Logo Suma

MA Terbitkan Nomor Register Perkara, APATIS Segera Kirim Amicus Curiae untuk Cabut Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024

Redaksi Suara Mahasiswa · 12 Juli 2024
4 menit

Biaya kuliah yang semakin tak terjangkau menjadi keresahan tersendiri bagi masyarakat Indonesia, terutama setelah terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 2 Tahun 2024 yang mendasari kenaikan tarif Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI). Sebagai tanggapan akan permasalahan tersebut, Aliansi Pendidikan Gratis (APATIS) kembali mengadakan aksi di depan Gedung Mahkamah Agung (MA) pada Kamis (11/07). Setelah pertama kali mendatangi MA pada 13 Juni 2024 untuk mengajukan kaji ulang hukum (judicial review/JR) terhadap Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024, kedatangan mereka yang kedua kali ini bertujuan untuk mendesak MA agar segera menerbitkan nomor register perkara terhadap JR tersebut. Aksi lanjutan ini menjadi penting sebagai seruan keras kepada MA agar mempercepat proses pengambilan keputusan dan mendukung penuh pencabutan Permendikbudristek tersebut.

Meski pelaksanaannya terlambat dua jam dari rencana sebelumnya yang terjadwal pada pukul 09.00 WIB, suara protes dari massa aksi tetap terdengar kuat di antara deru mesin kendaraan yang berlalu-lalang di Jalan Medan Merdeka Utara pada siang itu. Setelah Wanto selaku perwakilan dari APATIS menyampaikan orasi pembuka, sejumlah perwakilan massa aksi turut bergantian untuk menyuarakan tuntutan dan keresahannya. Secara keseluruhan, para orator menyorot bahwa negara sudah sepatutnya menyediakan pendidikan gratis sebagai pemenuhan hak bagi warga negara, bukan justru mengomersialisasikan pendidikan dengan terus-menerus menaikkan tarif biayanya sehingga mahasiswa—terutama yang berasal dari keluarga kelas menengah ke bawah—semakin terancam tidak dapat melanjutkan kuliah.

“Negara bertanggung jawab penuh atas penyelenggaraan pendidikan yang merata tanpa harus rakyat itu memikirkan bisa kuliah atau tidak karena faktor ekonomi. [Akan] tetapi, negara [justru] berperspektif modal atau korporasi [dan] menjadikan pendidikan itu [sebagai] salah satu sektor jasa yang diliberalisasi. Sampai hari ini, [biaya pendidikan] semakin mahal dan jauh dari jangkauan masyarakat menengah ke bawah,” ujar Wanto dalam wawancara bersama Suara Mahasiswa Universitas Indonesia (Suma UI).

Di tengah demonstrasi yang terus berlanjut, massa aksi sesekali meneriakkan yel-yel simbolik yang berkaitan dengan tuntutan-tuntutan aksi, seperti “One world, one struggle: education is not for sale!” dan “We are student, not customers!”. Adapun tuntutan-tuntutan terhadap MA tersebut adalah sebagai berikut.

  1. Cabut Permendikbudristek No. 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT).
  2. Kembalikan rumus UKT menjadi Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dikurangi biaya yang ditanggung oleh Pemerintah dengan wajib mempertimbangkan kemampuan ekonomi mahasiswa dan orang tua mahasiswa atau pihak lain yang membiayainya.
  3. Tingkatkan sekurang-kurangnya dua kali lipat anggaran Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) dan Bantuan Pendanaan Perguruan Tinggi Badan Hukum (BPPTNBH), lalu alokasikan untuk memberi subsidi tarif UKT mahasiswa, yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
  4. Wajibkan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menerapkan UKT golongan I (nol rupiah) dan UKT golongan 2 (500.000 s/d 1.000.000 rupiah) pada mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi sekurang-kurangnya 40% dari seluruh populasi mahasiswa di suatu PTN, di luar mandat program Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIPK) dan beasiswa.
  5. Kembalikan pungutan tunggal dalam sistem UKT dengan melarang penerapan IPI di kampus-kampus dan segala pungutan di luar UKT (seperti pungutan Kuliah Kerja Nyata/KKN, Kuliah Kerja Lapangan/KKL, praktikum, yudisium, wisuda, dan sebagainya).
  6. Terapkan kebijakan tarif UKT regresif (tarif yang mengalami penurunan nominal secara periodik) sekurang-kurangnya 10% setiap tahun untuk diberlakukan ke semua PTN, seiring dengan penambahan BOPTN ke semua PTN.
  7. Terapkan indikator penempatan mahasiswa dalam golongan UKT secara nasional dengan mempertimbangkan aspek-aspek sekurang- kurangnya kemampuan ekonomi dan jumlah tanggungan keluarga/wali mahasiswa. Indikator tersebut harus diumumkan secara transparan kepada publik.
  8. Batalkan seluruh kerja sama pinjaman dana pendidikan (student loan) antara perusahaan-perusahaan lembaga keuangan (perbankan maupun perusahaan pinjaman online) dengan perguruan tinggi.
  9. Anggarkan Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Swasta (BOPTS) pada semua Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang bersifat nirlaba, yang fokus dialokasikan untuk penurunan tarif uang kuliah mahasiswa PTS yang kurang mampu secara ekonomi.
  10. Wajibkan perguruan tinggi untuk melibatkan civitas academica (mahasiswa, dosen, dan pekerja kampus) secara terbuka dalam setiap perencanaan, perumusan, dan pengambilan kebijakan perguruan tinggi yang berdampak pada civitas academica.

Setelah aksi berlangsung selama kurang lebih satu jam, akhirnya MA membuka gerbangnya dan mempersilakan APATIS beserta badan hukumnya dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta untuk mengadakan audiensi. Sayangnya, pihak massa aksi hanya disambut oleh Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat (Humas) MA, tanpa kehadiran pihak kepaniteraan MA. Meskipun demikian, audiensi tersebut berjalan dengan baik, bahkan menghasilkan progres sesuai harapan aksi, yaitu terbitnya nomor register perkara (37 P/HUM/2024) atas JR pada Juni lalu. Dengan berbekal nomor tersebut, pihak APATIS maupun pihak mahasiswa yang beraliansi dengannya sudah dapat mengirimkan sahabat pengadilan (amicus curiae) untuk mencabut Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 sehingga tuntutan pendidikan gratis bagi seluruh rakyat Indonesia semakin berpeluang besar untuk dipertimbangkan oleh MA.

Dalam sesi wawancara dengan Suma UI, Alif Fauzi Nurwidiastomo selaku pengacara publik dari LBH Jakarta dan Tim Hukum Advokasi Pendidikan Nasional berharap agar masyarakat selalu mengawal perkara ini dengan menjaga kolektivitas dan kolaborasi sehingga pendidikan yang gratis dan adil bagi seluruh rakyat Indonesia dapat benar-benar terealisasi.

“Langkah-langkah di luar Mahkamah juga perlu dilakukan, seperti mengirimkan amicus curiae, melakukan aksi propaganda, ataupun berkampanye di ruang digital untuk meluaskan narasi terhadap ancaman Permendikbud ini,” harapnya.


Teks: Kanza A. Anggia

Editor: Jesica Dominiq M.

Desain: Ferre Reza Putri

Foto: Jesica Dominiq M.




Pers Suara Mahasiswa UI 2024

Independen, Lugas, dan Berkualitas!