebesar Rp10 juta.
Keluarga dari Ria Heriyanto (Jakarta Pusat) Dadang Suhendar (Yogyakarta) dan Sakka Daeng Maralla (Yogyakarta) tak bisa mengklaim manfaat BPJS-TK meskipun mereka memegang surat wasiat yang sah. Demikian pula pihak ahli waris dari Choirozi dari (Jakarta Timur) dan Mawardi dari (Aceh Singkil, NAD) pun cuma bisa menelan getir karena dianggap tak memiliki surat wasiat. Lagi-lagi hanya biaya pemakaman yang bisa dicairkan.
Upaya Jaringan Komunitas
Suara Kita dan beberapa komunitas yang tergabung dalam Jaringan Komunitas Untuk BPJS Ketenagakerjaan (JKU BPJS-TK) menghadap Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Sekjen Kemenaker RI) pada 13 Agustus 2024.
Mereka membawa ‘kertas kebijakan’, buah pemikiran Siska Barimbing, Hartoyo, dan Asnifriyanti Damanik, yang memuat masukan revisi terhadap Permenaker No. 5 Tahun 2021.
Kertas kebijakan ini menyajikan beberapa poin penting yang perlu diperhatikan dalam revisi Permenaker No. 5 Tahun 2021. Kertas ini menggarisbawahi banyak pasal dalam peraturan tersebut memiliki ketentuan yang multitafsir dan terdapat kekosongan hukum yang dapat merugikan hak peserta serta ahli warisnya.
Seperti yang disampaikan oleh Toyo, Anwar Sanusi, selaku Sekjen Kemenaker RI, menerima kertas kebijakan ini dengan baik dan berjanji akan meneruskannya kepada Menteri Ketenagakerjaan untuk ditindaklanjuti. Namun, hingga artikel ini ditulis, belum ada tanggapan resmi dari pihak Kemenaker terkait rekomendasi yang diajukan.
Lanjut Toyo, “Kertas kebijakan atas revisi dan rekomendasi terhadap Permenaker No. 5 Tahun 2021 sudah diterima oleh Pak Anwar Sanusi, Sekjen Kemenaker RI. Beliau berjanji akan meneruskan ke atasannya.”
Toyo berharap penuh pemerintah akan memberikan perhatian serius terhadap isu ini.
Dalam tinjauan mendalam terhadap peraturan tersebut, JKU-BPJS TK mengidentifikasi sepuluh pasal bermasalah, salah satunya adalah Pasal 31 ayat (1) huruf c. Pasal ini menghadapi kritik tajam karena ketidakjelasannya dalam mendefinisikan kategori Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU), sehingga menimbulkan kebingungan bagi calon peserta yang tidak disebutkan secara eksplisit.
Ihwal ini terlihat dalam proses pendaftaran daring yang hanya membatasi jenis pekerjaan pada sekitar 100 pilihan. Akibatnya, calon peserta yang jenis pekerjaannya tidak tercantum terpaksa memilih kategori yang tidak sesuai dengan kondisi mereka.
Ketidaksesuaian ini kemudian menjadi alasan penolakan klaim manfaat program ketika dilakukan verifikasi lapangan, lebih lanjut, Pasal 33 ayat (1) huruf b menetapkan batas usia maksimum pendaftaran untuk PBPU adalah 65 tahun. Ketentuan ini berdampak terhadap tidak diterimanya jaminan sosial ketenagakerjaan bagi para pekerja yang masih aktif di atas usia tersebut.
Selain itu, ketentuan verifikasi yang hanya dilakukan saat pengajuan klaim manfaat Jaminan Keselamatan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM), tanpa adanya verifikasi awal saat pendaftaran, berakibat pada tingginya jumlah penolakan klaim. Hal ini mengesankan bahwa fokus utama BPJS-TK adalah mengejar target kepesertaan dan pendataan dari iuran ketimbang memastikan manfaat sosial yang seharusnya diberikan kepada peserta.
Toyo menambahkan, “penolakan klaim manfaat ini sudah banyak terjadi, seperti yang terjadi pada Komunitas Transpuan yang didampingi oleh Suara Kita, atau kasus Tumiur Nababan di Humbang Hasundutan, dan yang juga terjadi di Kekler Donovan Simorangkir di Kabupaten Duri, Riau.”
Menindaklanjuti permasalahan tersebut, JKU-BPJS TK memandang perlu dilakukan revisi terhadap Permenaker No. 5 Tahun 2021, sehingga melalui Kertas Kerja yang disusun secara cermat, mereka mengajukan serangkaian rekomendasi yang bertujuan untuk memperbaiki celah-celah dalam regulasi tersebut.
Ketentuan pelaksanaan terkait urutan prioritas penerima manfaat JKM bagi PPU dan PPBU perlu ditata ulang, agar setiap penerima hak mendapatkan kepastian yang tak terbantahkan.
JKU-BPJS TK juga menyoroti pentingnya pengaturan yang lebih rinci terkait klaim manfaat yang tidak memenuhi syarat pembayaran agar BPJS-TK tidak menggunakan Peraturan Direksi No. 22/PERDIR.02/072022 Tentang Pedoman Kepesertaan sebagai alibi dalam menolak klaim manfaat JKK dan JKM, dengan alasan tidak sesuai dengan syarat kepesertaan.
Lebih jauh, JKU-BPJS TK juga mengusulkan agar Permenaker No. 5 Tahun 2021 disusun dengan lebih jelas dan sistematis, terutama dalam hal mekanisme penyelesaian sengketa Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.
JKU-BPJS TK berharap akan terjadi perubahan untuk mempermudah sistem klaim. Mereka berharap para lansia transpuan bisa mendapatkan manfaat yang lebih maksimal dan tak terkorbankan oleh birokrasi yang masih pincang. Karenanya, birokrasi juga mesti terbuka pada masukan dari komunitas yang paham tantangan nyata dan situasi khusus yang dialami kelompok rentan.
“Semoga upaya kecil ini dapat memperbaiki sistem pelaksanaan BPJS-TK, khususnya bagi kepesertaan bukan penerima upah (peserta informal),” ujar Hartoyo.
Teks: Dela Srilestari
Ilustrasi: Meylanie Angie Manggalatung
Editor: Febry Indira (Kabar Sejuk)
***
Tulisan ini bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).