May Day 2021: Represifitas Aparat dalam Memisahkan Massa

Redaksi Suara Mahasiswa · 1 Mei 2021
3 menit

1 Mei 2021,  berbagai serikat buruh Indonesia menggelar aksi May Day dalam rangka memperingati Hari Buruh Sedunia di sekitar Istana Negara, Jakarta. Massa aksi terdiri dari para buruh yang tergabung ke dalam berbagai aliansi pekerja maupun pelajar. Mereka menyuarakan tuntutan yang di dalamnya berisi berbagai tuntutan untuk melindungi hak-hak buruh, dimana salah satu tuntutan utama adalah perihal pencabutan UU Cilaka (omnibus law) dan peraturan turunannya.

Aksi ini merupakan aksi gabungan massa buruh dari berbagai afiliasi. Salah satu aksi bertajuk Setahun Pandemi, Pemerintah Gagal Lindungi Kelas Buruh dan Rakyat digagas oleh Aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK). Beberapa massa yang tergabung ke dalam aliansi GEBRAK di antaranya, yaitu Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia (KRPI), Federasi Perjuangan Buruh JABODETABEK (FPBJ), hingga Forum Komunikasi Pekerja/Buruh (FKPB) Lampung.

Massa aksi mengadakan long march yang dimulai dari kantor perwakilan ILO (International Labour Organization) Jakarta hingga ke titik akhir di sekitar Istana Negara. Kemudian aksi dilanjut dengan orasi dan pembacaan tuntutan di titik kumpul kawasan Patung Kuda, Monumen Nasional. Pelaksanaan aksi  termasuk damai, selama tidak ada upaya untuk memprovokasi.

Jenny Sirait, pengacara publik LBH Jakarta, mewakili aliansi buruh mengatakan bahwa tuntutan utama aksi ini adalah pencabutan omnibus law. Menurutnya, hal ini merupakan tuntutan penting karena selama di masa pandemi ini undang-undang tersebut merupakan undang-undang yang  menindas kaum buruh. Jenny mengungkapkan, “Katakanlah misalnya soal PHK tanpa pesangon, hal ini semakin menindas buruh. Kita tau setidaknya ada 2,2 juta buruh yang di PHK di seluruh Indonesia. Bayangkan saja mereka di PHK tanpa pesangon dengan alasan kondisi pandemi COVID-19.”

Selain itu, Dimas Satrio, negosiator dari pihak aliansi GEBRAK juga turut menilai bahwa omnibus law sejatinya menyengsarakan seluruh lapisan masyarakat, terutama rakyat kecil. Ia berpendapat bahwa aksi hari ini sudah berjalan dengan baik dengan pemenuhan protokol kesehatan dari berbagai pihak, termasuk di antaranya buruh, petani, mahasiswa, dan pelajar.

"Tak hanya klaster ketenagakerjaan, 11 klaster lainnya pun kami harap tidak disahkan,” tambah Dimas. Lebih lanjut, pihak GEBRAK sangat berharap agar pemerintah tidak mengeluarkan aturan atau regulasi yang berimbas bagi kesejahteraan rakyat, regulasi yang justru menyengsarakan rakyat, serta perhatian secara menyeluruh terhadap kesejahteraan rakyat kecil.

Nasir, seorang petani dari Lampung Utara, yang juga bergabung dalam aksi demo buruh hari ini menyuarakan pendapat dan harapannya mengenai tuntutan yang telah diajukan sejak beberapa waktu lalu. “Tuntutan dari pihak petani sendiri ingin diakui oleh pemerintah setempat sebagai Warga Negara Indonesia,” ujar Nasir.

Memasuki pukul 15.30 WIB, kondisi sempat ricuh, sebab ada perbedaan pendapat mengenai hasil kesepakatan antara aparat dan koordinator buruh. Barisan buruh mempertanyakan komitmen para aparat untuk memberikan akses bagi para mahasiswa untuk menyatukan suaranya dengan barisan buruh.

Aksi pada awalnya berjalan dengan tertib dan lancar, tetapi para aparat mengingkari komitmen mereka dengan menahan seluruh mahasiswa yang turun aksi hari ini. Mahasiswa yang tergabung dalam satu barisan dengan buruh dicegat, lalu ditarik paksa oleh aparat. Kemudian, mahasiswa digiring untuk menaiki truk polisi menuju ke Polda Metro Jaya.

Motif penangkapan para mahasiswa tersebut tidak diketahui secara pasti. Meskipun saat ini telah didapatkan informasi mengenai pembebasan para mahasiswa, hal itu tidak membenarkan sikap para aparat yang menangkap paksa para mahasiswa, bahkan menggunakan kekerasan dalam proses penangkapan tersebut. Beberapa mahasiswa yang ditangkap pun diketahui menerima kekerasan yang dilakukan oleh aparat.

Sampai penutupan aksi pukul 17.00 WIB tadi, orasi dari perwakilan aliansi buruh pada intinya tetap menginginkan agar omnibus law tidak disahkan. Aksi yang bukan semata-mata untuk mencari simpati dari pemerintah ini diharapkan setidaknya dapat membuka mata seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah itu sendiri agar turun tangan untuk menyelesaikan permasalahan yang mengancam kesejahteraan rakyat kecil.

"Jangan pakai istilah alih-alih supaya adil bagi pengusaha, dan ingat karena pikirnya buruh dan pengusaha tidak ada pada posisi yang sejajar. Hal ini justru mengalihkan kondisi para buruh,  sehingga menjadi diskriminatif,” tutup Jenny.

Sementara itu, pada pukul 18.00 WIB, mahasiswa yang ditahan di Polda mulai dibebaskan satu per satu. Mahasiswa berada dalam advokasi beberapa lembaga advokasi publik, seperti LBH Jakarta dan YLBHI.