Media Massa dan Infodemi selama Masa Pandemi: Ajang Pembenahan Media atau Menggiring kepada Post-Truth?

Redaksi Suara Mahasiswa · 11 Januari 2021
4 menit

By Mickhael Rajagukguk

Mengawali tahun 2020, dunia seolah diperhadapkan dengan rintangan yang begitu mengejutkan sekaligus memberikan dampak yang begitu berat bagi masyarakat luas. Negara-negara di seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia, sedang berjuang menghadapi pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Masyarakat terpaksa harus beradaptasi dengan situasi yang memengaruhi pola kehidupan, baik dari segi kesehatan, sosial, ekonomi, dan masih banyak lagi.

Penetapan status pandemi ini menghendaki mayoritas masyarakat di Indonesia untuk bekerja dan beraktivitas di rumah saja, sesuai dengan instruksi dari Presiden Joko Widodo pada 15 Maret 2020 silam. Akhirnya, masyarakat hanya bergantung pada media massa sebagai "produk konsumsi" terhadap informasi di masa pandemi yang masih menyimpan risiko. Hal tersebut disebabkan oleh begitu banyaknya informasi yang bertebaran sehingga memunculkan satu istilah baru, yakni infodemi.

Infodemi merupakan satu fenomena di mana arus informasi seputar pandemi/epidemi yang begitu deras, baik yang akurat ataupun tidak, membuat orang kesulitan menemukan sumber-sumber terpercaya ketika dibutuhkan. Gejala infodemi ini bergulir bersamaan dengan penetapan pandemi Covid-19 sejak awal tahun dan menyebar ke seluruh dunia dalam bentuk kepalsuan yang didesain dan diproduksi secara sengaja untuk disamarkan sebagai kebenaran. Infodemi dipandang dapat membawa dampak yang sangat berbahaya dan berpotensi memicu kekerasan serta memecah belah komunitas. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyejajarkan bahaya infodemi sama dengan pandemi. Hal tersebut disebabkan oleh kesalahan dan ketidakakuratan informasi yang akan berpengaruh besar pada kesehatan dan pengambilan keputusan masyarakat dalam menghadapi pandemi Covid-19.

Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat per 5 Agustus 2020 ada sebanyak 1.016 temuan informasi yang menyesatkan dan hoaks mengenai Covid-19. Tidak hanya itu, survei yang dilakukan oleh Klinik Misinformasi terhadap 5000 partisipan menemukan bahwa 90% responden telah terpapar infodemi. Hal tersebut tidak terlepas dari kemampuan literasi digital Indonesia yang masih sangat tertinggal jauh dari negara-negara lain. Survei yang dilakukan oleh IMD World Digital Competitiveness pada 2019 menempatkan Indonesia pada peringkat 56 dari 63 negara; tertinggal jauh dari Thailand yang berada di peringkat 40, Malaysia di peringkat 26, dan Singapura di peringkat 2.

Pesatnya penyebaran infodemi, baik berita hoaks maupun misinformasi, ditambah lagi masih minimnya literasi digital masyarakat Indonesia tentu akan memperburuk keadaan. Hal ini memicu timbulnya kesalahpahaman oleh masyarakat dalam menerjemahkan informasi terkait penanganan dan usaha yang harus dilakukan untuk mencegah penyebaran Covid-19. Kekeliruan yang ditampilkan dalam informasi tersebut juga berpotensi menimbulkan keresahan bagi masyarakat yang berujung pada ketidakpercayaan terhadap informasi seputar pandemi Covid-19, termasuk informasi yang kredibel dan akurat sekalipun. Kondisi ini sangat berpotensi mendorong Indonesia semakin dekat pada era post-truth, di mana masyarakat tidak peduli sama sekali dengan informasi yang beredar.

Stephan Lewandowsky mencatat bahwa post-truth muncul karena banyak faktor yang disebabkan oleh menurunnya kepercayaan terhadap ilmu pengetahuan, ketimpangan sosial dan ekonomi, serta menurunnya modal sosial. Selain itu, Ignas Kapolkas menambahkan faktor lainnya adalah karena ketiadaan institusi yang memonopoli kebenaran, sehingga menimbulkan efek kabur terhadap batas-batas antara kebohongan dan cerita kebenaran. Ketika masyarakat banyak memberikan perhatian lebih terhadap hoaks yang tersebar luas, agar dapat membedakan mana berita yang benar dan bohong, merupakan suatu pertanda besar yang memungkinkan kita masuk kepada era post-truth.

Hal ini tentu menjadi salah satu bukti bahwa media massa (baik siar, cetak, atau daring) masih belum memberikan kontribusi yang begitu maksimal. Kita ketahui bersama bahwa media sosial malah menjadi salah satu medium penyebaran infodemi dan “berhasil” mengalahkan pamor media massa pada masa pandemi ini. Akibatnya, media massa terlihat tidak mengambil peran dalam menjalankan fungsi informasi, pendidikan, mobilisasi, dan fungsi-fungsi lain yang dimilikinya.

Media massa pada saat ini hanya menampilkan produk jurnalistik yang berlawanan dengan fungsi dan perannya. Para jurnalis ataupun media massa kerap melakukan pelanggaran kode etik, di antaranya masih sangat minimnya verifikasi kebenaran, banyaknya berita yang memihak, dan lain sebagainya. Beberapa realitas media massa menunjukkan penurunan fungsi media massa bagi masyarakat. Walau di masa pandemi sekalipun, mereka masih banyak menampilkan berita yang sensasional, ketimbang klarifikasi terkait berita bohong atau infodemi yang terus merebak kepada masyarakat. Kasus tersebut dapat kita lihat dengan pencantuman judul yang terlihat begitu heboh dan terkesan “wow”, namun isi dalam berita yang dipublikasikan tersebut tidak sesuai dengan judul yang ditampilkan. Selain itu, kecenderungan media massa pada saat ini yang terkesan mengincar pundi-pundi rupiah dapat kita lihat dengan banyaknya clickbait pada suatu laman berita, yang sebenarnya tidak etis untuk ditampilkan dalam sebuah produk jurnalistik yang berkualitas. Tidak berhenti di situ saja, ekonomi politik media serta hegemoni di dalamnya juga menjadikan informasi yang diberikan oleh media massa terkesan tidak independen dengan kepentingan-kepentingan pemilik media.

Kenyataan ini tentu menjadi satu cambukan keras bagi media massa. Ketika media massa mengabaikan peran dan fungsinya, terkhusus di saat kebenaran informasi berada pada level krisis selama pandemi ini, tentu akan memberikan dampak buruk ke depannya. Jika tidak segera berbenah, semakin hari akan semakin banyak infodemi yang bertebaran dan memicu masyarakat masuk pada fase post-truth. Apabila hal tersebut terjadi, tentunya akan berdampak buruk terhadap daya kritis dan kepercayaan masyarakat kepada media massa. Media massa secara perlahan namun pasti, akan tersingkirkan keberadaannya dan perlu waktu yang begitu panjang untuk bisa memperbaiki pandangan masyarakat terhadap media massa.

Menggaungkan upaya peningkatan literasi digital terhadap masyarakat saja tidaklah cukup. Sangat diperlukan bukti konkret berupa sinergisitas dan sikronisasi antarlembaga media massa dalam meningkatkan mutu literasi digital masyarakat terhadap infodemi. Sebagaimana yang diatur dalam pasal 1 Kode Etik Jurnalistik, para jurnalis ataupun media massa harus bersikap independen, memberikan berita yang akurat dan berimbang, serta tidak beriktikad buruk. Media massa harus bisa membenahi sistem pemberitaan dengan tetap melakukan check and recheck informasi yang hendak diberikan. Langkah kecil tersebut menunjukkan bahwa media massa tidak memberikan informasi yang masih bersifat praduga kepada masyarakat dan tentunya meminimalisasi potensi konflik terhadap masyarakat. Selain itu, independensi media juga harus ditegakkan dengan baik, tanpa adanya keberpihakan terhadap golongan tertentu. Sikap ini tentunya akan semakin meningkatkan perhatian dan kepercayaan masyarakat terhadap media massa, khususnya selama masa pandemi saat ini. Hal lain yang juga wajib dilakukan oleh media massa adalah memberitakan informasi yang berimbang, sehingga berdampak pada daya kritis masyarakat terhadap suatu peristiwa dengan mempertimbangkan berbagai sudut pandang.

Upaya tersebut tidak akan dapat berjalan secara maksimal apabila media massa masih berpijak pada sikap egosentris dan aspek material semata. Media massa harus berani mengambil langkah dan bergerak maju dari belenggu kekuasaan yang memangkas independensi media massa saat ini. Masa pandemi dapat menjadi pilihan bagi media massa untuk menentukan arah tujuannya, apakah memperbaiki kinerja pemberitaan dalam meminimalisasi infodemi dan meningkatkan kesadaran masyarakat, atau mungkin memperkeruh suasana dengan berita sensasional yang menjadi bagian dari infodemi dan menggiring masyarakat untuk masuk ke era post-truth? Pilihan ada di tangan para jurnalis, media massa, atau pemilik media massa.

Catatan: Tulisan ini adalah hasil pemenang juara 2 Lomba Menulis Opini Klinik Jurnalistik 2020 dan belum tentu mencerminkan sikap Pers Suara Mahasiswa UI 2021.

Penulis: Mickhael Rajagukguk (Universitas Sumatera Utara)
Ilustrasi: Istimewa
Editor: Ruth Margaretha M

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas dan Berkualitas!