Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) menaikkan gugatan uji formil terkait revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat (21/03). Mereka melayangkan gugatan karena menemukan kecacatan prosedural dalam UU TNI.
Ada sembilan mahasiswa yang terlibat dalam pengajuan gugatan tersebut, yaitu dua mahasiswa sebagai kuasa hukum dan tujuh mahasiswa lainnya sebagai pemohon. Dengan persamaan latar belakang sebagai mahasiswa FH UI yang melek terhadap isu politik dan hukum nasional, mereka sepakat untuk menggugat UU TNI ke MK.
Salah satu kuasa hukum pemohon adalah Abu Rizal Biladina. Kepada Suma UI, mahasiswa FH UI angkatan 2023 ini menjabarkan alasan yang membuat mereka bersembilan sepakat bahwa UU TNI memuat kecacatan prosedural.
Mereka menilai bahwa DPR tidak menerapkan asas keterbukaan dalam proses penyusunan dan pengesahan revisi UU TNI. Menurut Rizal, sebagai badan legislatif, DPR seharusnya secara resmi dan terbuka menyediakan draf dan naskah akademis RUU TNI bagi masyarakat luas.
Sebagai informasi, masyarakat sempat menemukan dokumen yang diduga sebagai draf asli RUU TNI. Akan tetapi, salah satu petinggi DPR menegaskan bahwa draf itu keliru. Bukannya merilis draf RUU TNI yang asli, DPR malah mengesahkan revisi UU TNI pada Kamis (20/03) di tengah aksi penolakan atas UU itu oleh masyarakat.
Mereka juga menduga adanya intervensi dari presiden selaku pengusul UU. Oleh karena itu, mereka beranggapan bahwa ada pelanggaran atas hak konstitusional warga negara Indonesia dalam penyusunan dan pengesahan revisi UU TNI.
Tidak hanya itu, mereka juga menemukan bahwa agenda rapat Program Legislatif Nasional (Prolegnas) RUU TNI menyimpangi agenda rapat resmi. Penyimpangan ini membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap tata tertib DPR.
“DPR itu tidak menerapkan meaningful participation karena tidak melibatkan masyarakat. Naskah akademis dan draf RUU TNI tidak disebarluaskan kepada masyarakat. Hak masyarakat dirugikan [karena] tindakan DPR yang terkesan “sembunyi-sembunyi” ini. Waktu delapan hari [untuk merumuskan dan mengesahkan revisi UU TNI] tergolong singkat [sehingga] menunjukkan adanya cacat formil.” ringkas Rizal.
Proses Pengajuan Gugatan
Untuk menaikkan gugatan, mahasiswa FH UI melakukan beberapa persiapan. Salah satunya adalah menyiapkan draf permohonan. Rizal memaparkan bahwa sembilan dari mereka saling membagi tugas.
“Jadi kita brainstorming, apa saja, nih, yang salah dari pembuatan RUU TNI ini.”
Pertama, mereka menentukan jenis gugatan. Adapun gugatan terbagi menjadi dua jenis, yakni gugatan formal (terkait tata cara pembentukan UU) dan materiel (terkait isi pasal UU). Mereka memilih gugatan formal.
“Yang kemarin kita buat adalah [gugatan] formil-nya atau tata cara pembuatan [undang-undang]nya sehingga yang kami gugat adalah keseluruhan UU-nya, bukan per pasalnya,” jelas Rizal.
Setelah itu, mereka mendaftarkan permohonan secara daring di laman simpel.mkri.id. Pada Jumat lalu, mereka menyerahkan berkas fisiknya kepada MK.
Sejauh ini, proses gugatan berada di tahap pengajuan permohonan. Mereka masih harus menunggu registrasi dari pihak MK. Rizal memprediksi bahwa nomor registrasi perkara akan keluar pada hari Senin besok.
“Kita akan menunggu MK untuk meregistrasi nomor perkara. Sekarang masih di nomor pengajuan.”
Dalam wawancara bersama Suma UI, Rizal menyatakan bahwa ia dan Muhammad, adik tingkatnya yang juga berperan sebagai kuasa hukum pemohon dalam gugatan kali ini, memiliki tugas untuk mewakilkan tujuh pemohon. Mereka akan mendengar nasihat hakim dan mengikuti keseluruhan persidangan di MK.
Harapan di Balik Gugatan
Rizal dan teman-teman dari FH UI lainnya sangat menyayangkan sikap negara yang tidak mengindahkan praktik-praktik penyimpangan dan pelanggaran di balik pengesahan revisi UU TNI. Hal ini menjadi keprihatinan bersama karena penyimpangan itu terlihat jelas, baik secara formal maupun secara materiel.
Dari segi materiel, ada sejumlah pasal yang menjadi perhatian Rizal dan teman-temannya. Beberapa di antaranya adalah perluasan objek jabatan TNI yang dapat menyebabkan adanya tumpang tindih dengan instansi terkait serta perpanjangan usia pensiun yang memungkinkan kesulitan regenerasi dan kenaikan pangkat di lingkup TNI.
Dengan melayangkan gugatan ini, Rizal dan para pemohon berharap MK dapat mengabulkan seluruh petitum berikut.
1. Mengabulkan seluruh permohonan pemohon.
2. UU yang disahkan tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945.
3. UU terkait bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, ia tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
4. Setelah pemenuhan permohonan (2) dan (3), norma-norma lama yang dihapus dan diubah oleh UU TNI dikembalikan.
5. Pemuatan putusan dalam berita negara RI sebagaimana mestinya.
Di tengah pengesahan RUU TNI yang mempertontonkan tulinya pemerintah dalam mendengarkan seruan ketidaksetujuan rakyat, Rizal mengajak teman-teman sesama mahasiswa dan rakyat Indonesia untuk tetap tidak menyerah. Ia berharap agar masyarakat maupun pemerintah terus menjunjung tinggi demokrasi.
Lebih lanjut, Rizal menyayangkan adanya komentar-komentar di media sosial yang mendiskreditkan pengajuan gugatan mereka sebagai tindakan yang eksklusif, padahal gugatan itu bukan hanya atas nama mahasiswa UI, melainkan juga atas nama Indonesia. Rizal juga menegaskan bahwa gugatan itu memiliki tujuan untuk menegakkan demokrasi yang saat ini terancam tumbang di bawah bayang-bayang RUU TNI.
“Kami bersembilan menggugat ini atas nama rakyat Indonesia, atas nama mahasiswa, atas nama demokrasi,” pungkas Rizal.
Teks: Mona Natalia Christina
Editor: Naswa Dwidayanti Khairunnisa
Foto: X/RizalBiladina
Desain: Nabilah Sipi Naifah
Pers Suara Mahasiswa UI 2025
Independen, Lugas, dan Berkualitas!