Lapis Beras Pelangi

Redaksi Suara Mahasiswa · 13 Maret 2021
4 menit

Srikandi... Srikandi... Srikandi...

Namanya Srikandi. Perempuan dengan paras elok yang menjadi kembang desa. Srikandi menjadi pujaan semua orang. Matanya bulat, bibirnya merah merekah, dan senyum tidak pernah hilang meninggalkan wajahnya. Kepribadiannya yang bagus juga menambah daya tariknya.

Semua orang di desa menginginkan Srikandi. Untuk menjadikannya istri, untuk menjadikannya menantu, untuk menjadikannya kakak, untuk menjadikannya adik, untuk menjadikannya teman. Semua orang menginginkan Srikandi.

Sudah sejak kecil aku berteman dengan Srikandi. Aku? Aku biasa-biasa saja, tidak rupawan seperti sahabatku itu. Karena aku merupakan salah satu orang terdekat Srikandi, tak jarang banyak warga desa yang mempergunakanku untuk mendekatinya. Mulai dari para lelaki yang ingin berkenalan dengannya, sampai gadis-gadis yang ingin berteman supaya kecipratan ketenaran. Bahkan, tidak jarang ada lelaki yang tidak segan ingin langsung meminangnya.

Srikandi tidak pernah menanggapi hal tersebut secara serius, ia hanya tersenyum lalu menggandeng tanganku untuk berjalan-jalan dan mengalihkan pembicaraan ke topik lain. Srikandi memang ramah terhadap semua orang, tetapi ia juga tidak sembarangan menerima orang masuk ke dalam hidupnya. Ditambah, ia selalu berkata padaku sudah memiliki seseorang yang ia suka. Aku tak pernah bertanya dan mendesak Srikandi untuk bercerita, sedekat apa pun kami, aku selalu menghargai privasi sahabatku itu.

“Sudah gila orang-orang itu. Aku kan hanya manusia biasa, bukan malaikat,” katanya sambil tertawa setiap kali aku menyampaikan pesan orang-orang yang ingin berkenalan dengannya.

Orang tua Srikandi bukanlah “orang besar” di desa. Ayahnya hanya petani jagung yang setiap tahun bekerja diliputi rasa takut akan gagal panen. Akhir-akhir ini, cuaca makin tidak pasti. Ibunya hanyalah ibu rumah tangga yang penurut dan baik hati. Sehari-hari, Ami, panggilan Srikandi untuk ibunya, merajut dan sesekali berjualan kue untuk membantu pendapatan keluarga.

Sejak kecil, aku dan Srikandi sering membantu Ami membuat kue. Ami pandai membuat kue-kue jajanan pasar. Salah satu kue yang sering beliau buat adalah kue lapis pelangi dengan bahan dasar beras. Kue beraneka warna yang cantik sehingga memikat anak-anak kecil untuk membelinya.

Saat ini usiaku dan Srikandi sudah memasuki angka 23 tahun. Di desaku, perempuan berusia 23 tahun seharusnya sudah menikah dan minimal sudah memiliki anak satu. Tidak jarang ibuku berulang kali mendesakku agar segera menikah, bahkan mengikuti perjodohan yang sudah diatur oleh kedua orang tuaku. Berulang kali juga aku menolak dengan alasan zaman sudah berubah.

Perempuan hidup tidak hanya untuk menikah dan berkembang biak. Lagipula, tidak ada salahnya perempuan mempertahankan kebebasannya sendiri, ‘kan? Ibuku jengkel sekali mendengar alasan seperti itu. Alasan itu sebenarnya aku gunakan untuk menutupi bahwa agaknya aku malu karena sampai saat ini belum ada pria yang dekat denganku. Melirik saja tidak ada.

Berbeda dengan sahabatku Srikandi. Si cantik itu rupanya sangat egois sehingga tidak ingin membagikan kecantikannya pada siapa pun. Tidak untuk suaminya, tidak untuk calon anak hasil buah cintanya. Sampai saat ini Srikandi memilih untuk sendiri. Ia lebih memilih untuk melanjutkan pekerjaan ibunya yaitu berjualan kue jajanan pasar.

Tidak jarang ibunya meminta bantuanku untuk bicara dengan Srikandi perihal usianya yang sudah matang dan siap untuk menikah. Ami termasuk dalam golongan perempuan yang memiliki hati lembut. Sepertinya Ami tidak tahan mendengar gosip yang dibicarakan oleh tetangga-tetangga di sekitar rumah.

Beliau hanya takut tetangga sekitar menganggap bahwa keluarganya pembawa sial karena sampai saat ini belum ada tanda-tanda Srikandi dekat dengan laki-laki. Apalagi mengikat diri dengan status pernikahan. Padahal Srikandi anak perempuan satu-satunya yang sangat Ami banggakan. Ami menganggap paras Srikandi patut dibanggakan karena begitu cantik sampai-sampai mampu membuat Arjuna salah membidik targetnya.

Sore itu aku berkunjung ke rumah Srikandi untuk membantunya membungkus kue-kue buatannya untuk dijual esok hari. Kami begitu khusyuk melakukan pekerjaan kami masing-masing sampai tidak mengobrol.

“Gak kasihan kamu sama Amimu?” tanyaku memecah keheningan.

“Lho, kamu sendiri kenapa tidak menikah duluan saja? Malah membungkus kue-kue,” Jawab Srikandi agak ketus.

Ah, dia tahu apa maksud perkataanku. Aku diam. Entah diamku ini akibat tidak enak karena terus-terusan mendesaknya atau harga diriku terluka akibat perkataannya.

“Kamu suka jajanan pasar apa, Mir?”

Aku melongok, heran melihat Srikandi dengan cepat mengubah nada bicaranya yang semula ketus menjadi begitu lembut dan perhatian.

“Aku tidak suka makanan manis.”

“Aneh, padahal kamu selalu membantu Ami dan aku membuat kue-kue ini sejak masih kecil, kok bisa kamu tidak suka makanan manis.”

Aku tidak menjawab Srikandi karena terlalu fokus membungkus kue, supaya cepat selesai dan siap dipasarkan. Melihat aku tidak kunjung menjawabnya, Srikandi meneruskan pembicaraan.

“Kalau aku suka sekali dengan kue lapis pelangi ini.”

Kali ini aku mendongak menatapnya, “Kenapa?”

“Lihat,” ia mendekatiku lalu menunjukkan kue lapis pelangi yang sudah kulihat jutaan kali dalam hidupku.

“Kue lapis pelangi ini cantik, bukan? Merah, hijau, jingga, ungu. Banyak sekali warna yang berbeda dalam kue ini, tapi, dengan banyaknya warna, kue ini jadi kelihatan menarik, ‘kan?” Srikandi menatapku, menunggu jawaban. Aku mengangguk.

“Perbedaan bukanlah hal yang jahat, Mira. Dunia ini bukan hanya terdiri dari hitam dan putih. Aku percaya, dengan warna-warna ini, dunia akan jadi lebih menarik dan lebih bermakna. Sama seperti kue lapis ini, jajanan ini selalu habis duluan dibeli oleh anak-anak. Aku perhatikan cara mereka makan juga berbeda-beda, ada yang langsung melahapnya, ada yang memisahkan satu persatu bagian lapis dan memilih warna kesukaannya untuk dimakan terlebih dahulu. Senang jika bisa memilih lebih dari dua, bukan? Makanya, aku suka sekali lapis pelangi ini, aku suka sekali melihat warna-warni pelangi.”

Mendengar jawabannya, entah mengapa membuat pipiku memanas. Aku tersenyum. Sepanjang melanjutkan pekerjaan, aku hanya menunduk dan tidak berani menatap mata Srikandi.

Suatu hari di tengah teriknya matahari siang, kami mengurung diri di kamarku. Namanya perempuan, tak jarang kami bersolek biarpun untuk kami sendiri. Kami juga sering bertukar pakaian dan pernak-pernik lucu untuk dicoba. Aku sedang mematutkan diri di depan kaca setelah mencoba anting yang dibawa oleh Srikandi. Tiba-tiba ia mendudukkanku di kursi dan menyisir rambutku. Aku dan dia sama-sama melihat cermin dan tersenyum.

Srikandi duduk di kasur yang terletak di sebelah meja rias. Kursi yang kududuki diputarnya menghadap ke arahnya. Ia tatap aku. Aku menjadi rikuh, aneh rasanya ditatap orang lain sampai seperti itu.

“Tidak pantas, ya?” tanyaku memegang anting milik Srikandi yang bertengger di telingaku.

Alis Srikandi berkerut dan ia menggelengkan kepalanya, tanda tidak setuju. Tiba-tiba ia menarik tanganku, lalu mengecup bibirku.

“Kamu cantik, Mira.”

Aku bangun dari kursiku dan pindah ke samping Srikandi. Kutidurkan ia ke kasur. Kutatap matanya yang bulat itu. Lalu kucium kening, pipi, dan bibirnya dengan hati-hati dan perlahan-lahan.

Semua orang menginginkan Srikandi. Semua orang termasuk aku.

Teks: Hanifa Widyas Sukma Ningrum (FIB UI)
Ilustrasi: Adelia Febiyanti
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!