Menyikapi berbagai penindasan terhadap rakyat yang kerap terjadi meskipun reformasi sudah digaungkan sejak 27 tahun lalu, Departemen Kajian dan Aksi Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (BEM FH UI) menggelar Diskusi Publik Mei Berkabung pada Senin (19/05).
Dengan mengusung tema “27 Tahun Reformasi: Apakah Orde Baru Terlahir Kembali?”, diskusi ini menghadirkan empat narasumber, yaitu Wakil Koordinator Bidang Eksternal KontraS, Andrie Yunus; Guru Besar Bidang Hukum dan Kesejahteraan Sosial FH UI, Heru Susetyo; Pengajar STHI Jentera, Bivitri Susanti; serta Ketua BEM FH UI, Muhammad Farhan Fawwaz Farhan Farabi. Namun, Wakil Menteri Hak Asasi Manusia, Mugiyanto, yang dijadwalkan menjadi salah satu narasumber lain dalam diskusi ini mengabari secara mendadak bahwa ia tidak dapat hadir karena perjalanan dinas.
Dalam diskusi, Andrie menceritakan peristiwa menjelang runtuhnya Orde Baru. Saat itu, mahasiswa yang sedang membawa tuntutan mendapatkan tindakan represif oleh aparat kepolisian. Kerusuhan terjadi di berbagai daerah Indonesia. Di Yogyakarta, Moses Gatutkaca, salah satu demonstran dari Universitas Sanata Dharma tewas saat menyuarakan stabilitas ekonomi dan menuntut turunnya Soeharto dari kursi kekuasaan.
Andrie juga mengangkat kembali Peristiwa Trisakti yang menyebabkan tewasnya empat mahasiswa dengan dua mahasiswa tewas di tempat, praktik genosida terhadap simpatisan PKI, represi terhadap ruang akademik, Peristiwa Malari, Peristiwa Tanjung Priok, hingga pembredelan media massa.
Rentetan peristiwa ini tidak berdiri sendiri, tetapi sangat berhubungan dengan Peristiwa 1998 yang kemudian terjadi. Sampai saat ini, situasi masih tetap sama dan pembungkaman terus terjadi. “Terkait situasi hari ini, apakah kebebasan berekspresi, berpendapat, dan lainnya, sudah merdeka? Belum,” pungkasnya.
Di sisi lain, Fawwaz menjelaskan peran masyarakat dalam melaksanakan demokrasi. “Perubahan tidak pernah datang tanpa darah,” ujarnya. Rakyat menjadi saksi munculnya berbagai ancaman. Ia mengungkapkan bahwa ruangan BEM FH UI sempat mendapatkan surat kaleng oleh orang yang tidak dikenal dengan isi surat tidak jelas, begitu pun Konsolidasi Nasional terkait RUU TNI yang didatangi oleh militer saat itu.
Fawwaz menyebutkan agar rakyat sipil turut bersuara dan berpartisipasi melalui turun ke jalan, berdialog, terdidik, dan terorganisir sebagai bentuk perlawanan. “Kami percaya bahwa reformasi tidak akan pernah selesai. Dia [reformasi] hidup ketika kita hidup, mati ketika kita mati,” tuturnya.
Heru menyatakan bahwa yang terpenting dari reformasi adalah apakah keenam amanatnya sudah berjalan atau tidak. Selain itu, memori akan peristiwa masa lalu juga tidak kalah penting. Ia menyebutkan ada dua hambatan dari masyarakat Indonesia itu sendiri, yaitu sumbu pendek dan memori pendek.
Ketika sudah mendapat kekuasaan, orang-orang cenderung melupakan peristiwa di masa lalu yang menyakitkan. Padahal, sudah sepatutnya orang-orang tidak serta-merta melupakan korban yang belum mendapatkan keadilan. Oleh karena itu, salah satu solusi untuk menghadapi hambatan dalam pelaksanaan amanat reformasi adalah dengan menolak lupa.
“Gerakan-gerakan merawat ingatan, menolak lupa seperti halnya Cak Munir. Ia [Munir] berani untuk merawat ingatan, berani bicara vokal ketika semua orang diam.” tuturnya.
Memulai pemaparannya, Bivitri memantik diskusi dengan sebuah pertanyaan utama: apakah orde baru terlahir kembali atau justru tidak pernah runtuh? Untuk menjawabnya, ia merujuk pada enam tuntutan yang digaungkan saat Reformasi 1998 sebagai tolak ukur.
Pertama, mengenai desentralisasi. Prinsip ini sempat terwujud melalui Pasal 18 UUD 1945 dan Undang-Undang Otonomi Daerah. Namun, seiring munculnya ketakutan akan perpecahan negara, desentralisasi kembali mengalami kemunduran. Titik baliknya adalah pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang menarik kembali banyak kewenangan daerah ke pusat.
Kedua, dalam upaya menghapus praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Meski terus mendapat dukungan dari masyarakat, KPK kerap diserang dan akhirnya dilemahkan melalui revisi Undang-Undang KPK pada tahun 2019.
Ketiga adalah soal supremasi hukum. Namun, sebelum membicarakan supremasi tersebut, Bivitri menekankan pentingnya menelaah isi hukum yang berlaku. Sebab, hukum yang tidak adil justru bisa menjadi alat penindasan terhadap rakyat.
Keempat, menyangkut penghapusan dwifungsi ABRI. Ia menyoroti RUU TNI yang berpotensi menambah tugas militer. Menurutnya, hal ini harus dianalisis secara mendalam karena hukum tidak bisa hanya dibaca secara tekstual, tetapi juga harus dikaji secara kontekstual.
Kelima, terkait pengadilan terhadap Soeharto dan para kroninya, hingga kini belum ada pertanggungjawaban hukum yang tuntas. Bahkan, wacana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto sempat mencuat.
Keenam, menyangkut amendemen UUD 1945. Bivitri mengingatkan bahwa UUD yang disusun pada awal kemerdekaan sejatinya merupakan sebuah draf yang segera disahkan karena kebutuhan akan konstitusi negara. Oleh karena itu, banyak celah dalam naskah tersebut, salah satunya adalah ketiadaan batasan masa jabatan presiden. Ia menyatakan kekhawatirannya jika UUD versi awal tersebut kembali diberlakukan tanpa amendemen.
Lalu, bagaimana sebaiknya kita merespons semua ini? Bivitri menekankan pentingnya berpikir kritis. Salah satu caranya adalah dengan memperbanyak ruang diskusi, apalagi kini banyak media yang dapat dimanfaatkan. Selain itu, membangun jaringan atau networking juga tak kalah penting untuk memperkuat gerakan perlawanan terhadap berbagai bentuk kemunduran demokrasi.
Diskusi diakhiri dengan sesi tanya jawab. Dalam penutupnya, Fawwaz menyampaikan, “Jangan jadikan diskusi sekadar alat atau forum beretorika. Jadikan diskusi sebagai sesuatu yang dirawat, ditindaklanjuti, dan direplikasi menjadi fondasi bagi gerakan aksi nyata.”
Teks: Alya Putri Granita, Mona Natalia Christina
Editor: Dela Srilestari
Foto: Mona Natalia Christina
Desain: Kania Puri A. Hermawan
Pers Suara Mahasiswa UI 2025
Independen, Lugas, dan Berkualitas!