Mampus Kau Dikoyak-Koyak Sepi!: Obituari Chairil Anwar

Redaksi Suara Mahasiswa · 28 April 2021
5 menit

kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

di Karet, di Karet (daerahku y.a.d.) sampai juga deru dingin

aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

―Yang Terampas dan Yang Putus (1949) (Anwar, 2021, hal. 102).

Kira-kira 72 tahun lalu, tepatnya tanggal 28 April 1949, telah terbujur kaku tubuh seorang laki-laki yang mencari kebebasan tapi pada akhirnya dikalahkan kehidupan. Nama lahir yang ia miliki ialah Chairil Anwar, nama julukan si Binatang Jalang yang hadir kemudian datang dari karyanya berjudul “Aku” yang dipublikasikan pada Maret 1943. Dirinya dikenal sebagai “Bohemian Pertama Jakarta” atau lebih dari itu sebagai sosok urakan yang selalu bersikap semau gue.

Esai ini tidak akan dan tidak pernah mampu menangkap keseluruhan kisah yang bahkan tanda komanya saja menarik dari buku hidup bernama Chairil Anwar. Kendati demikian, meminjam jari Nirwan Dewanto (Anwar, 2021, hal. xiv), bagi penulis pun Chairil seolah menjelma puisi unggul yang tidak hanya meminta dibaca ulang terus-menerus, tapi juga mengubah cara penulis membaca dan menulis.


Aku Berkisar di Antara Mereka

Johari mengutip dari Djaya mengenai sebuah potongan peristiwa yang benar-benar menangkap betapa kekanakannya sang penyair legendaris Indonesia tersebut, kiranya (Johari, 2021):

“Suatu pagi di bulan November 1945. Suasana pertemuan di rumah Perdana Menteri Sutan Sjahrir itu berjalan begitu serius. Semua orang menyimak sungguh-sungguh semua perkataan orang ketiga di Republik Indonesia saat itu. Sekali-kali ada tanya dan perdebatan.

Di tengah keseriusan tersebut, tetiba seorang pemuda berpakaian agak dekil memasuki ruangan rapat. Dalam gaya slengean, dia menuju meja Sjahrir dan mengambil beberapa batang cerutu. ‘Selamat pagi, Bapak Perdana Menteri. Ada yang sedang penting rupanya. Saya interupsi sebentar, cuma buat ini kok...’ ujarnya.

Bila ditanya mengenai Chairil Anwar, Siti Latifah Herawati―istri daripada Burhanuddin Mohammad (B.M.) Diah, langsung mengingat 2 hal, yakni syair dan Sjahrir. Dari perjumpaannya yang terjadi beberapa kedipan mata, ia mengetahui bahwasanya Chairil merupakan keponakan Sjahrir dari kesaksian suaminya.

Sebagai keponakan yang tinggal di rumah Sutan Sjahrir, Chairil dekat dengan berbagai kalangan termasuk tokoh pergerakan nasional. Sejumlah catatan menyebutkan Chairil adalah keponakan Sjahrir dari keluarga ibunya, Saleha. Chairil dan Ibunya datang ke Batavia pada tahun 1941. Pada momentum yang bertepatan dengan kepulangan Sjahrir setelah diasingkan kurang lebih 7 tahun di Banda Neira, Chairil mukim di rumah Sutan Sjahrir sekamar dengan Des Alwi―salah seorang anak angkat Sjahrir yang dibawa dari tanah pengasingannya (TEMPO, 2016, hal. 36-37).

Dari sepandangan Des Alwi, Chairil Anwar adalah seorang kutu buku dan Sutan Sjahrir sangat mengagumi kecerdasan keponakannya tersebut. Sjahrir pula yang menyuntikkan pemikiran-pemikiran ideologis kepada Chairil. Meski begitu, dirinya menolak menjadi seorang poltikus seperti “The Sjahrir’s Boys” lainnya (baca: Soedjatmoko, Subadio Sastrasatomo, dan Sudarpo), ia sudah bahagia dan penuh bangga menapaki hidupnya sebagai penyair (TEMPO, 2016, hal. 39).

Pernah sekali waktu Chairil diminta menjadi “kurir” oleh Sjahrir pada permulaan Agustus tahun 1945, jelasnya untuk membumikan kabar bahwa Jepang telah kalah oleh Sekutu kepada para pemuda dan mahasiswa pejuang. Dia inilah biang keladi daripada serentetan peristiwa yang berujung pada penculikan Soekarno dan Hatta. Lebih lagi, radio yang dipakai Sjahrir untuk mendengar berita gelap pada kanal Hosso Kyoku tersebut dibeli secara impulsif oleh Chairil karena kasihan dengan seorang nyonya Belanda yang tengah kesulitan ekonomi karena suaminya ditahan Jepang (TEMPO, 2016, hal. 40).


Sudah Dulu Lagi

Puisi-puisinya yang bertajuk Ajakan, Merdeka, Mulutmu Mencubit di Mulutku, Senja di Pelabuhan Kecil, dan seterusnya mungkin bisa benar menangkap betapa jatuh-bangunnya Ahasveros di dunia asmara. Namun, ada keterlibatannya pada medan pertempuran lain yang tidak kalah menariknya untuk kita ketahui, yakni anti-kolonialisme. Bahwa angkat senjata atau tidaknya Chairil Anwar pada masa revolusi itu masih diragukan oleh banyak pihak, akan tetapi pertempurannya melalui puisi dengan napas anti-kolonialisme tidak dapat diragukan lagi.

Nasionalismenya sudah tertanam amat jauh bahkan sebelum negara bernama Indonesia dilahirkan oleh Ibu Gaia. Kiranya pada Februari 1943, puisi berjudul Diponegoro (Anwar, 2021, hal. 9) telah diazankan oleh Chairil, dan lebih dari itu, puisi tersebut merupakan tantangannya terhadap para penjajah secara terbuka sekaligus menjadi bahan bakar ideologi pada kawan-kawan seperjuangannya. Pada periode ini ia tampil sebagai sosok yang penuh semangat hidup dan patriot.

Penyair yang tidak pernah secara gamblang meneriakkan keberpihakannya pada aktivitas politik dari sebuah golongan nyatanya lebih nasionalis dibandingkan daripada politikus sezamannya. Sajak sadurannya, Krawang-Bekasi menjadi menhir bahwasanya pernah ada seorang penyair yang benar-benar melek, mengerti, dan memperhatikan kepentingan sosial dan politik bangsa.

Ah, masa penyair bak santo seperti Chairil dan kawan-kawan seangkatannya sudah berlalu jauh. Namun, medan pertempurannya hingga kini belum usai dan masih berlanjut. Realita mengenai penyair yang sering hadir di depan mata kini kebanyakan berkisar pada 2 hal, penyair yang merusak puisi atau penyair yang “merusak” lawan jenisnya. Penulis akan lebih lanjut mengenai realita yang pertama dan membiarkan realita kedua untuk menjadi bahasan di lain waktu.

Kita seolah lupa bahwasanya situasi yang dihadapi Chairil Anwar dengan kita teramat berbeda, situasi yang memaksa Chairil untuk menggunakan kata-katanya sendiri melalui proses “menimbang, memilih, mengupas, dan kadang sama sekali membuang” sungguh sudah jauh kita lewati dewasa ini. Apa-apa yang dihadapinya dalam berpuisi kini telah dikerjakan baik oleh sastra, tentu saja dalam rentan waktu 76 tahun hal tersebut sudah terselesaikan.

Setiap penyair haruslah bergulat dengan bahasa dan tradisi yang ada di hadapannya, sebagaimana yang Chairil lakukan dahulu. Kerja sastra akan selalu menghasilkan cabang-cabang yang tidak pernah akan kita ketahui ke mana arah berkembangnya. Singkatnya, puisi Chairil bisa terlihat keren, menarik, penuh vitalitas karena itu ditulis oleh Chairil Anwar. Siapapun yang hadir setelahnya hanya akan membuntut dan apabila tidak lekas mengganti kiblat, maka silakan selamanya tertawa di dalam bayang-bayang Chairil yang bahkan Chairil sendiri benci untuk melakukannya.


Polemik 2 Hari Puisi Nasional

Sampai saat ini, belum diketahui jelas siapa yang memulai untuk menggunakan hari wafatnya Chairil─tanggal 28 April sebagai Hari Puisi Indonesia. Barangkali kejadian tahunan di media sosial adalah reaksi latah yang pencetusnya tidak diketahui dan memiliki efek domino. Orang-orang yang memilih hari wafatnya Chairil sebagai Hari Puisi Indonesia tak salah merayakannya dengan berpesta sajak, berkolektif lapak baca dan semacamnya.  Namun, perlu diketahui bahwa ada mazhab lain juga yang merayakan Hari Puisi Indonesia-nya pada hari lahir si Binatang Jalang Ini─pada tanggal 26 Juli.

Bukan tanpa landasan mereka mengamini bahwa Hari Puisi Indonesia harusnya  diadakan 26 Juli dan bukan 28 April. Pada 22 November 2012 di Anjungan Idrus Tintin, Pekanbaru, Riau, sekitar 40 penyair dari seluruh Indonesia telah mendeklarasikan dan menetapkan tanggal kelahiran Chairil sebagai Hari Puisi Indonesia. Di antaranya ialah, Hasan Aspahani (Kepulauan Riau), Isbedy Stiawan ZS (Lampung), dan Sutardji Calzoum Bachri (Jakarta).

Tidak seperti peringatan pada 28 April, Hari Puisi Indonesia yang diperingati setiap 26 Juli jelas penggagas dan asal mulanya. Alasan pengambilan hari lahir Chairil dibandingkan hari wafatnya dijelaskan oleh Hasan Aspahani, “Ya tanggal lahir, lah. Kematiannya kan tragis─nggak punya alamat, miskin, komplikasi penyakit, dan lain-lain.” Hasan kemudian menambahkan, “Mungkin kita belajar pada hari musik. Tanggal lahir WR Supratman yang diambil sebagai Hari Musik Indonesia.” Walaupun berbeda pilihan hari, kedua mazhab sama-sama mengambil figur Chairil Anwar sebagai muara perayaan ini (Kumparan, 2017).

Mari kita sedikit mengawang, perbedaan pilihan hari peringatan ini seperti penetapan hari Idul Fitri antara NU dan Muhammadiyah, tidak perlu dipertentangkan hingga kaku otot di jidat, bedanya ialah kehadiran pemerintah sebagai penengah. Andaikata pemerintah hadir dan tegas mengambil kebijakan penetapan Hari Puisi Indonesia, barangkali kita dapat terhindar dari perdebatan yang sia-sia ini. Dalam titik ekstrim, pemerintah hanya memandang sebelah mata terhadap persoalan ini, atau jangan-jangan memang tidak dipandang sama sekali?

Puisi secara khusus dan sastra secara luas mungkin dianggap tidak penting oleh mereka. Yang penting ialah ABRI, bisnis, dan pengkaderan muda-mudi milenial agar “bisnis” kreatif berjalan lancar. Ya, izinkan saya mengutip ucapan Mbah Pramoedya di akhir esai ini, “Kalian boleh maju dalam pelajaran,  mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.”

Selamat Jalan Chairil Anwar, Selamat Jalang si Binatang Jalang yang dikalahkan kehidupan!


Daftar Acuan
Anwar, C. (2021). Aku Ini Binatang Jalang. Jakarta: Gramedia.

Johari, H. (2021, Januari 29). Chairil Anwar, Si Binatang Jalang. Retrieved April 28, 2021, from Historia: https://historia.id/kultur/articles/chairil-anwar-sang-binatang-jalang-DOZmj/page/1

Kumparan. (2017, April 28). Chairil Anwar dan Dua Hari Puisi di Indonesia. Retrieved April 28, 2021, from Kumparan: https://kumparan.com/kumparannews/chairil-anwar-dan-dua-hari-puisi-di-indonesia/full

TEMPO. (2016). Chairil Anwar: Bagimu Negeri Menyediakan Api. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.