Mari Menjadi Pasifis yang Lebih Baik Lagi!

Redaksi Suara Mahasiswa · 23 April 2022
8 menit

Pada hari Senin (11/04), mahasiswa disertai berbagai kalangan rakyat lainnya menggelar aksi di kompleks DPR RI dengan berbagai tuntutan, khususnya terkait penolakan terhadap penundaan pemilu 2024. Tanpa perlu banyak membicarakan mengenai detail kronologis dan muatan dari aksi itu sendiri–yang bisa dibaca di banyak tulisan lain–kita semua mungkin sudah mendengar aftermath-nya. Aksi berakhir ricuh dengan penembakan gas air mata dari kepolisian–yang rasanya sudah menjadi makanan sehari-hari bagi massa aksi. Tak hanya itu, kita semua juga memperhatikan bagaimana Ade Armando, dosen FISIP UI diamuk massa aksi. Ade yang saat itu mendatangi lokasi untuk melakukan peliputan dan juga sempat diwawancarai media, mengalami provokasi dari massa aksi yang berujung pada dirinya dipukuli, ditendangi dan ditelanjangi sebelum akhirnya dibantu oleh polisi untuk dievakuasi ke dalam gedung DPR. Berdasarkan laporan kronologi yang dirilis oleh timnya, Ade mengalami luka serius di bagian wajah, kepala, dan sekujur badannya. Tim juga melaporkan adanya pendarahan dalam di bagian kepala. Menanggapi peristiwa ini, Universitas Indonesia keesokan harinya segera mengeluarkan tanggapan melalui akun instagram resminya (@univ_indonesia) yang berisi kecaman terhadap tindakan kekerasan tersebut.

Tentu kami sangat menyayangkan dan menolak tindak kekerasan yang terjadi terhadap Ade Armando. Tindak kekerasan terhadap sesama dalam bentuk apapun tidak dapat dibenarkan sama sekali. Di luar massa yang sudah cukup muak dengan retorika Ade Armando hingga sudah antipati terhadap tindakan kekerasan yang terjadi kepadanya, rasanya kita semua tidak mengamini tindak kekerasan yang brutal dan tidak manusiawi. Namun, dalam tulisan opini ini kami hendak mengajak pembaca untuk melihat lebih kritis mengenai wacana antikekerasan yang seringkali digunakan dalam menanggapi situasi-situasi serupa seperti ini.

Kami secara khusus ingin menanggapi cuitan yang beredar di Twitter hari ini dari akun salah satu sivitas UI, yaitu @angewwie. Kami mengutip langsung dari utas yang ia buat:

“Ya kalo cuma karena beda pandangan politik lu membenarkan pukul-pukulan, lu jangan protes kalo lagi demo terus digebukin aparat. HAM yang perlu dilindungi bukan punya lu doang.”

“Elu kaga setuju ama apa yang orang lain sampein? gapapa, ga harus setuju. Harus diem? Engga juga. Lu mau koar-koar kaya gimanapun, debat sepanjang apapun, silahkan. Lu punya hak untuk berpendapat kok. Hasrat yang agak kebinatangan buat menganiaya org bisa disimpen di kepala kok.”

““Kalo pemerkosa gimana kak? Kalo teroris gimana kak?”

1. Ga apple to apple bandingin kriminal dgn lawan politik.

2. Ada pidananya, kan? I get it kok banyak yg ga percaya dgn sistem peradilan yg ada, tapi main hakim sendiri bkn hal yg bisa dibenarkan juga.”

Sebelumnya sekali lagi kami perjelas, kami sepakat dan bersama dengan pernyataan akun tersebut bahwa kekerasan tidak dapat dibenarkan dalam bentuk apa pun. Demokrasi yang ideal adalah demokrasi yang menghindari segala bentuk kekerasan, menghargai hak asasi manusia dan membangun dirinya melalui dialog dan kemanusiaan. Kekerasan dan penganiayaan oleh Ade Armando tidak dapat dibenarkan dan tulisan ini tidak memiliki intensi untuk membenarkan atau mempromosikan tindak kekerasan terhadap siapa pun. Kendati demikian, seperti yang telah disebutkan, kami mengajak pembaca untuk memandang secara lebih dalam dan menyeluruh mengenai wacana antikekerasan populer sebagaimana yang tercermin dalam utas Twitter tersebut–yang kami pandang sebagai tanggapan dangkal liberal yang kurang peka terhadap variabel-variabel sistemik lainnya dalam situasi ini. Perlu diperjelas juga di sini bahwa kami tidak bermaksud untuk menyerang pribadi atau akun @angewwie secara khusus. Kami sekadar mengutip utasnya sebagai representasi dari wacana antikekerasan yang sedang populer di media sosial saat ini, yang merupakan sasaran sesungguhnya dari kritik kami.

Pertama, kami hendak mengkritik wacana antikekerasan sebagaimana yang tercermin pada utas akun @angewwie tersebut seringkali abai terhadap ketimpangan relasi kuasa dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya yang lebih sistemik. Ini tercermin dari bagaimana dalam cuitan pertamanya, ia membandingkan tindakan kekerasan terhadap Ade Armando dengan tindak kekerasan dari aparat. Ini tentu perbandingan yang sangat timpang–rasanya tidak perlu dijelaskan panjang lebar bagaimana kekerasan sistemik negara terhadap masyarakat sipil sangat berbeda dengan kekerasan horizontal yang disebabkan oleh amarah massa. Apabila akun tersebut bisa menyatakan bahwa membandingkan pelaku tindak pidana tidak apple to apple dengan lawan politik–dalam kasus ini, Ade Armando–seharusnya yang bersangkutan juga menyadari bahwa membandingkan tindak kekerasan kerumunan terhadap Ade Armando dengan kekerasan sistemik aparatus negara terhadap rakyat sipil jauh lebih tidak apple to apple.

Kedua, kami juga hendak mengajak pembaca untuk memandang situasi ini secara lebih jauh dan menyeluruh dari sekadar mosi antikekerasan semata. Tentu asas antikekerasan ini penting, tetapi kita harus menghindari ketimpangan narasi dalam penyebaran wacana tersebut, khususnya dalam kasus ini. Pasifisme tidak bisa dijalankan secara buta dan tanpa muatan. Di samping pentingnya menegaskan sikap antikekerasan dalam menanggapi kasus ini, penting juga untuk menegaskan kecaman terhadap Ade Armando yang selama ini menjalankan dan melanggengkan kekerasan terhadap sesama rakyat dengan menyebarkan retorika kebencian, dehumanisasi, dan polarisasi yang telah merusak bagaimana kita memahami sesama kita dalam masyarakat. Apabila kita membicarakan kekerasan terhadap Ade, kita juga harus membicarakan kekerasan retorikanya terhadap kehidupan jutaan masyarakat kita. Tindak kekerasan yang dialami oleh Ade Armando tidak bisa dipandang secara terisolir. Victor Jara misalnya, musisi Chile, disiksa hingga tewas oleh oleh rezim militer pada tahun 1973. Para pelakunya baru dapat diadili pada tahun 2018 dalam rezim peradilan yang sangat berbeda. Terhadap para pelaku kekerasan sejawat pembunuh Victor Jara, kita masih menemukan kebuntuan. Jajaran sistem peradilan kita masih didasari pengingkaran terhadap kekerasan negara terhadap impunitas. Kekerasan dalam konteks peradilan kita hanya bisa dilakukan mereka yang berseberangan dengan negara.

Lebih lanjut, akan membantu pula apabila kita memperhatikan bagaimana wacana antikekerasan yang dangkal ini diputarkan dan siapa yang menggaungkannya. Seperti yang telah kami sebutkan tadi, segera setelah peristiwa pengeroyokan Ade Armando, berbagai institusi seperti pihak Universitas beserta BEM UI mengeluarkan pernyataan sikap yang mengecam tindak kekerasan terhadapnya. Tentunya, “hanya” tindakan kekerasan terhadapnya. Pihak Universitas–untuk pertama kalinya sepenglihatan kami–dengan sangat cepat memberikan tanggapan resmi berupa postingan instagram. Pertanyaan kami, kapan lagi pihak Universitas memberikan tanggapan resmi seperti ini terkait kasus-kasus serius? Apakah pihak Universitas pernah memberikan tanggapan sejelas dan setegas ini ketika mahasiswanya mengalami kekerasan dan ditangkap sewenang-wenang oleh aparatus negara setiap aksi? Apakah pihak Universitas memberi tanggapan terkait berbagai kasus kekerasan-kekerasan lainnya yang dialami oleh sivitas saat mereka melawan pemerintah dan institusi-institusi borjuisnya?

Oleh karena itu, ketika kita melihat sikap antikekerasan dangkal seperti ini, yang seringkali dipopulerkan oleh institusi borjuis dan agen-agennya, kita perlu sadar bahwa terdapat berbagai kepentingan seperti kepentingan untuk melindungi status quo, kepentingan untuk membungkam perlawanan rakyat, dan kepentingan untuk merusak citra massa aksi sekaligus menegasikan tuntutan-tuntutan yang dibawa oleh mereka. Kita telah melihat sebelumnya, ketika peristiwa pembakaran halte pada aksi melawan UU Cipta Kerja pada Oktober 2020 digunakan untuk menjelekkan massa aksi dan tuntutan-tuntutannya. Pada akhirnya, kekerasan menjadi alat wacana untuk menjustifikasi kekerasan negara. Terhadap kekerasan negara yang berjalan sehari-hari, kita dipaksa untuk menjadi tumbal, layaknya tubuh-tubuh demonstran yang menuntut desegregasi menjadi tumbal bagi aparat negara yang rasis untuk memukuli mereka. Dengan semangat pasifisme semu, apa kita juga mau menjadikan pembunuhan demi pembunuhan, pemukulan demi pemukulan, perampasan demi perampasan, dan ketidakpedulian negara–(karena toh ocehan rakyat hanya dengungan yang bisa dipilih untuk tidak didengar, misalnya dengan big data privat milik pejabat negara) sebagai fetish baru untuk kita ‘kaum terpelajar’?)

Bagaimanapun juga, kekerasan sebagai bentuk politik adalah pembatasan terhadap potensi dan kemungkinan yang dimiliki oleh suatu subjek, entah ia manusia atau yang lain. Kekerasan juga berjalin dan merambat dan hadir dalam bentuk yang beragam, sebagai relasi yang kerap menyertai kuasa. Persoalannya, bagaimana kita bisa mengukur dan merunut genealogi kekerasan? Di mana kekerasan dimulai dan berakhir? Ketika warga menjerit dan buntu dengan situasi harian, di mana kita berdiri ? Sebagai mahasiswa atau sebagai kelas menengah yang merasa terancam dengan massa yang ternyata punya aspirasi yang lain dan cara berkomunikasi yang lain?; Kita tentu terbiasa menganggap seolah hanya diri kita yang berhak berbicara. Elit-elit mahasiswa jelas senang dengan ini karena itu artinya hanya mereka yang punya kemungkinan untuk mewarisi politik oligarki hari ini. Sebagai mahasiswa, hendaknya juga kita menyadari kekerasan yang dilakukan oleh elit-elit kampus dengan segala kompromi, negosiasi, dan kedamaian palsunya.

Terhadap kekerasan kepada demonstran di Bandung pada demonstrasi Hari Buruh tahun 2019 yang juga ditelanjangi, diarak, dan dipukuli; terhadap masyarakat sipil dan mahasiswa yang dibunuh senjata aparat, terhadap ruang hidup masyarakat dan bumi yang kerap menjadi tujuan eksploitasi penuh kekerasan, apakah kita juga sudah berujar dan bertindak dalam kebulatan yang sama? Kita juga melihat sifat dari kuasa dalam kasus-kasus itu. penolakan warga Wadas dengan segala bentuk demokrasi dan ujaran misalnya, tidak pernah berhasil menghentikan mesin-mesin kekerasan negara. terhadap polarisasi yang dilakukan oleh pendengung, kita masih terus berusaha. Akan tetapi, apa yang sering terjadi kini, sebagai mahasiswa, kita punya posisi yang menyerupai ini:

“Terhadap penggusuran dan perampasan hak ruang hidup, cukup saya sebagai mahasiswa menjadikannya cuplikan dalam tugas kuliah, untuk menopang karir saya ke depan. terhadap kekerasan yang diterima warga yang tanpa kuasa dan yang ada di bawah menara gading kampus ini, saya cukup menjadikan mereka batu loncatan dalam. saya cukup menjadi agen yang mengambil persenan dan bagian keuntungan dari kekerasan negara, kekerasan korporasi, kekerasan wacana, dan saya mengamini kekerasan struktural sebagai hal baik, dan mereka yang menjadi korban dari kekerasan ini adalah orang-orang malas, miskin, dan dungu; dan saya mengambil untung sebagai si berdiri di atas kesulitan orang lain ataupun sebagai penjual kisah. data yang saya miliki adalah bantal untuk saya tidur dengan nyenyak. Sebagai elit mahasiswa, para demonstran yang dipukuli, ditelanjangi, ditembak mati, adalah alat untuk saya mengambil kursi-kursi yang terhormat, kalian harus menjadi kacung saya dalam tarung wacana, atau kalian bukan bagian dari mereka yang mendapat keuntungan dari mereka yang mati dan babak belur”.

Bukankah demikian kita selama ini melihat kekerasan? Pertanyaannya bukan apakah kita menerima atau tidak menerima kekerasan. Kekerasan macam apa yang sebetulnya kita lawan? Apakah kita sudah bisa mengenali kekerasan apa saja yang berjalin di sekitar kita dan bertindak untuk membatasi kekerasan-kekerasan itu? Apakah kita telah menjatuhkan tangga pada mereka yang mengalami kekerasan harian tanpa punya banyak pilihan berarti? Apakah aktivisme kita dan kehidupan mahasiswa kita hanyalah sekedar kursi tinggi di mana kita bisa selalu mengandaikan bahwa selain mahasiswa hanyalah orang dungu. Pengalaman mereka tidak penting, hanya yang mengusik kenyamanan saya adalah kekerasan, sisanya adalah pengganggu kedamaian–yang dibangun dengan pembungkaman dan air mata orang-orang miskin dan bodoh.

Akan tetapi, kita juga hendaknya mengingat bahwa pemukulan dan kekerasan asimetris yang terjadi kemarin adalah benturan polarisasi yang mengarah pada tendensi teror-teror politik. Tidak ada yang bisa dihasilkan melalui lebih banyak kekerasan. Teror politik tidak pernah hal yang berujung baik. Yang lebih berharga dari apa yang bisa dihasilkan kekerasan adalah legitimasi yang hanya bisa didapat dengan dialog, kolegialitas, dan konvivialitas; hal-hal yang pada praktiknya tidak ada di sekitar kita. Bahkan, politik di kampus kita berbasis pada politik perpecahan dan pembungkaman lawan. Namun, alih-alih menghakimi elit kampus, kita bisa dengan mudah mencabut mandat para elit kampus dan menggeser gerakan mahasiswa yang selama ini eksklusif menjadi gerakan pemuda dan gerakan warga. Alih-alih menyalahkan warga dalam polaritas kadrun dan cebong, kita bisa mendengar kisah-kisah kekerasan yang selama ini dialami sebagai konsekuensi dari wacana dan kebijakan yang kerap digulirkan pendengung dan pemerintah. kita mungkin terlalu lama membahas wacana tanpa perlu merasakan konsekuensi dari wacana eksploitatif. Belum terlambat untuk kita mendengar dan belajar dari mereka yang sehari-hari selalu hidup di bawah bayang-bayang kekerasan. hanya dengan begitu mungkin kita bisa memahami apa yang pernah ditulis Frantz Fanon dalam merespon situasi penuh kekerasan dalam perlawanan melawan sisa-sisa kolonialisme: Violence is a cleansing force. It frees the native from his inferiority complex and from his despair and inaction; it makes him fearless and restores his self-respect. Namun, Fanon bukan menghendaki dehumanisasi seperti yang dialami Ade Armando melainkan menghendaki perlawanan terhadap mereka yang berperan menyokong aparatus kolonial, di mana semua yang hidup, bahkan tanpa pendidikan tinggi dapat berperan dengan cara dan kesadarannya masing-masing. Kita bisa memulai dengan melihat dengan setara dan mendengar, juga berkomunikasi dengan para warga yang selama ini didehumanisasikan oleh kuasa dan kekerasan negara di bawah kuasa oligarki, bukannya lebih jauh mengeksklusi pengalaman warga.

Konflik yang kerap meletus dalam rangkaian aksi adalah bagian dari runutan panjang kekerasan yang mendasari sistem pemerintahan dan ekonomi eksploitatif dan oligarkis kita. Maka kami mengajak pembaca untuk mempertanyakan ulang wacana antikekerasan yang senantiasa digaungkan oleh pemerintah dan institusi borjuis yang sok ‘beradab’: Kekerasan seperti apa? Kekerasan bagi siapa? Apakah kita benar-benar anti terhadap semua kekerasan, atau hanya kekerasan yang terlihat di mata, atau justru hanya kekerasan yang mengancam kepentingan suatu kelompok? Kita harus menyadari bahwa kekerasan bersifat relasional, dan sudah sepatutnya dimengerti demikian dalam wacana pasifisme. Di saat kita menyatakan sikap pasifis, kita juga harus berhati-hati untuk tidak jatuh pada pasifisme dangkal yang rentan digunakan oleh pemerintah dan institusi borjuis untuk membangun narasi demi melayani kepentingan mereka. Ini semua bukan berarti kita bisa membenarkan pemukulan Ade Armando dan perendahan terhadap martabatnya sebagai manusia. Mari kita mengecam kekerasan yang terjadi terhadap Ade Armando sekaligus juga mengecam kekerasan yang telah dilanggengkannya. Apabila orang-orang di menara gading itu menyatakan bahwa mereka antikekerasan, maka mari kita tuntut mereka untuk benar-benar anti dan turut serta menghentikan semua bentuk kekerasan!

Teks: Mikael Parahita
Editor: Dimas Rama S. W.
Foto: Istimewa

Pers Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, dan Berkualitas!