Melepas Belenggu Norma dan Identitas di Media Sosial

Redaksi Suara Mahasiswa · 27 Maret 2021
5 menit

Banyak yang berkata bahwa mereka yang terlalu banyak menghabiskan waktu berselancar di media sosial merupakan orang-orang gabut; yang tidak memiliki pekerjaan dan/atau teman untuk nongkrong, ataupun sukar untuk hidup mengikuti aturan-aturan di dunia nyata. Ya, dengan kata lain, tidak ada aktivitas di dunia nyata yang dapat menyibukkannya. Akibatnya, mereka lari ke media sosial untuk menghabiskan waktu berjam-jam dan meluapkan apa pun yang tidak bisa diluapkan di dunia nyata.

Pelarian tersebut tertuju pada media sosial seperti Twitter, Facebook, Instagram, YouTube, dan lain sebagainya. Aktivitas nya pun sekadar untuk mengunggah sesuatu yang tidak bermutu, me-refresh timeline dengan tak kenal waktu, hingga membuat dan membalas komentar-komentar dengan tak kenal jemu. Sungguh, semua hal tersebut tentu tidak akan bisa dilakukan secara intens jika mereka memiliki kegiatan yang dilakukan di dunia nyata.

Terlebih lagi, aktivitas mereka di media sosial merupakan sesuatu yang mungkin tidak bisa dilakukan di dunia nyata karena terdapat batasan-batasan norma tertentu. Salah satu contoh yang paling mudah untuk menggambarkan aktivitas tersebut adalah mengomentari suatu hal dengan makian, cacian, hingga nyinyiran. Bayangkan, jika aktivitas di media sosial itu dilakukan di dunia nyata, berapa banyak pukulan yang harus siap didapatkan?

Mungkin saja pendapat saya tersebut terlampau pesimistis dalam melihat fenomena beraktivitas di media sosial. Hal ini disebabkan oleh adanya ratusan alasan yang melatarbelakangi segala aktivitas media sosial yang lebih positif dan bermanfaat, seperti halnya pebisnis, artis atau pemengaruh (influencer), hingga hal-hal yang sifatnya edukatif. Bukan rahasia lagi ketika seseorang bisa mendapatkan keuntungan materiel ataupun popularitas hanya dengan media sosial.

Akan tetapi, seberapa signifikankah sisi positif tersebut jika dibandingkan dengan berbagai aktivitas negatif dalam bermedia sosial? Survei yang dilakukan oleh Microsoft dapat menjawab pertanyaan tersebut, yang menyatakan bahwa warganet Indonesia merupakan negara dengan pengguna media sosial paling tidak sopan se-Asia Pasifik. Data tersebut diungkapkan melalui survei kesopanan digital atau Digital Civility Index (DCI) 2020 yang dirilis oleh perusahaan perangkat lunak Microsoft bulan lalu.

Survei ini bertujuan untuk mempromosikan interaksi dan aktivitas daring yang lebih aman, sehat, dan dapat saling menghormati. Pada prosesnya, sebanyak 16 ribu responden dari 32 negara terlibat dalam pengisian survei ini, yang pada akhirnya tiap-tiap negara tersebut akan diberikan skor. Mudahnya, semakin rendah nilai yang dihasilkan, maka semakin baik pula kesopanan warganet yang berada di negara tersebut, demikian pula sebaliknya.

Adapun variabel yang digunakan dalam survei ini adalah rentang umur, perilaku, jenis kelamin, reputasi, dan personal. Di Indonesia sendiri, terdapat 503 responden yang terbagi atas kelompok remaja dengan rentang umur 13 sampai 17 tahun dan dewasa dengan rentang umur 18 sampai 74 tahun. Hasilnya menunjukkan bahwa dari sembilan negara di wilayah Asia Pasifik, Indonesia mendapatkan skor paling akhir dengan poin sebesar 76. Kedelapan negara lain berada di atas Indonesia, seperti Australia (52), Singapura (59), Taiwan (61), Malaysia (63), Filipina (66), India (68), Thailand (69), dan Vietnam (72).

Alih-alih mengkritisi atau menyanggah hasil survei Microsoft, warganet Indonesia justru langsung membuktikan dan memberikan contoh nyata dari ketidaksopanan tersebut dengan menyerang Microsoft secara eksplisit. Hal ini dapat terlihat pada posting-an di akun Instagram Microsoft yang dipenuhi oleh cacian dan makian dari warganet Indonesia, seperti “Bacot lo Microsoft buktinya mana bambank”,F*ck Microsoft”, hingga “Bangsat lu seenaknya aja menilai org, sok plig bner lu microntol”, dan berbagai umpatan yang tidak sopan lainnya.

Apa yang bisa kita interpretasikan dan maknai dari fenomena di atas? Penulis akan jawab dengan cepat bahwa perilaku tersebut merupakan cerminan dari ekspresi kebebasan bermedia sosial. Dengan kata lain, ekspresi kebebasan tersebut hadir karena ketiadaan norma sosial yang berlaku. Akibatnya, sesuatu yang biasanya menjadi pedoman dalam berinteraksi dapat hilang karena cairnya identitas seseorang di media sosial. Sulit mencernanya? Baiklah, mari kita coba uraikan.

Sebagai contoh, ada sesuatu yang tidak sesuai dari orang yang tidak kita kenal dengan apa yang kita sukai. Pernahkah kita sebagai individu memaki, mengumpat ataupun mencela orang itu dengan mudah hanya karena masalah tersebut? Sepertinya akan sulit dan jarang sekali melihat fenomena ini di dunia nyata. Suatu hal yang membatasi kita untuk tidak melakukan hal tersebut adalah karena terdapat norma sosial yang berlaku. Norma itu telah ditanamkan kepada setiap orang melalui sosialisasi, baik oleh orang tua, sekolah, maupun lingkungannya.

Jika kita dengan mudahnya melakukan makian, umpatan, atau celaan di dunia nyata, kemungkinan yang terjadi pada kita hanyalah tiga hal; ditangkap untuk dihakimi, diasingkan, atau paling parah dicap sebagai orang gila. Lagi pula, kita tidak mungkin melakukan hal tersebut dengan mudah karena terdapat identitas yang melekat pada diri kita. Di balik identitas tersebut, terdapat berbagai hal yang melekat, seperti peran, status, hingga hak dan kewajiban berkehidupan sosial. Cobalah maki dan caci orang lain sekarang, serta terimalah apa yang akan terjadi. Jadi, sekarang terbayang, 'kan?

Lain halnya di media sosial, hal-hal seperti itu dengan sangat mudah dilakukan karena absennya aspek norma dan identitas pada setiap orang. Akibatnya, segala tindakan atau aktivitas yang tabu untuk dilakukan di dunia nyata dapat terluapkan di media sosial. Fenomena ini secara implisit mengatakan bahwa norma atau identitas seseorang merupakan suatu batasan yang mengatur bagaimana kebebasan manusia dapat dijalankan.

Dasar pembentukan norma dan identitas yang mengatur kebebasan manusia tentu saja dapat kita selidiki akarnya. Apa yang mendorong manusia −what makes him tick? dan membuat nature manusia dalam bertindak adalah nafsu, suatu aforisme yang dikenal dengan sebutan homo homini lupus. Kebutuhan akan mempertahankan diri dan menjadi unggul daripada orang lain mendorong terjadinya konflik antar sesama. Oleh karena itu, kondisi tersebut secara alamiah akan menciptakan sebuah aturan yang mengatur agar tidak terjadi konflik, dalam konteks ini adalah norma dan identitas.

Kejenuhan hidup dan berelasi dengan norma dan identitas, yang pada titik tertentu membelenggu kebebasan manusia dalam kehidupan nyata, terwadahi dan terartikulasikan dengan lancar di media sosial. Suatu bentuk ketidakmampuan seseorang untuk sadar dalam membedakan kenyataan dan yang fana. Oleh sebab itu, ia mengubah citranya di dunia nyata menjadi berbeda di media sosial sesuai dorongan dirinya. Meminjam konsep Baudrillard, hal itu disebut Hyperreality.

Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa segala tindakan bermedia sosial yang berkonotasi negatif merupakan sebuah manifestasi seseorang untuk melepaskan norma dan identitas yang membelenggu dirinya, alih-alih kebebasan berpendapat. Semakin banyaknya ketidaksopanan di media sosial secara implisit merupakan bentuk keterbelengguan norma di dunia nyata. Jadi, kepada Microsoft, terima kasih telah menyelidiki dan melepas belenggu tersebut. Jangan kapok, ya!

Catatan: Tulisan ini adalah hasil kontributor dan belum tentu mencerminkan sikap Pers Suara Mahasiswa UI 2021.

Teks: Saroel
Ilustrasi: Berliana Dewi R.
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!

Daftar Referensi

Cempaka, M. (2021). “Berdasar Survei Microsoft, Warganet Indonesia Paling Tak Sopan se-Asia Pasifik”. VICE. Diakses melalui https://www.vice.com/id/article/akd95p/survei-microsoft-netizen-indonesia-perilakunya-paling-tak-sopan-se-asia-pasifik

CNN. (2021). “Pakar Respons Microsoft: Netizen Indonesia Mengerikan”. CNN Indonesia. Diakses melalui  https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20210301122720-185-612166/pakar-respons-microsoft-netizen-indonesia-mengerikan

Magnis-Suseno, F. (1992). Filsafat sebagai ilmu kritis. Penerbit PT Kanisius.

Microsoft. (2020). Civility, Safety & Interaction Online. Diakses melalui https://news.microsoft.com/wp-content/uploads/prod/sites/421/2020/02/Digital-Civility-2020-Global-Report.pdf

Terashima, N., & Tiffin, J. (Eds.). (2005). Hyperreality: Paradigm for the third millennium. Routledge.

Tjahjadi, S. P. L., & Petrus, S. (2004). Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius.