Media di Indonesia Itu Belum Ramah Perempuan

Redaksi Suara Mahasiswa · 5 Agustus 2021
4 menit

Citra perempuan dalam media saat ini masih ditampilkan dengan kurang baik. Sebagai contoh, penggunaan kata yang cenderung diskriminatif dalam pemberitaan kasus kekerasan seksual dan juga penggambaran melalui ilustrasi yang malah menonjolkan kesan perempuan sebagai objek seksualitas sering ditemukan di berbagai media di Indonesia. Hal ini patut dipertanyakan, apakah media di Indonesia sudah menjalankan tugasnya dengan memperhatikan keadilan terhadap gender dan etika jurnalistik yang benar?

Salah satu permasalahan yang hingga saat ini harus terus menjadi perhatian ialah mengenai eksploitasi terhadap perempuan di berbagai media. Melalui konferensi pers dalam rangka menyambut Hari Perempuan pada 2019 lalu, Naomi Jayalaksana, selaku Koordinator Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Aliansi Jurnalis Independen (AJI), menyatakan bahwa masih banyak pemberitaan yang cenderung mendiskriminasi korban. Dalam hal ini permasalahan yang ditemukan ialah gambaran korban terkait dengan salah satu contoh pemberitaan kasus pemerkosaan yang korbannya merupakan perempuan, digambarkan seperti memperlihatkan ketidakberdayaan korban dan juga dengan menjelaskan secara detail bentuk eksploitasi terhadap korban (Tirto.id, 2019).

Contohnya dalam pemberitaan kasus korban kekerasan seksual, walaupun penggunaan inisial dalam pemberitaan korban sudah dilakukan. Akan tetapi, beriringan dengan hal tersebut, masih terdapat beberapa media yang memberikan informasi detail mengenai keluarga, tempat tinggal, hingga sekolah atau tempat kerja korban. Hal ini tentunya melanggar Kode Etik Jurnalistik, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 terkait larangan untuk menyiarkan identitas korban kejahatan asusila. Identitas yang dimaksudkan dalam pasal ini merupakan segala data atau informasi berkaitan dengan korban yang dapat memudahkan orang lain untuk melacak korban.

Selain itu, penyajian informasi dalam kalimat yang tidak tepat dan gambaran perempuan di dalam ilustrasi yang menyertainya lagi-lagi merupakan permasalahan yang harus diperhatikan. Baik oleh pihak media atau pers sebagai penyedia informasi, maupun masyarakat dalam hal ini untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap media atau pers.

Pemberitaan kasus pemerkosaan yang melibatkan perempuan oleh salah satu media Indonesia misalnya melalui artikel berjudul “Fakta-Fakta Kasus Gadis 16 Tahun Meninggal Diperkosa 7 Pria Hingga Minum Pil Kuning Eksimer”. Dalam artikel tersebut, terdapat kalimat “...belakangan diketahui jika korban OR diduga bersedia digilir oleh ke-tujuh orang pemuda tersebut”. Tidak hanya itu, disebutkan juga bahwa kondisi korban pada saat itu dalam kondisi tidak sadar setelah sebelumnya diminumkan tiga butir pil eksimer secara paksa oleh pelaku. Informasi mengenai pil eksimer ialah merupakan salah satu obat antipsikotik yang biasanya digunakan untuk mengobati gangguan kejiwaan berat yang dapat memberikan efek samping tertidur bagi penggunanya (Kompas.com, 2020).

Dalam contoh pemberitaan kasus pemerkosaan tersebut, seharusnya, dan akan jauh lebih baik, terfokus pada perbuatan pelaku terhadap korban. Pelaku sengaja menghilangkan secara paksa kesadaran korban dan melakukan tindak pemerkosaan. Alih-alih menuliskan kalimat yang dapat menimbulkan asumsi di kalangan pembaca bahwa tindak kejahatan (salah satunya menyalahgunakan pil eksimer) tersebut dilakukan atas kesediaan korban secara sadar.

Perempuan juga tidak jarang digambarkan dengan ketidakberdayaan dan ketidakmampuan melalui gambar ilustrasi yang dipublikasikan. Contoh gambaran yang memperlihatkan seorang perempuan duduk terpojok murung di sudut ruangan, sedangkan pelaku digambarkan sebagai sosok yang lebih kuat dan memiliki kuasa atas korban. Ilustrasi ini secara tidak langsung memengaruhi perspektif pembaca mengenai posisi perempuan dalam budaya patriarki yang ditunjukkan dalam posisi yang lebih lemah.

Persoalan-persoalan tersebut sangat disayangkan dan kemudian sangat diharapkan menjadi evaluasi utama untuk setiap media dan pers yang ada di Indonesia. Jika menilik kembali Pasal 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, fungsi media atau pers sebagai medium edukasi, terlebih dalam basis masyarakat yang besar, seharusnya menyampaikan pemberitaan yang dapat meningkatkan perhatian masyarakat agar berfokus pada kasus atau konflik yang ditimbulkan, terlebih dalam kasus atau isu yang melibatkan perempuan. Pada akhirnya, perhatian tidak lagi terfokus pada identitas korban ataupun hal-hal lain yang tidak berkaitan dengan kasus.

Melalui Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada 2020 lalu, Ika Putri Dewi, Psikolog Yayasan PULIH, mengatakan pula bahwa permasalahan yang meliputi ketidakadilan gender, budaya patriarki, penyalahgunaan relasi kuasa, dan minimnya perspektif HAM dan gender merupakan akar permasalahan kekerasan terhadap perempuan hingga saat ini (Kemenpppa, 2020). Akar masalah tersebut yang seharusnya dan dapat dijadikan referensi oleh media-media di Indonesia untuk dibahas sekaligus juga menjalankan fungsi sebagai medium edukasi untuk masyarakat luas.

Permasalahan tersebut harus diperhatikan tidak hanya bagi para wartawan ataupun jurnalis yang ada, tetapi juga secara keseluruhan yang merupakan bagian dari media dan pers. Organ-organ ini mencakup editor, pimpinan redaksi, atau pimpinan perusahaan media yang terkait. Seperti yang disampaikan oleh AJI, diwakili oleh Naomi Jayalaksana kepada Tirto.id pada 2019 lalu, yang menilai hal tersebut harus sangat menjadi perhatian penting. Apabila tidak, maka produk dari jurnalistik yang seharusnya menjadi alat edukasi akan berubah menjadi alat kekerasan yang menciptakan ketidakadilan, khususnya dalam hal ini terhadap perempuan (Tirto.id, 2019).


Daftar Pustaka

Admin. (2012). “Etika Perlindungan Privasi dalam Peliputan Kejahatan Seksual”. Aliansi Jurnalis Independen. https://aji.or.id/read/alert-id/48/etika-perlindungan-privasi-dalam-peliputan-kejahat/ (diakses pada 6 Maret 2021).

Alaidrus, Fadiyah. (2019). “AJI Jakarta: Redaksi Belum Memihak Korban Pelecehan Seksual”. Tirto.id. https://tirto.id/aji-jakarta-redaksi-belum-memihak-korban-pelecehan-seksual-dilA (diakses pada 6 Maret 2021).

Alaidrus, Fadiyah. (2019). “Pemberitaan Soal Perempuan Masih Banyak Bermasalah”. Tirto.id.  https://tirto.id/pemberitaan-soal-perempuan-masih-banyak-bermasalah-dic7 (diakses pada 6 Maret 2021).

Dewan Pers. (2011). “Kode Etik Jurnalistik”. Dewan Pers. https://dewanpers.or.id/kebijakan/peraturan (diakses pada 6 Maret 2021).

Kemenpppa. (2020). “Peran Media Massa Dalam Pemberitaan Berperspektif Gender”. Kemenpppa. https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2979/peran-media-massa-dalam-pemberitaan-berperspektif-gender (diakses pada 6 Maret 2021).

Sari, Nursita. (2020). “Pil Eksimer, Obat Gangguan Jiwa Berat yang Disalahgunakan pada Kasus Pemerkosaan Anak di Tangerang”. Kompas.com. https://megapolitan.kompas.com/read/2020/06/15/17181831/pil-eksimer-obat-gangguan-jiwa-berat-yang-disalahgunakan-pada-kasus?page=all (diakses pada 6 Maret 2021).

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.

Teks: Fila Kamilah
Ilustrasi: Berliana Dewi R.
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!