Menyikapi gejolak politik di Indonesia saat ini, Serikat Pekerja Kampus Universitas Indonesia (UI) menyelenggarakan diskusi terbuka pada Senin (1/9). Diskusi ini dihadiri oleh dosen dan mahasiswa dari berbagai fakultas, baik secara luring di Miriam Budiardjo Research Center (MBRC) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI, maupun daring melalui Zoom meeting.
Shofwan Al Banna, salah satu dosen Hubungan Internasional UI membuka diskusi ini dengan sambutan kepada semua pihak yang telah hadir. Ia menyatakan bahwa dialog ini bertujuan untuk menukar ‘bacaan’ mengenai perkembangan kondisi Indonesia saat ini, serta menentukan langkah yang harus diambil selanjutnya.
Pengajar HI tersebut pun menjelaskan beberapa hal yang dapat disepakati setiap peserta diskusi. Pertama, terkait ketidakpuasan rakyat yang disebabkan banyak faktor, mulai dari ekonomi yang stagnan, hingga impunitas dan arogansi aparat yang kian menguat. Kemarahan rakyat pun meledak seiring beredarnya video yang memperlihatkan anggota DPR berjoget ria di tengah kondisi negara yang sedang tidak baik-baik saja. Tindakan tersebut dinilai tidak pantas, apalagi mengingat adanya ketimpangan yang besar antara kehidupan para anggota dewan dengan masyarakat secara luas.
Kedua, check and balance telah dilemahkan sehingga ketidakpuasan tersebut tidak dapat disalurkan secara formal. Hal ini membuat para elit merasa tidak tersentuh dan tidak perlu mendengarkan rakyat.
Ketiga, tidak adanya konsolidasi sipil. Konsolidasi sipil dinilai melemah pada satu dekade ini. Sebagian sipil diberi jabatan, sementara yang lainnya ditekan sedemikian rupa sehingga tidak ada agenda kolektif yang jelas. Mereka memang marah, ungkap Shofwan, tetapi tidak ada gambaran terkait tindakan ke depannya.
Terakhir, peserta diskusi sepakat bahwa Prabowo berada di dalam ‘bubble’-nya sendiri. Dia tampak percaya bahwa Indonesia baik-baik saja. Selentingan kabar terkait Indonesia hari ini pun hanya didengarkan dari orang-orang di sekitarnya.
Di tengah-tengah diskusi, Shofwan juga memaparkan pernyataan spekulatif tentang sejauh mana pengaruh kompetisi elit yang berebut sumber daya. Ia menyatakan ada sebagian pihak yang yakin bahwa kerusuhan ini merupakan skenario persaingan antar elit, tetapi, ada pula yang meyakininya murni sebagai suara amarah rakyat.
Shofwan pun memberikan kesempatan bagi peserta diskusi untuk mengemukakan pendapatnya. Sebagian besar peserta berpendapat bahwa demonstrasi yang terjadi memang murni amarah rakyat, tetapi banyak pula elit yang menunggangi demo tersebut untuk kepentingannya. Menurut peserta diskusi, perlu kewaspadaan tinggi dalam menyikapinya, apalagi saat ini, kemarahan masyarakat dianggap belum terarah secara kolektif sehingga mudah diadu domba.
Masalah lain muncul dengan beredarnya berita hoaks di kalangan mahasiswa, seperti selentingan kabar terkait adanya sweeping di area kos Kukusan Teknik. Berita tersebut diduga bertujuan untuk menimbulkan ketakutan di kalangan mahasiswa, sehingga gerakan mereka yang sudah mulai kokoh, menjadi kembali terpecah belah.
Namun, meski demikian, mahasiswa tetap memilih melawan dan berencana untuk terus bersuara. “Jika di luar kampus berbahaya, kita bisa tetap bersuara di dalam kampus,” ungkap Theo, mahasiswa Filsafat UI.
Diskusi kemudian beralih pada Irwansyah, dosen Ilmu Politik yang menyayangkan putusan rektor untuk ‘menonaktifkan’ kegiatan kampus hingga hari Kamis (4/9). “Apa ada jaminan hari Kamis sudah aman? Tidak ada jaminan. Kalau [memang] mau jatuhin [pemerintah], harus sampai tuntas!”
Irwansyah kemudian menegaskan bahwa perkuliahan yang dilakukan secara daring ini hanya akan membuat mahasiswa semakin pasif, sekaligus berpotensi menghentikan pergerakan yang sudah dimulai. Apalagi mengingat peran mahasiswa yang seharusnya memanfaatkan kemampuan intelektual dalam rangka pemetaan masalah, riset sosial, dan penyusunan hipotesis.
“Lebih baik kita demo daripada diam. Kalau [diam] begitu, elit [akan] makin tidak terkalahkan,” pungkas Irwansyah.
Namun, di sisi lain, tetap ada kekhawatiran terkait keamanan mahasiswa. Mahasiswa tak ingin kegiatan kampus dinonaktifkan, mereka justru membutuhkan sebuah ruang aman yang seharusnya menjadi tanggung jawab kampus.
Banyak harapan dari peserta yang bersuara di ruang diskusi ini. Mereka berharap bahwa kondisi saat ini dapat dijadikan sebagai momentum pergerakan, persatuan gerakan yang terarah melalui konsolidasi, hingga penumbuh kesadaran kolektif terkait musuh bersama.
Teks: Kinanti Anggraeni, Mona Natalia Christina
Editor: Naswa Dwidayanti Khairunnisa
Foto: Mona Natalia Christina
Desain: Kania Puri A. Hermawan
Pers Suara Mahasiswa UI 2025
Independen, Lugas, dan Berkualitas!