Media di Tengah Pandemi: Edukasi hingga Patahkan Teori Konspirasi

Redaksi Suara Mahasiswa · 20 Januari 2021
6 menit

By Diki Mardiansyah

Peran media di tengah pandemi bukan sekadar memberitakan dan memberi informasi perihal pandemi Covid-19. Lebih dari itu, media berperan untuk mengedukasi masyarakat; kritik dan melakukan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah yang ngawur dalam penanganan pandemi; melawan hoaks perihal Covid-19; hingga mematahkan teori konspirasi Covid-19 yang sempat ramai dibahas di lini masa belakangan.

Bicara soal media, kita mafhum bahwa media tak jauh dari dunia jurnalistik, pers, dan wartawan. Peran media dilakukan di dunia jurnalistik oleh wartawan serta dapur redaksi. Peran media sebelum adanya pandemi menjadi suatu hal yang penting di Indonesia, terlebih untuk iklim demokrasi. Adanya pandemi membuat peran media menjadi tambah penting. Peran media yang sangat penting itu bolehlah kita “samakan” dengan pentingnya keberadaan dokter dan tenaga kesehatan di saat pandemi.

Argumen tersebut diperkuat oleh artikel dari Remotivi berjudul “Menimbang Peran Media dalam Menghadapi Epidemi”, artikel tertanggal 2 Maret 2020—yang pada saat itu pandemi Covid-19 belum separah sekarang—masih tetap relevan untuk kita ketahui bagaimana peran media di tengah pandemi dan menuju new normal ini. Artikel itu mencatat, “Media memiliki peran yang sangat penting dalam menyebarluaskan informasi kesehatan agar masyarakat memiliki informasi yang cukup untuk membuat keputusan-keputusan terkait kesehatan diri dan orang-orang di sekitarnya—peran yang sama pentingnya dengan peran dokter, perawat, bidan, dan tenaga kesehatan lainnya”.

Kita tidak memungkiri bahwa peran media sangat penting, terutama soal informasi kesehatan masyarakat sekaligus seputar Covid-19 di tengah pandemi seperti sekarang. Tanpa keterbukaan informasi yang disampaikan dan disebarluaskan oleh media—baik cetak, online, televisi, maupun radio—kesehatan masyarakat akan terancam karena kurangnya konsumsi informasi tentang bahaya Covid-19 yang bisa menjadi ancaman kehidupan umat manusia di abad XXI sekarang.

Media yang Mengedukasi dan Melawan Hoaks

Selain mengetahui bahaya Covid-19, media memiliki peran mengedukasi masyarakat. Sudah seharusnya media memberikan edukasi soal Covid-19, mulai dari pencegahan, pengobatan atau hal yang bisa dilakukan saat terinfeksi Covid-19, serta edukasi seputar protokol kesehatan saat keluar rumah dan berada di keramaian. Edukasi kepada masyarakat bukan perkara mudah, terlebih untuk lapisan masyarakat bawah. Media butuh keterampilan dan metode kreatif untuk mengedukasi masyarakat awam: menjelaskan dengan bahasa yang sederhana sekaligus mudah dipahami dan bila perlu dengan menghibur masyarakat yang mengalami kepanikan serta beban psikis lainnya di tengah pandemi.

Informasi soal Covid-19 banyak bertebaran bahkan bisa kita sebut “banjir informasi” di era sekarang. Banjir informasi dan berita soal Covid-19 menyebabkan tidak sedikit dari masyarakat kita dihadapkan dengan berita-berita hoaks. Dalam buku Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan gubahan Rusdi Mathari, disebutkan, “Hoaks sebetulnya lebih dari sekadar berita atau kabar bohong. Ia adalah informasi yang sengaja dibuat dengan maksud menipu atau mengelabui orang [banyak]. Tipuannya kadang disertai dengan referensi data dan fakta. Tujuannya bisa untuk mendapatkan keuntungan secara politis dan ekonomi, tapi bisa juga untuk sekadar humor dan olok-olok”.

Hoaks pun terjadi dan dialami oleh sebagian masyarakat. Salah satu berita hoaks di saat pandemi berjudul “Warga Diperbolehkan Mudik oleh Kemenhub” yang ditulis oleh situs Kokisehat.com. Berdasarkan cekfakta.tempo.co, berita tersebut menyesatkan. Pasalnya, dalam artikel tersebut tidak ditemukan informasi bahwa Kemenhub mengizinkan warga mudik di tengah pandemi Covid-19. Bayangkan saja, jika berita tersebut menyebar dan dapat mudah dipercayai oleh masyarakat, tentu akan menimbulkan masalah baru. Kepercayaan masyarakat terhadap mudik yang diizinkan oleh Kemenhub akan berpotensi membawa klaster penularan baru Covid-19 oleh pemudik dari kota ke kampung halamannya.

Peran media begitu penting sekaligus membahayakan bagi masyarakat. Dalam hal ini, Rusdi Mathari mengingatkan pelaku media perihal berita hoaks dalam bukunya kembali yang berjudul Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan. Cak Rusdi—sapaan akrabnya—mengingatkan, “Wartawan dan kebohongan adalah dua senyawa yang tidak boleh bersatu. Wartawan adalah profesi yang menuntut kejujuran dan keterusterangan dalam memperoleh dan mempublikasi berita, berbohong adalah perilaku untuk mengelabui atau menutup-nutupi suatu fakta”.

Banjir berita dan informasi di saat pandemi mengingatkan kita bahwa banyak informasi yang harus kita sikapi dengan hati-hati karena adanya berita bohong atau hoaks. Ingatan itu terdapat pada lirik lagu berjudul “Hijau” karya Efek Rumah Kaca, yang berbunyi:

Banjir informasi, banyak kontradiksi
Berhati-hati, awas jalan berduri
Argumennya asal, jauh dari handal
Tak masuk akal, kacau menjurus brutal

Soal media dan kebohongan/hoaks, kita diingatkan lagi oleh penulis kondang dan wartawan senior sekaligus pendiri Tempo—Goenawan Mohamad—yang menyatakan, “Jurnalistik adalah dunia yang mestinya tidak boleh ada kebohongan, prasangka, dan iktikad buruk”. Bagi saya, tugas media dan jurnalistik adalah tugas kenabian, menyampaikan informasi kepada khalayak. Akan menjadi tak masuk akal jika media justru memberikan informasi hoaks dan sesat kepada masyarakat, apalagi di saat kondisi pandemi begini.

Media yang Kritis

Adanya pandemi Covid-19 membuat hampir seluruh warga dunia kewalahan, tak terkecuali Indonesia. Sikap dan kesembronoan pemerintah Indonesia dalam menanggapi adanya Covid-19 di Indonesia dari awal hingga kini menjadi catatan sejarah yang buruk bagi Indonesia dalam penanganan pandemi. Kesembronoan mulai dari pejabat pemerintahan hingga kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkait penanganan Covid-19, yang membuat publik dan bahkan media mengkritik hal ini.

Media berperan membuka opini dari berbagai lintas ahli keilmuan untuk mengkritik pemerintah dalam penanganan pandemi. Media, baik cetak maupun online, dapat membuka jalan bagi akademisi dan ahli dalam menuangkan gagasannya. Media penting perannya dalam menanggapi penanganan Covid-19 yang dilakukan oleh pemerintah. Misalnya saja, Najwa Shihab yang mewawancarai kursi kosong karena Menteri Kesehatan Terawan yang tak kunjung mau dijadikan sebagai narasumber di acara talk show Najwa. Hal yang dilakukan Najwa Shihab menjadi catatan sejarah baru bagi jurnalisme televisi di Indonesia. Media dalam hal ini jelas memberikan ruang bagi publik dan “media itu sendiri” untuk melakukan pengawasan dan kritik terhadap penanganan Covid-19 yang tak kunjung membaik.

Mengapa kritik dan hal yang dilakukan oleh Najwa Shihab menjadi catatan baru bagi jurnalisme di Indonesia? Sebab jurnalis di media Indonesia secara umum tidak memiliki banyak keberanian dalam memperjuangkan hak-haknya sendiri. Jurnalis berada dalam posisi yang rentan dari kesewenang-wenangan perusahaan. Posisi yang ironis karena jurnalis—melalui berita-beritanya—kerap dianggap sebagai salah satu pembela hak asasi yang paling tangguh di alam demokrasi.

Media yang Humanis dan Berkemanusiaan

Dalam penyampaian informasi oleh berbagai macam media, banyak yang tak memiliki visi kemanusiaan dan humanis dalam bermedia, terlebih berita-berita seputar pahlawan garda terdepan penanganan Covid-19. Media seyogyanya memiliki “visi” dalam setiap pemberitaannya. Dalam hal ini, media yang memiliki visi, terlebih soal humanisme, adalah Harian Kompas. Menurut saya, media-media lain bisa mengikuti visi media Harian Kompas dalam pemberitaannya yang humanis dan bisa mencerahkan pembaca atau penerima informasi.

Dalam buku berjudul Belajar Jurnalistik dari Humanisme Harian Kompas, Sindhunata menyatakan, “Wartawan seharusnya bekerja berdasarkan visi surat kabarnya. Tanpa visi itu, ia akan terjerumus ke dalam kedangkalan dan kehilangan arah”. Oleh karena itu, Harian Kompas selalu berusaha untuk menyajikan nilai-nilai humanis kepada pembacanya, menyampaikan informasi sekaligus pencerahan kepada pembacanya. Di sini, Kompas dipanggil untuk menjalankan tugas humanisme sebab pencerahan adalah salah satu tujuan pokok yang ingin dicapai oleh humanisme.

Humanisme lebih dari sekadar berita tentang manusia dan kemanusiaan, yaitu dengan memuat perjuangan sosial. Seorang wartawan akan bisa menulis berita dengan lebih baik, dalam, tajam dan mengena, berpihak pada visi, dan menghayati tugas jurnalistiknya dengan visi tersebut.

Pandemi merupakan persoalan kesehatan, kemanusiaan, hingga sosial. Media selayaknya bisa menyesuaikan dan berperan dalam pemberitaannya yang humanis dan berkemanusiaan. Dengan hal itu, pembaca akan tercerahkan dan empati terhadap kondisi pandemi saat ini.

Media yang Mematahkan Teori Konspirasi

Saat media—sudah atau sedang dalam proses—menuju media yang humanis dan berkemanusiaan di tengah pandemi, publik dan pelaku media dibikin gaduh oleh segelintir orang-orang yang percaya bahwa Covid-19 itu hanya konspirasi semata. Di tengah pandemi ini, publik tidak hanya disuguhi wabah Covid-19, tetapi juga wabah lain, yaitu wabah teori konspirasi. Teori konspirasi bertebaran dan ramai dibicarakan di lini masa jagat media sosial seperti Facebook, Instagram, hingga Twitter.

Douglas, dkk. (2019) mengartikan teori konspirasi sebagai upaya untuk menjelaskan penyebab kejadian sosial dan/atau politik sebagai plot rahasia oleh dua atau lebih aktor. Menurutnya, teori konspirasi bukan sekadar obrolan ringan semata; ia bisa potensial berkaitan dengan gerakan ekstrimisme, politik, radikal hingga terorisme.

Adanya teori konspirasi yang disebarkan oleh penganut atau yang mempercayainya akan membuat masyarakat abai terhadap bahaya Covid-19 dan tidak mengindahkan protokol kesehatan. Hal ini tentu tidak hanya berbahaya bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi sekelilingnya.

Minimnya literasi media menjadi salah satu penyebab seseorang terjerumus dalam teori konspirasi Covid-19. Media memang memiliki masalah berikut dengan refleksi dan kritik terhadap media, tetapi tidak berarti kita bisa dengan mudah percaya teori konspirasi.

Media berperan memberikan pemahaman lebih terhadap masyarakat untuk tidak percaya teori konspirasi lewat berbagai media yang kredibel dan valid, seperti Tempo, Tirto, Kompas, dan media-media lain. Di tengah pandemi saat ini, kemampuan untuk memilah opini dan fakta, berita valid dan teori konspirasi, informasi dan disinformasi, dapat berarti menyelamatkan nyawa diri sendiri dan orang lain.

Pandemi membuat peran media menjadi tambah penting, sesuai ungkapan Najwa Shihab yang berbunyi, “Media yang kuat butuh rakyat terlibat, mengelola kebebasan dengan bertanggung jawab”. Peran penting media butuh keterlibatan masyarakatnya: yang bisa diedukasi, melek dan kritis terhadap kebijakan pemerintah yang ngawur, sikap hati-hati terhadap hoaks, serta sikap tidak peduli terhadap penganut teori konspirasi.

Catatan: Tulisan ini adalah hasil pemenang juara 1 Lomba Menulis Opini Klinik Jurnalistik 2020 dan belum tentu mencerminkan sikap Pers Suara Mahasiswa UI 2021.

Penulis: Diki Mardiansyah (Universitas Negeri Semarang)
Ilustrasi: Emir Faritzy
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!

Referensi:
Herlinda, O. (2020). Menimbang Peran Media dalam Menghadapi Epidemi. Remotivi. https://www.remotivi.or.id/amatan/575/menimbang-peran-media-dalam-menghadapi-epidemi (diakses 1 Oktober 2020)
Heychael, M. (2020). Jerinx dan Penganut Teori Konspirasi Gagal Paham Soal Media. Remotivi. https://www.remotivi.or.id/amatan/593/jerinx-dan-penganut-teori-konspirasi-gagal-paham-soal-media (diakses 1 Oktober 2020)
Leonard, C. (2020). Kenapa di Era Internet Masih Ada yang Percaya Teori Konspirasi?. Remotivi. https://www.remotivi.or.id/mediapedia/597/kenapa-di-era-internet-masih-ada-yang-percaya-teori-konspirasi (diakses 1 Oktober 2020)
Mathari, Rusdi. (2018). Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan. Sleman: Mojok.
Sindhunata. (2019). Belajar Jurnalistik dari Humanisme Harian Kompas. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.