Mahasiswa Bergaya dengan Wastra? Bisa!

Redaksi Suara Mahasiswa · 28 Mei 2023
3 menit

Dari kejauhan, saya melihat ada yang tak biasa dari seorang teman yang sehari-hari memakai busana kasual saat pergi kuliah. Biasanya, sembarang kaus atau hem, ditambah jeans kusam dan lecek sedikit (jangan tanya sudah berapa hari, sebab boleh ketemu di kolong kasur), maka jadilah dia mahasiswa. Tapi tidak hari ini. Dikenakannya kemeja putih dengan motif, digosok setrika licin. Sepatunya, tidak tahu merk apa, tapi laras sekali dengan atasannya. Dan, oh, satu lagi. Dia tidak pakai jeans hari ini, tetapi lipatan kain sejenis batik, dengan warna merah agak gelap, sedikit bercak coklat, dan pelisir kencana terlihat sekilas-kilas.

Belakangan, saya baru tahu, kain yang dia pakai itu termasuk wastra. Batik termasuk wastra, tetapi tidak semua wastra bisa disebut batik. Nah, lho!

Begitulah. Bagi sebagian mahasiswa, penampilan menarik menjadi bagian khusus yang harus diperhatikan saat ingin pergi kuliah. Kampus bukan sembarang kampus. Curi-curi pandang, jadilah dia panggung busana yang memperlihatkan tren outfit yang bergerak seiring waktu. Sangat dinamis. Pernah kita lihat style Korea dengan tren Pop-nya yang khas, tren Jepang di awal 2010-an, hingga style Y2K yang booming di awal tahun 2000an, dan kini digunakan kembali saat pergi ke kampus.

Tapi memakai wastra ke kampus belum pernah jadi tren. Wastra adalah anomali.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, wastra adalah kain tradisional yang mempunyai makna dan simbol tersendiri, mengacu pada dimensi warna, ukuran, maupun bahannya. Nah, salah satu yang menjadikan trend wastra dan kebaya kembali masuk kampus dan menjadi hits adalah unggahan sosial media para influencer yang memperlihatkan berkegiatan sehari-hari menggunakan kain dan kebaya. Betul, mereka berkegiatan dengan lincah, trengginas malah, tanpa merasa terhalangi dengan kain dan kebaya yang dikenakan.

Mematahkan Stigma

“Kalau mahasiswa disebut suka kebarat-baratan, itu hanya sebuah stigma aja sih,” demikian Dyaning mulai memberikan penjelasannya. Menurut mahasiswi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya ini, stigma tersebut keliru karena tren wastra sudah ada sejak 2019 dan akhir-akhir ini mulai ramai kerena influencer yang mengunggah kegiatan mereka yang berkain. Dyaning pun bisa disebut salah satu “korban” influencer, sebab ia mulai menyukai berkain dan berkebaya ke kampus karena melihat unggahan tersebut di sosial media. Berkebaya, pikirnya, ternyata tidak harus menunggu momen penting seperti pernikahan atau acara adat lain.

Namun, kepercayaan diri juga tidak langsung terbentuk. Malah ia masih khawatir pendapat orang lain yang melihat dia memakai kebaya. “Kayak, ‘too much gak sih? overdress gak sih?’,” ujarnya saat diwawancarai Suara Mahasiswa. Setelah memikirkan matang-matang, ia yakin bahwa berkebaya ke kampus bukanlah hal yang aneh dan malah terlihat keren. Dyaning juga menambahkan, prodi tempatnya mengangsu ilmu juga mendukung dengan kewajiban hari Kamis untuk berkebaya. Dukungan inilah yang, antara lain, membuatnya bersemangat untuk berkebaya ke kampus dengan perasaan lebih anggun dan percaya diri.

Tidak Harus Mengerti

Dyaning berpendapat bahwa sebenarnya tidak harus mengerti makna di balik kain dan kebaya yang dipakai hanya untuk mencoba melakukannya. “Yang penting punya rasa penasaran dan lama-lama akan timbul perasaan senang dan nyaman berkebaya.”. Ia menambahkan, dari kemauan seseorang mencoba berwastra dan berkebaya itulah, suatu langkah awal yang sangat bagus untuk memulai, dan jika sudah muncul rasa nyaman, mereka akan mencari tahu dengan sendirinya makna dan arti dan nilai yang tersemat dalam wastra yang dikenakannya.

Terus terang, Dyaning mengakui bahwa ia tahu hanya sedikit tentang kebaya yang dahulunya pernah dipakai oleh pejuang-pejuang perempuan, juga beberapa motif batik yang pernah ia pelajari dahulu. Tidak berhenti di situ, ia pun masih sering mencari arti dari motif-motif kain di Google, ditambah ia juga beberapa kali bepergian ke Museum Tekstil hingga Museum Sonobudoyo di Yogyakarta saat liburan kuliah untuk kenal lebih dalam mengenai kebaya.

Masih Relevan?

Selain menjadi unsur budaya, wastra, khususnya batik, juga dapat menjadi ikon fashion yang unik dan menarik. Menurut Dyaning, kain batik masih sangat relevan dengan perkembangan fesyen yang menjadi tren di kalangan anak muda, yaitu tren berkain yang memadupadankan kain batik dengan outfit kasual sehari-hari. Selain itu, Dyaning menganggap batik sebagai elemen fesyen yang universal. “Kain batik bukan hanya untuk acara-acara formal seperti kondangan. Batik juga cocok dipakai untuk berbagai kesempatan lain,” tukas Dyaning.

Dari dekat, katanya, kita bisa melihat mahasiswa yang mulai mengenakan batik ke kampus, baik berupa kemeja maupun kain. Pengakuan dari para pewaris budaya inilah, yang kiranya dapat semakin meneguhkan batik sebagai komponen fesyen yang diakui di tingkat global, seperti Christian Dior yang menggunakan kain Endek Bali yang naik peraga pada Paris Fashion Week yang digelar di Jardin de Tuileries, Paris pada 29 September 2020 lalu.

Jadi, masih ragu, bergaya dengan wastra?