Magang Merdeka: Akses Terbatas bagi Mahasiswa Disabilitas

Redaksi Suara Mahasiswa · 17 Juli 2022
11 menit

Pengalaman magang menjadi salah satu pengalaman yang didambakan oleh sebagian besar mahasiswa. Berdasarkan survei #GenerasiBurnout yang dilakukan Project Multatuli, mayoritas responden beralasan bahwa magang dibutuhkan untuk menambah pengalaman kerja mereka. Di samping itu, alasan-alasan lain yang mendorong mahasiswa untuk magang bervariasi mulai dari melaksanakan kewajiban magang dari kampus, mendapatkan penghasilan tambahan, membangun jejaring profesional, membangun relasi profesional dengan atasan, hingga adanya peer-pressure untuk turut melakukan magang.

Kesempatan magang tersebut kini dapat diperoleh salah satunya melalui program Magang Merdeka. Sebuah program praktik kerja yang digagas oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemenristekdikti) sejak tahun 2020. Program ini digagas untuk memberikan kesempatan bagi mahasiswa guna mengenal dan terjun langsung dalam dunia kerja profesional selama satu semester. Namun, inovasi program ini tidak hadir tanpa celah. Berbagai polemik terkait wacana magang mahasiswa sempat diperbincangkan, seperti isu upah, transfer satuan kredit semester (SKS), dan beban kerja.

Sayangnya, terdapat isu penting yang luput dari diskusi mengenai Magang Merdeka, yakni inklusivitas dan jaminan akses yang setara bagi mahasiswa disabilitas. Padahal, isu ini krusial bagi inklusivitas lapangan kerja di Indonesia. Dikutip dari SMERU, berdasarkan data Susenas 2018, mayoritas penyandang disabilitas usia produktif tidak masuk ke dalam pasar tenaga kerja. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) penyandang disabilitas hanya sebesar 31,63% jauh lebih rendah dari TPAK non-disabilitas yang mencapai hampir 70%. Mayoritas penyandang disabilitas yang bekerja berada pada sektor jasa dan berpendidikan rendah.

Melihat kondisi tersebut, sudah sepatutnya program Magang Merdeka memperhatikan isu inklusivitas. Namun, dalam buku panduan yang dikeluarkan Kemenristekdikti terkait Kampus Merdeka tidak ditemukan informasi mengenai standar prosedural maupun landasan hukum untuk jaminan akses, pelayanan, maupun bantuan bagi mahasiswa disabilitas.  Padahal, berdasarkan Pasal 6 huruf b Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan tinggi adalah “demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa.” Lantas, bagaimana program Kampus Merdeka menjamin kesempatan yang adil dan setara bagi seluruh mahasiswa, termasuk mahasiswa disabilitas?

Kampus Merdeka dan Mahasiswa Disabilitas: SOP dan Aksesibilitas
Bagi Nur Fauzi Ramadhan, mahasiswa penyandang disabilitas tunanetra di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, isu mengenai aksesibilitas menjadi realita yang ia temui ketika pertama kali mencoba mengunjungi website Kampus Merdeka. Karena kondisinya, Fauzi harus menggunakan screen reader atau pembaca layar yang mengubah informasi menjadi suara dalam menggunakan berbagai perangkat digital. Namun, Fauzi menemukan bahwa website tersebut tidak dapat dibaca dengan screen reader pada perangkat yang ia gunakan. “Buat gua yang mengoperasikan komputer itu menggunakan screen reader, pengaturan webnya–UI/UX-nya–itu masih nggak accessible buat gua, penyandang disabilitas tunanetra,” cerita Fauzi.

Padahal, website Kampus Merdeka memainkan peranan penting dalam mengikuti berbagai program tersebut, sebab, pendaftaran harus diawali melalui website. Tidak hanya itu, untuk program Magang Merdeka, informasi mengenai persyaratan magang, perusahaan mitra yang bekerja sama dalam memberikan lowongan magang, dan tenggat waktu pendaftaran juga hanya terdapat di website. Menurut Fauzi, kondisi ini akan memberikan kesulitan bagi mahasiswa disabilitas, juga menunjukkan bahwa sosialisasi mengenai Kampus Merdeka masih terkesan belum siap jika dikaitkan dengan penyandang disabilitas. “Karena kan kalau kita mau ikut MBKM kan harus daftar dulu via web, tapi nggak accessible buat kita (mahasiswa disabilitas netra -red). Jadi ya agak sulit juga,” tutur Fauzi.

Fakultas dan Magang Merdeka: Sosialisasi Kampus Merdeka
Pihak kampus memegang peran sentral dalam mengurus program Magang Merdeka. Salah satunya adalah Tim Merdeka Belajar Kampus Merdeka Fakultas Hukum (MBKM FH UI) yang secara khusus mengurus program Kampus Merdeka di FH UI. Dari pengalaman Tim MBKM FH UI, mereka telah melakukan sosialisasi mengenai kampus merdeka kepada sejumlah dosen dan pembimbing akademik. Namun, muatan mengenai mahasiswa disabilitas dan Standar Operasional Prosedur (SOP) Magang Merdeka bagi mahasiswa disabilitas memang masih belum dimasukkan dalam sosialisasi tersebut. Sosialisasi lebih menekankan pada teknis program MBKM, seperti memperkenalkan program MBKM, jenis program, konversi satuan kredit semester, bagaimana pembimbing akademis terkait, apa yang akan dipelajari mahasiswa, peran mahasiswa, peran fakultas, peran Center for Independent Learning (CIL) UI, hingga peran pembimbing teknis.

“Saya mengikuti pelatihan dosen pembimbing MBKM dari UI memang belum ada sosialisasi yang secara khusus menjelaskan terkait bagaimana SOP-nya (untuk mahasiswa disabilitas -red) atau semacam antisipasinya. Untuk sosialisasi kepada dosen, sejauh ini, yang saya dapatkan ketika pelatihan itu lebih kepada substansinya. Bagaimana ketika nanti menjadi dosen pembimbing dan mungkin metode-metodenya, dokumen-dokumen apa saja yang diperlukan, konflik di antara mahasiswa MBKM penyelesaian masalah seperti apa,” ujar Dinda R. Himmah, staf MBKM FH UI.

Hal ini dibenarkan oleh Astha Ekadiyanto, Direktur CIL UI, sebagai pihak yang memfasilitasi dan mengelola keikutsertaan mahasiswa UI dalam delapan program Merdeka Belajar. Sama seperti MBKM FH UI, CIL UI melakukan sosialisasi mengenai kampus Merdeka mengenai muatan prosedural, persyaratan program, dan hal-hal teknis lainnya. Muatan mengenai mahasiswa disabilitas masih belum ada. Astha mengatakan hal ini karena minimnya data mahasiswa disabilitas.

“Indikasi difabel jadi perhatian berikutnya karena datanya juga terlalu minim dan sedikit. Kami juga belum mendapatkan catatan khusus terkait hal itu. Setiap ada informasi detil yang masuk ke kami tentunya akan kami lihat dan kalau memang itu penting untuk difasilitasi mungkin kami akan bertanya kepada mahasiswa apa saja yang dibutuhkan apakah kondisi dengan mitra masih bisa ditangani atau tidak,” ujar Astha.

Case by Case
Ketidakhadiran SOP menjadikan penanganan bagi mahasiswa disabilitas dalam program Kampus Merdeka harus menggunakan sistem kasus per kasus atau case by case. Hal ini diakui Djarot Dimas, staf MBKM FH UI. Tim MBKM FH UI masih belum bisa mengakomodasi semua kebutuhan mahasiswa disabilitas karena kondisi yang bervariasi. Misalnya, dalam proses pendaftaran Magang Merdeka, jika mahasiswa disabilitas hukum memerlukan berkas administratif seperti persetujuan PA (Pembimbing Akademik) atau bantuan mendaftarkan diri melalui website maka dapat menghubungi pihak fakultas. Setelah adanya laporan, pihak fakultas akan memproses hal tersebut.

Sementara, dalam memenuhi kebutuhan selama program magang, mahasiswa dapat menyampaikan kebutuhannya kepada fakultas. Laporan ini nantinya akan diteruskan kepada perusahaan mitra yang bekerja sama dalam menyediakan program magang. Oleh sebab itu, komunikasi menjadi aspek penting dalam memperlancar pemberian bantuan kepada mahasiswa disabilitas

Meski begitu, Savitri Setyorini, Ketua Tim MBKM FH UI, menjelaskan bahwa kondisi ini juga turut terikat dengan persyaratan dari masing-masing mitra kepada fakultas yang bervariasi. Oleh karena itu, kebutuhan mahasiswa disabilitas akan disesuaikan dengan persyaratan yang diminta oleh mitra. Djarot juga menambahkan bahwa beberapa informasi dari Dikti sendiri masih berupa gambar sehingga isu mengenai aksesibilitas perlu dikomunikasikan dengan kementerian guna membantu mahasiswa disabilitas, terutama disabilitas tuna netra.

“Memang belum ada SOP, tetapi pihak fakultas akan coba membantu ketika ada mahasiswa disabilitas yang ingin mengikuti kampus merdeka, terutama magang merdeka,” ujar Savitri.

Savitri mengakui bahwa memang hingga saat ini advokasi secara detail mengenai kebutuhan mahasiswa disabilitas masih belum ada. Dengan demikian, dalam menangani kasus seperti Fauzi, Tim MBKM FH UI akan membantu menjembatani kendala yang ditemui mahasiswa disabilitas kepada pihak Kementerian dan mitra dalam pertemuan yang diadakan oleh kementerian, seperti meminta mitra menyiapkan softfile bagi mahasiswa disabilitas netra selama masa program. Tim juga akan membantu memasukkan kondisi dari mahasiswa yang bersangkutan ke dalam perjanjian kerja sama dengan mitra.

Sementara itu, Astha mengungkapkan bahwa CIL UI tidak berfokus untuk mencantumkan apakah yang bersangkutan membutuhkan bantuan atau tidak. Hal ini karena pelaksanaan kampus merdeka sampai saat ini lebih kepada proses pendaftaran, seleksi, dan kegiatan selama program. Oleh karena itu, kebutuhan mahasiswa disabilitas didapatkan setelah mahasiswa melaporkan hal tersebut setelah dinyatakan diterima. Laporan ini nantinya akan dikomunikasikan kepada pihak kementerian dan mitra.

“Jadi, jika ada mahasiswa difabel yang mendaftarkan magang merdeka dan merasa membutuhkan bantuan maka dapat menghubungi pihak CIL. Nanti pihak CIL akan mengkomunikasikannya dengan mitra,” ujar Astha.

Selain laporan dari mahasiswa yang bersangkutan, PA juga bertanggung jawab dalam memberikan surat rekomendasi untuk mahasiswa mengikuti program. Pihak CIL sendiri telah menyediakan kolom catatan untuk memberikan masukan atau menginformasikan kebutuhan mahasiswa. Namun, sejauh ini, isi catatan dari PA tersebut lebih berfokus kepada sukses atau tidak mahasiswa dalam proses belajarnya, serta berapa jumlah SKS yang dibutuhkan. Padahal, rekomendasi dan catatan PA yang detail mengenai kondisi mahasiswa akan sangat membantu memfasilitasi mahasiswa disabilitas yang akan mengikuti program Merdeka Belajar, khususnya Magang Merdeka.

Data, Kepastian Hukum, dan Aksesibilitas
Dalam menyelenggarakan program Merdeka Belajar, salah satunya Magang Merdeka, Tim MBKM FH UI dan CIL UI menemukan beberapa kendala. Pertama, sulitnya menghimpun data mahasiswa disabilitas. Kesulitan ini disebabkan tiga faktor. Faktor pertama adalah kondisi pembelajaran daring yang menyulitkan pihak fakultas mendeteksi dan mempersiapkan kebutuhan mahasiswa disabilitas. Faktor kedua adalah mahasiswa disabilitas malu mengatakan atau membuka informasi mengenai kondisi mereka kepada pihak fakultas. Kondisi ini menyebabkan sulitnya terjalin komunikasi antara fakultas dengan mahasiswa, khususnya bagi angkatan baru 2020 dan 2021 yang berkuliah secara daring sehingga tidak dapat bertemu langsung dengan pihak fakultas. Kendala menghimpun data ini juga dialami oleh CIL UI. Astha mengatakan kendala ini muncul karena ketidakmerataan akses pendidikan tinggi bagi anak disabilitas di Indonesia. Hal tersebut pada akhirnya menyebabkan data yang tidak bervariasi mengenai mahasiswa disabilitas.

Adapun faktor ketiga dari kendala pendataan adalah kurangnya koordinasi dan informasi antara UI dengan fakultas yang menyebabkan adanya kekeliruan atau data yang tidak sepadan. Hal ini akhirnya menghambat penyediaan fasilitas bagi mahasiswa penyandang disabilitas ketika akan melaksanakan program kampus merdeka. “Harusnya terkait data difabel itu didata secara terpusat oleh Dikti. Artinya, kalau misal mahasiswanya tidak mau mengutarakan (kondisi disabilitasnya -red) secara eksplisit atau tidak mau diketahui semua orang, datanya cukup diakses di server Dikti. Jadi ketika mitra melakukan seleksi, ia bisa langsung mengetahui kebutuhan mahasiswa dan apabila mahasiswa ditolak karena mitra tidak bisa menyediakan kebutuhannya, itu seharusnya diketahui oleh Dikti, Jadi seharusnya (data -red) tersentralisasi,” ujar Djarot.

Akan tetapi, menurut Astha, sentralisasi data juga perlu diikuti dengan proteksi dan mekanisme pembagian data mahasiswa disabilitas. Hal ini agar data terjamin aman dan sesuai dengan aturan yang berlaku. Meski data mahasiswa disabilitas bisa tersentralisasi di dikti atau dihubungkan dengan nomor pokok mahasiswa, data ini merupakan data pribadi sehingga membutuhkan consent atau persetujuan mahasiswa yang bersangkutan.

“Semua data mengenai kondisi mahasiswa disabilitas adalah kondisi pribadi sehingga untuk meminta data seperti itu tidak mudah karena data pribadi tidak bisa di share seenaknya. Bahkan ketika CIL meminta data rekam medis mahasiswa itu tidak boleh seenaknya minta. Jadi, informasi tersebut harus ada secara prosedural maka surat rekomendasi atau persetujuan PA itu penting. Jadi kalau kita mau membicarakan data, data itu punya koridor, acuan, dan aturan untuk bisa diproses. Tidak bisa seenaknya sehingga perlu kerja sama dengan mahasiswa untuk bisa memberikan informasi mengenai akses yang dibutuhkan atau hal yang mereka butuhkan sehingga bisa ditangani  lebih baik,” tutur Astha.

Kendala kedua, tidak adanya kepastian hukum dan SOP dalam program magang merdeka dari Kemendikbud atau universitas. Kepastian hukum dibutuhkan agar tim MBKM FH bisa tahu secara pasti apa yang harus dilakukan dalam menghadapi situasi mahasiswa disabilitas. Sementara itu, SOP dibutuhkan karena beberapa kegiatan langsung ditangani oleh universitas dan kementerian. Hal ini membuat fakultas tidak bisa fleksibel dalam menyiapkan kebutuhan mahasiswa disabilitas. Kehadiran SOP dari universitas akan memberikan daya jangkauan yang lebih luas bagi fakultas yang belum memiliki mekanismenya sendiri dalam menangani kebutuhan mahasiswa disabilitas. Dinda juga menambahkan bahwa kehadiran SOP dapat menjadi pedoman atau norma tertulis sebagai persiapan bagi UI guna menghadapi kebutuhan mahasiswa disabilitas dan mengetahui langkah apa yang bisa diambil.

“Jadi ketika ada aturan, harusnya bagaimana, posisi seperti ini (kebutuhan mahasiswa disabilitas -red) penangannya seperti apa. Jadi bisa ada antisipasi untuk ke depannya seperti apa. Ini yang kami butuhkan, minimal ada SOP di tingkat universitas agar lebih mudah ke bawahnya (level fakultas -red),” ujar Savitri.

Kendala terakhir adalah kurangnya aksesibilitas bagi mahasiswa disabilitas dari perusahaan mitra. Djarot menemukan bahwa dari proposal yang dikirimkan mitra, ada yang tidak hanya bekerja di kantor, melainkan turun langsung ke lapangan, proyek, dan sebagainya. Hal ini membuat mahasiswa disabilitas tidak sesuai dengan persyaratan yang diminta oleh mitra. Djarot juga menambahkan bahwa tidak semua mitra memiliki sumber daya untuk mendampingi mahasiswa disabilitas, sedangkan universitas tidak bisa mendampingi sendiri mahasiswa tanpa adanya partisipasi mitra.

Pentingnya Kesiapan Mitra bagi Mahasiswa Penyandang Disabilitas
Kesiapan mitra menjadi aspek yang sangat penting dalam mewujudkan program magang yang inklusif bagi mahasiswa disabilitas. Mitra harus memperhatikan sarana, prasarana, lingkungan kerja, dan diharapkan pekerja dari mitra tahu bagaimana penanganan bagi mahasiswa disabilitas. Hal ini karena selama program magang mahasiswa akan berada di luar kampus bersama pihak mitra.

Kepastian kesiapan tersebut dapat dilakukan dengan menjalin komunikasi dengan mitra sejak awal. Hal pertama yang harus dipastikan adalah apakah pihak mitra bisa memfasilitasi atau tidak terutama ketika mahasiswa bertugas langsung ke lapangan. Jika mitra tidak bersedia, maka pihak kampus akan membantu mencarikan alternatif penempatan lain yang memungkinkan. Namun umumnya, jika hal seperti ini terjadi, maka mahasiswa sendiri akan menyadarinya dan melaporkan kepada pihak CIL. Pihak CIL nantinya akan membuat rekomendasi dan permohonan agar mahasiswa ditempatkan di divisi lain yang sesuai. Sementara, jika memungkinkan maka hal ini akan bergantung pada kesiapan mitra karena pihak kampus tidak bisa hadir langsung di lapangan.

“Kalau di kampus akan berusaha semaksimal mungkin untuk bisa memfasilitasi mahasiswa karena infrastruktur dan segala macam ada di bawah kendali kita.  Tapi ketika itu ada di pihak mitra, kita perlu mengkomunikasikan kepada mitra, apakah memungkinkan karena ini bergantung pada kesiapan mitra karena mereka juga mungkin butuh resource untuk melakukan itu.  Nah kalau tidak bisa ya akan komunikasikan agar mahasiswa dapat kami carikan tempat yang lebih cocok dan biasanya hal itu memungkinkan karena pihak Dikti sendiri sangat menginginkan apabila mahasiswa itu sudah mendapat kesempatan diterima atau seleksi maka seharusnya bisa menyelesaikan merdeka belajarnya,” jelas Astha

Pengalaman ini nantinya akan memberikan edukasi kepada mitra yang belum pernah mempekerjakan pekerja disabilitas. Dengan kata lain, program merdeka belajar kemudian dapat menjadi kesempatan bagi dunia kerja profesional mempersiapkan lingkungan kerja yang inklusif bagi semua pekerja. Oleh karena itu, pihak mitra harus jujur siap atau tidak menerima mahasiswa disabilitas.

Inklusifitas Magang Merdeka Menjadi Tanggung Jawab Bersama
Kehadiran SOP dari pihak Kemenristekdikti, universitas, dan perusahaan menjadi harapan Fauzi dalam memberikan aksesibilitas bagi mahasiswa disabilitas ketika pelaksanaan program Kampus Merdeka, terutama Magang Merdeka. SOP ini dapat dibuat dengan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan mahasiswa disabilitas ketika ingin mengikuti magang merdeka. Dengan dibuatnya SOP bagi pendaftar mahasiswa disabilitas nantinya akan membantu perusahaan dalam menciptakan sistem kerja yang inklusif dalam lingkungan kerja, seperti dimasukkannya aspek aksesibilitas, mulai dari infrastruktur, fasilitas, serta akomodasi akses lingkungan kerja hingga sistem seleksi dalam proses magang. “Harapan gua dikasih semacam SOP secara jelas dari pihak Kemendikbud, univ, dan perusahaan. Jadi dari tiga pihak itu gimana caranya buat suatu standar operasional. Supaya ketika pelaksanaan, itu bener-bener sudah accessible terhadap penyandang disabilitas,” harap Fauzi.

Harapan Fauzi tersebut juga diamini oleh Tim MBKM FH UI. Dinda berpendapat bahwa akan sangat baik jika pihak kementerian atau universitas sudah mulai memikirkan bagaimana mempersiapkan MBKM ketika mulai hybrid atau ketika tatap muka untuk menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi. “Menurut saya akan menjadi hal yang baik apabila dari jauh-jauh hari mulai disiapkan walau belum pasti, dan akan lebih baik lagi jika ada SOP yang akan mengatur mekanisme asistensi bagi mahasiswa disabilitas, seperti selama masa pembimbingannya gimana, pendaftarannya gimana, dan bagaimana pelaksanaannya agar tetap berjalan dengan baik, itu menurut saya akan baik apabila kementerian, kampus, dan mitra sudah mempertimbangkan,” tegas Dinda.

Djarot juga mengatakan dalam mempersiapkan MBKM diperlukan kerja sama yang terintegrasi agar tidak ada pihak yang bekerja sendiri dan menghasilkan sistem yang baku guna menyediakan akses dan pemenuhan hak bagi mahasiswa disabilitas. Lebih lanjut, Tim MBKM FH UI juga menegaskan bahwa mahasiswa penyandang disabilitas tidak perlu takut untuk mendaftar program Kampus Merdeka. “Saya yakin pihak fakultas pasti senang karena kami merasa itu kewajiban kami juga, untuk menunjang hak dari teman-teman yang memiliki hak yang sama untuk menerima pendidikan seperti teman-teman lain tanpa perbedaan. Pasti kami akan lebih mengapresiasi kalau kita akhirnya bisa mendapat input,” ujar Djarot.

Savitri menambahkan bahwa fakultas dalam menyediakan bantuan bagi mahasiswa disabilitas mereka memerlukan informasi, khususnya di tengah pembelajaran daring.  “Harapan kami bagi teman-teman difabel jangan takut untuk daftar MBKM karena kami pasti akan bantu. Kalaupun tidak ada hitam di atas putih, pasti akan kami bantu dengan cara kami.”

Sementara itu, Astha berharap adanya perbaikan mendasar pada pendidikan bagi anak penyandang disabilitas hingga ke jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) agar ketika sampai di universitas data mahasiswa disabilitas sudah tersedia. Hal ini perlu dilakukan guna menghasilkan input data yang bervariasi yang nantinya dapat digunakan dalam pembuatan SOP. Data juga dapat menjadi masukan yang penting bagi penyediaan fasilitas bagi mahasiswa disabilitas di perguruan tinggi sehingga dapat dibuat suatu kebijakan yang inklusif.

Inklusivitas dalam program magang merdeka merupakan tanggung jawab bersama dari berbagai lini mulai dari mahasiswa, fakultas, universitas, perusahaan mitra, hingga pemerintah. Pemerataan akses pendidikan bagi seluruh siswa di Indonesia dapat menyumbangkan data yang bervariasi dalam pembuatan kebijakan dan program yang inklusif bagi mahasiswa penyandang disabilitas nantinya. Selain itu,  kepastian prosedur atau SOP perlu segera dibuat guna menjadi pedoman dan aturan baku bagi universitas dan mitra dalam mewujudkan lingkungan kerja yang inklusif dan ketersediaan aksesibilitas bagi mahasiswa penyandang disabilitas dalam Magang Merdeka.

Hingga kini, lingkungan kerja inklusif masih belum dapat terwujud di Indonesia. Magang Merdeka menjadi momentum yang tepat bagi Indonesia berbenah diri dan menyiapkan lingkungan kerja yang mendukung masyarakat penyandang disabilitas. Program ini memberikan kesempatan bagi pemerintah, universitas, industri kerja, dan masyarakat untuk belajar menciptakan lingkungan kerja inklusif bagi masyarakat penyandang disabilitas di Indonesia, terutama tenaga kerja di masa depan. Bisa jadi, program Magang Merdeka dapat menjadi jawaban bagi pemerataan akses pendidikan dan meningkatkan tingkat partisipasi angkatan kerja bagi masyarakat penyandang disabilitas Indonesia.

Referensi:
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2020). Buku Panduan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (1st ed.). Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. https://dikti.kemdikbud.go.id/pengumuman/buku-panduan-merdeka-belajar-kampus-merdeka/

Hastuti, Dewi, R. K., Pramana, R. P., & Sadaly, H. (2020). Kendala Mewujudkan Pembangunan Inklusif Penyandang Disabilitas. Smeru Research Institute. https://smeru.or.id/id/publication-id/kendala-mewujudkan-pembangunan-inklusif-terhadap-penyandang-disabilitas

Teks: Loga Prity Dewi
Kontributor: Faiz Abimanyu
Editor: Ninda Maghfira

Pers Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, Berkualitas!