Layla & Majnun: Tatkala Takdir Tak Terasa Adil

Redaksi Suara Mahasiswa · 20 Mei 2022
3 menit

Judul Buku : Layla & Majnun : Kisah Cinta Klasik dari Negeri Timur
Pengarang : Nizami Ganjavi
Penerbit : Med Press Digital
Tanggal/Tahun Terbit : 2012
Kota Terbit : Yogyakarta
Genre : Novel; Fiksi
Jumlah Halaman : 192 Halaman

"Rasa mabuk yang pertama kali dialami selalu menjadi yang terhebat. Jatuh yang mereka rasakan untuk pertama kali selalu menjadi pengalaman yang terberat. Dan patah hati yang dirasakan untuk pertama kali selalu menjadi yang paling menyakitkan."

Sekilas Tentang Layla dan Majnun
Layla dan Majnun sebuah kisah tersohor dari negeri Timur. Bahkan kemasyhurannya sendiri diakui oleh Lord Byron dan digadang-gadang sebagai sebuah kisah Romeo dan Juliet dari Timur. Kendati demikian Nizami mengakui bahwa kisah ini sejatinya bukanlah sebuah kisah orisinil yang ditulis olehnya, melainkan ia justru terinspirasi dari cerita rakyat tanahnya sendiri. Terlepas memang pada akhirnya kepopuleran kisah Layla dan Majnun adalah berkat kehebatan Nizami dalam membuat sebuah syair yang begitu khas dan indah. Sangking indahnya bahkan ia seolah-olah dapat membius dan menggetarkan hati bagi siapapun para pembacanya. Kini novel Layla & Majnun telah dinobatkan sebagai all time best seller dan selalu dapat dikenang sebagai sebuah kisah cinta klasik yang sangat fenomenal bahkan kini kisah mereka juga diadopsikan dalam sebuah kancah film layar lebar.

Derita dari Pengharapan
Memangnya siapa yang bisa menerka dan mengubah jalannya takdir? Itulah yang dialami oleh Qays dan Layla, kisah dari dua orang insan yang tengah dimabuk cinta. Keduanya berasal dari kalangan yang tersohor. Qays merupakan seorang pemuda dari seorang pemimpin suku ternama, ia memiliki nyaris segalanya kekayaan, kepandaian, kebijaksanaan dan kehebatannya dalam membuat lantunan syair-syair hingga ia dikenal seantero Arab. Sementara Layla ia merupakan sosok perempuan dari kalangan keluarga yang terhormat, Layla merupakan seorang gadis yang memiliki rambut hitam legam dan wajahnya mencerminkan kecantikan yang begitu luar biasa, bahkan dengan senyuman Layla ia dapat meruntuhkan dunia dan seisinya.

Qays jatuh hati kepada Layla dalam pandangan pertama, ia tenggelam di dalam lautan cinta. Begitu pula halnya dengan Layla yang merasakan hal serupa. Tapi pada akhirnya mereka berdua hanyalah seseorang yang masih belia, keduanya mengenal cinta jauh sebelum mereka memahami apa arti yang sesungguhnya. Waktu datang silih berganti dan tanpa disadari kini Qays dan Layla semakin dimabuk akan cinta dan mereka pun kini menjadi buta dan tuli karena kecintaan mereka. Semua seolah begitu manis dan indah sampai mereka berhadapan dengan duri dan pahitnya cinta.

Ada sebuah pepatah, konon desas-desus yang beredar di masyarakat bahkan dapat mengakibatkan kejatuhan dari sebuah kerajaan. Pun halnya kisah cinta antara Qays dan Layla harus kandas akibat desas-desus yang beredar. Siapa sangka rumor tersebut beredar di seantero Arab dan hingga terdengar di telinga ayah Layla. Ia merespon berita tersebut dengan penuh kemurkaan. Sebab Layla berasal dari sebuah keluarga tersohor, sementara rumor yang beredar seolah-olah mengisahkan Layla selayaknya perempuan murahan, yang berarti hal tersebut sama saja seperti mencoreng reputasi keluarga mereka. Alhasil Layla akhirnya dikurung oleh ayahnya ia menjadi tawanan dari keluarganya sendiri, ia tak lagi memperoleh kebebasan dan ia harus menjalani sisa hidupnya dengan topeng kepalsuan.

Runtuhnya istana pasir mereka membuat Qays menjadi kehilangan arah, sebab bagaimana mungkin ia bisa hidup tanpa berdampingan dengan Layla? Sementara Layla merupakan satu-satunya alasan Qays untuk hidup. Hati Qays hancur berkeping-keping menerima kenyataan yang ada, tanpa sadar ia pun dijuluki sebagai Majnun (orang gila). Hari-hari terlewati, namun Majnun tanpa henti-hentinya melontarkan kesedihan dan kepedihannya lewat syair-syair indah miliknya sembari menangis tersedu-sedu berharap bahwa angin akan membisikan sajak-sajak miliknya kepada Layla. Celotehan, hinaan dan makian sudah tak lagi ia hiraukan, sebab satu-satunya hal yang bisa menyembuhkan dirinya hanyalah Layla semata.

Tangisan, perang, dan darah segalanya telah Majnun upayakan demi menggapai Layla. Namun apa daya? takdir memang tak pernah menghendaki semua itu. Ia telah terbelenggu oleh takdir, begitupun rantai yang telah diikatkan oleh takdir tidak akan pernah bisa terbuka lagi. Namun begitulah jalan menuju cinta sejati ia hanya bisa ditempuh bagi mereka-mereka yang memang siap untuk kehilangan segalanya, bahkan jika itu memang mengharuskan mereka membayar mahar dengan kematian.

Terlepas memang dari segi penulisan novel ini agaknya disusun atas komposisi kata yang cukup kompleks, namun hal itulah yang justru menjadi ciri khas gaya penulisan Nizami. Ia begitu lihai dalam mengemas cerita dalam bentuk metafora sehingga para pembaca dapat turut merasakan empati dan kesedihan atas penderitaan yang dialami Majnun. Pembawaan alur maju dan plot cerita yang berlika-liku sudah lebih dari cukup untuk membuat para pembaca semakin takjub dan terpana akan kisah cinta keduanya. Di sisi lain novel ini mempunyai epilog yang antiklimaks dan membuat sebagian para pembacanya kecewa. Dalam beberapa bab pun tampaknya terdapat bagian-bagian cerita yang terkesan kurang relevan. Namun secara keseluruhan novel ini tetap merupakan sebagai salah satu masterpiece dan dapat menjadi inspirasi sekaligus tamparan keras khususnya bagi kita para remaja yang selalu menggandrungi romansa dan percintaan.

Kesimpulan
Kisah Layla dan Majnun dapat menjadi rujukan tatkala kita tengah jatuh cinta. Janganlah kita menjadi seperti Qays yang menjadi buta dan tuli karena cinta dan sekaligus menjadikan cerminan bagaimana kita seharusnya ketika tengah jatuh cinta. Sudah sepatutnya kita mencintai manusia dengan takaran yang semestinya, sebab apapun yang kalian ratapi dan tangisi, takdir tetap tidak akan mengubah ketetapannya. Karena apapun takdir yang akan menimpa kita nantinya, kitalah pemilik pena sang takdir itu dan kita yang akan menentukan apakah akan menjadi Majnun kedua?

Teks: Nararya Prima
Editor: Aura Annisa
Foto: Istimewa

Pers Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, dan Berkualitas!