Sepanjang sejarah pergerakan mahasiswa Indonesia pasca-kemerdekaan, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) telah menjadi salah satu aktor besar yang tidak mungkin luput dalam diskursus. Sejak berdirinya pada tahun 1954, GMNI menjadi bagian dari faksi Nasionalis yang berkuasa sepanjang Orde Lama. Menjunjung tinggi cita-cita Marhaenisme dan pemikiran Bung Karno, organisasi mahasiswa ini didukung langsung oleh sang Proklamator dan otomatis menjadi underbow partai yang berkuasa, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI). Pasca-pemangkasan politik oleh Orde Baru yang membubarkan PNI dan menjadikannya Partai Demokrasi Indonesia (PDI) bersama partai-partai lainnya, GMNI berdiri sendiri. Di bawah tangan besi Suharto, GMNI terus bertahan teguh dan menjadi bagian dari massa mahasiswa yang akhirnya menumbangkan rezim.
Pasang Surut Dinamika GMNI
Hingga saat ini, GMNI merupakan organisasi politik yang cukup populer di kalangan gerakan mahasiswa. Signifikansi integritasnya secara politis sering kali dipertanyakan. Eksistensinya pun kerap kali dikaitkan dengan salah satu partai politik yang menyokong status quo. Sudah bukan rahasia juga, bahwa saat ini GMNI berada di tengah perpecahan kepemimpinan dan terdapat dualisme dalam tubuhnya hingga ke tingkat kampus dan daerah. Namun, hal tersebut sebenarnya bukan barang baru apabila kita menengok kembali pada sejarah perjalanannya Sejak transisi ke era reformasi, GMNI telah dilanda oleh berbagai drama perpecahan dan pertentangan internal yang kentara dari luar.
Perpecahan paling awal dapat ditelusuri ke masa awal reformasi, yakni pada tahun 2001, ketika GMNI mengadakan Kongres Luar Biasa (KLB) di Semarang. Dilansir dari kesaksian Ketua GMNI Komisariat Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya, Syah, KLB GMNI ini didasarkan pada adanya “perbedaan pandangan strategis dan taktis dalam bergerak.” Perpecahan dari KLB ini kemudian berakhir secara formal melalui Kongres Persatuan di Pangkal Pinang pada tahun 2005. Pasca-Kongres Persatuan, kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat didominasi oleh kelompok KLB Semarang dan kondisi internal dalam tubuh organisasi cukup stabil. Menurut Syah, kondisi yang datar ini kemudian menciptakan oligarki kepengurusan pada tingkat nasional. Lantas, cabang-cabang di tingkat daerah mulai berkonsolidasi menentang oligarki ini sepanjang 2015, hingga akhirnya memuncak dengan diadakannya Kongres Luar Biasa kedua di Medan pada tahun 2016. Kepengurusan KLB 2016 ini masih eksis dan bergerak hingga sekarang, memisahkan diri dari kepengurusan Kongres Persatuan 2006, kendati hingga 2018 belum pernah mengadakan kongres lanjutan.
Akan tetapi, dinamika ini belum selesai—pada Kongres GMNI XXI 2019, kembali terjadi perpecahan pada tubuh kepengurusan Kongres Persatuan 2006. Melansir detikNews, perpecahan ini terjadi akibat Ketua Umum GMNI periode 2017-2019, Robaytullah Kusuma, mendadak memindahkan tempat kongres yang sedang berlangsung di Christian Center ke Hotel Amaris, Ambon. Dari dua kongres yang berbeda tersebut pun muncul dua kepemimpinan GMNI: GMNI dengan Ketua Umum Imanuel Cahyadi, yang lahir dari kongres di Christian Center; dan GMNI dengan Ketua Umum Arjuna Putra yang lahir dari kongres di Hotel Amaris. Pada Juli 2020, GMNI Arjuna menjadi kubu yang dinyatakan sah melalui Surat Keputusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (SK Kemenkumham) Nomor AHU-0000510.AH.01.08 2020. Kubu Imanuel sendiri mengecam tindakan Kemenkumham ini karena menganggap bahwa kubu Arjuna tidak dipilih melalui mekanisme kongres yang sah sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga GMNI. Hingga saat ini, kedua kepemimpinan tersebut masih berjalan sendiri-sendiri, begitu pula dengan kepengurusan KLB Medan 2016.
Realita yang Jauh Lebih “Santai” di Lapangan
Di tingkat cabang daerah dan komisariat kampus, perpecahan juga turut mengikuti karena adanya keberagaman sikap dalam pengakuan terhadap kubu kepemimpinan yang sah. Lantas, apakah realita dualisme dalam tubuh organisasi berskala nasional ini menjadi suatu hambatan dalam pergerakannya? Sedikit hingga hampir tidak sama sekali. Menurut Galuh Radite, salah satu Kader GMNI Komisariat Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, justru hampir tidak ada hambatan dan ketegangan yang signifikan dalam lingkungan komisariat kampus. Bahkan, kisah drama ini sangat jarang dibahas atau dipermasalahkan. “Perpecahan ini kan sifatnya sudah masuk ranah politik ya, jadi sebisa mungkin DPK (Dewan Pimpinan Komisariat-red) agak dijauhkan dikit dari politik karena tugas utamanya adalah untuk mencari kader,” jelas Galuh.
Lebih lanjut, ia juga menceritakan bahwa perpecahan kubu yang ada tidak terlalu mengganggu aktivisme dan program-program kerja GMNI. “Kemarin sempat ada SKB (Sekolah Kader Bangsa-red) yang diadakan oleh DPP (Dewan Pimpinan Pusat-red) dari Kubu Imanuel. Padahal, Cabang Bandung kalau gak salah sebenarnya masuk ke Kubu Arjuna, sehingga otomatis diikuti pula oleh komisariat-komisariat kampus yang ada di Bandung (termasuk UPI-red). Tetapi, kami tetap mengikuti SKB yang diselenggarakan oleh Kubu Imanuel tersebut. Bahkan, salah satu kader dari Bandung saja ada yang menjadi pengurus DPP Imanuel,” tambahnya.
Galuh juga terang-terangan menyatakan bahwa ia secara pribadi tidak memusingkan perpecahan yang ada sekarang. “Selama itu masih GMNI, mau pecah menjadi berapa pun, selama ideologinya masih sama (Pancasila berasaskan Marhaenisme-red), itu gak masalah sih. Lagipula, tidak mudah untuk mengurus di tingkat nasional. Perpecahan sangat wajar selama yang pecah itu tidak mengubah ideologinya,” terang Galuh. Ia berpendapat, “Perpecahan ini hanya perihal perbedaan praksis dalam pergerakan. Selama tujuannya tetap sama, saya rasa ini bukan hambatan.”
Alumni Memandang Kondisi Hari Ini
Di sisi lain, bagi Tati Solihah, Alumni GMNI angkatan 1997-2000 dari Dewan Pimpinan Cabang Bandung yang hingga kini masih sering terlibat dan mengikuti kondisi pergerakan GMNI, perpecahan dalam kepemimpinan saat ini adalah perihal kepentingan politik masing-masing pihak. “Saya sih melihat perbedaan kepentingan,” tutur Tati. Serupa dengan sikap para kader di lapangan, Tati juga sangat santai dalam menyikapi perpecahan ini. “Selaku alumni, saya menyerahkan ini sepenuhnya kepada teman-teman di sana. Perpecahan itu sesuatu yang wajar ya, atau entah apakah ini kutukan juga, saya tidak tahu. Selama GMNI masih memiliki visi misi terhadap Marhaenisme, saya tidak terlalu repot mereka mau pecah menjadi berapa, silakan saja. Yang paling penting adalah mereka satu visi dan misi,” ujar Tati. Berkaca dari pengalamannya, Tati menceritakan bahwa di masanya perpecahan serupa juga pernah terjadi—kendati hanya di tingkat cabang, bukan nasional seperti saat ini. “Itu sudah sesuatu yang biasa, konflik seperti itu. Tetapi begitu mereka sudah menjadi alumni, hubungan itu kan cair lagi dan tidak menjadikan kami berbeda. Okelah, ketika di organisasi kita bisa berseberangan, tetapi ketika sudah sama-sama alumni GMNI kita bersama lagi dan ini menjadi sebuah evaluasi: apa perlu perpecahan itu terus dilanggengkan?”
Dengan demikian, Tati juga mengakui bahwa perpecahan kepemimpinan sebagaimana hari ini sesungguhnya tidak ideal bagi organisasi. “Seharusnya tidak, ya,” tegas Tati, “teman-teman di sana seharusnya bisa berkaca diri bahwa tidak bisa terus-terusan seperti itu kondisinya. Suatu hari nanti mereka harus melakukan rekonsiliasi,” tambahnya. Tati kembali menegaskan bahwa semua itu diserahkan kepada para kader, sedangkan alumni tidak berhak untuk ikut campur atau intervensi. Tati juga menambahkan bahwa kesadaran yang beliau maksud ini hanya dapat muncul melalui ideologi, “Pengajaran ideologi harus dibedah kembali, apabila itu (ideologi-red) sudah sama, maka tidak ada alasan untuk terpecah belah lagi.”
Harapan dan Tugas yang Menunggu Masa Depan GMNI: Mungkinkah Persatuan?
Dua tahun hampir berlalu sejak Kongres Nasional di Ambon yang menyebabkan dualisme dalam kepemimpinan nasional GMNI saat ini. Apabila merujuk pada tradisi, Kongres Nasional diadakan 3 tahun sekali—yang berarti Kongres selanjutnya seharusnya diadakan pada tahun 2022. Lantas, adakah harapan reunifikasi padanya?
Perihal harapan persatuan sendiri, Tati hanya bisa menjawab dengan ketidakpastian. “Mungkin. Bisa jadi iya bisa jadi tidak,” ujarnya, “tapi saya yakin, pasti ada keinginan untuk persatuan. Mereka harus melepas ego masing-masing, kalau memang tiga (kubu yang ada saat ini-red) sudah kebanyakan. Buat saya sebagai alumni sih, silakan saja mau berapa pun,” tambah Tati. Setali tiga uang, Galuh juga mengatakan hal yang serupa terkait harapan persatuan, di mana ia mengaku bersikap netral. “Apabila nanti bersatu lalu bener, ya oke, tetapi kalau nanti bersatu terus chaos, ya ngapain? Ya udah, kalau mau berjalan mandiri dua-duanya ya sok, kalau mau bersatu juga sok,” tukas Galuh.
Bagi Galuh sendiri, Ia menekankan pentingnya bagi organisasi untuk menyesuaikan diri dengan kondisi saat ini dan tidak terlalu terpaku pada model pergerakan di masa lalu. “Saya harap GMNI lebih berevolusi. Maksudnya, jangan terpaku pada bentuk-bentuk yang dulu seperti ’65 atau ’98. Beberapa kali saya melihat pergerakan saat ini masih terpaku pada cetakan yang dulu. Padahal zaman dan kondisi sudah berubah,” harapnya. Selain itu, Galuh juga menekankan pentingnya inovasi dan kreativitas bagi GMNI. “GMNI itu sebenarnya kurang kreatif, ya, dalam menarik orang. GMNI juga harus lebih banyak membaca, karena dilihat-lihat makin ke sini isi kader-kadernya kurang ya,” curhatnya.
Sementara itu, Tati melihat adanya suatu tugas dan tantangan besar yang menanti masa depan GMNI. Menurutnya, bangsa Indonesia saat ini membutuhkan sosok ideolog. “Yang bisa mengurus negara itu adalah ideolog. Bukan ilmuwan, bukan pengusaha—sementara sekarang ini kalau kita lihat, justru yang menguasai negara adalah pengusaha dan keuntungan hanya bagi pada sebagian pihak saja. Tetapi dengan ideolog, pertanyaannya balik lagi menjadi, sebenarnya kita ini sudah punya ideologi atau belum? Walaupun Pancasila digadang-gadang sebagai sebuah ideologi, apakah benar Pancasila sudah menjadi ideologi? Ini menjadi sebuah PR (pekerjaan rumah-red) besar loh, dan muncul pertanyaan siapa yang menjalankan Pancasila? Apakah rakyat, keluarga, masyarakat atau negara? Idealnya, yang melakukan adalah negara. Karena kalau negara sudah melakukan, maka rakyat otomatis akan melakukan—bukan rakyat yang diminta. Pertanyaannya, apakah negara kita sudah Pancasilais atau belum? Ini perlu dikaji, dan saya berharap teman-teman GMNI nanti mampu menjawab bagaimana Pancasila yang dikemukakan oleh Bung Karno,” jelas Tati, “selama ini Bung Karno hanya baru sampai pada tahapan apa dan mengapa harus Pancasila. Tetapi perihal bagaimana Pancasila dalam implementasi bernegara, itu belum terjawab sampai saat ini. Jadi kalau kita bilang bahwa kita sudah memiliki ideologi, itu masih ideologi kura-kura,” tutupnya.
Teks: Faiz Abimanyu
Foto: Detik
Editor: Ninda Maghfira
Pers Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, dan Berkualitas!