Melonjaknya Inflasi: Ketika Cempedak Berbuah Nangka

Redaksi Suara Mahasiswa · 29 Mei 2022
5 menit

Galang Rambu Anarki, ingatlah. Tangisan pertamamu ditandai BBM membumbung tinggi…”

Iya, penulis paham. Pembaca yang berasal dari generasi Y ke atas pasti spontan bersenandung melihat kalimat di atas. Kalimat itu adalah penggalan dari lagu “Galang Rambu Anarki” yang diciptakan sekaligus dipopulerkan Iwan Fals. Karya satire yang diciptakan pada tahun 1982 itu menyindir situasi naiknya harga-harga barang pokok. Kini, fenomena itu kembali terjadi.

Sejarah memang sering terulang dalam hidup peradaban. Namun, untuk kali ini penyebab dari terulangnya inflasi bahan pokok berbeda. Pada tahun 1982, inflasi bahan pokok terjadi karena “orang pintar tarik subsidi” bahasa lain dari pencabutan subsidi BBM oleh pemerintah Indonesia. Kini, penyebab justru terletak pada “orang pintar bertindak sok pintar.”

Jangan salah paham dulu. Orang pintar di sini merujuk kepada lebih dari satu orang. Mengapa? Sebab ada berbagai pengambil kebijakan, baik di dalam maupun luar negeri yang membentuk benang kusut inflasi bahan pokok. Sebagai pemegang kuasa, mereka mempunyai insentif untuk bergerak lewat implementasi kebijakan yang niatnya baik. Akan tetapi, hasil dari berbagai kebijakan tersebut malah buruk untuk kita semua. Iya, bak cempedak berbuah nangka.

Mari kita mulai dari apa yang terjadi di luar Indonesia. Sejak terjadinya Perang Rusia-Ukraina, rantai nilai global yang baru saja pulih dari guncangan COVID-19 kembali mengalami paralysis. Terjadi lagi hantaman suplai barang dan jasa yang menimpa dunia. Apalagi yang terlibat konflik adalah Rusia selaku pemangku berbagai komoditas SDA terbesar di dunia seperti minyak dan mineral berharga.

Di sini, kita langsung menemukan tindakan sok pintar pertama. Niat Presiden Putin untuk melakukan invasi ke Ukraina memang terkesan “baik”, yaitu melindungi kepentingan nasional Rusia dari apa yang dilihatnya sebagai ekspansionisme NATO. Meski begitu, cara Putin lewat invasi jelas menyalahi hukum internasional, apalagi norma kemanusiaan. Ini lah yang kemudian memicu negara-negara Barat untuk mengenakan sanksi kepada ekonomi Rusia.

Alhasil, harga berbagai komoditas global melambung. Seluruh dunia seakan menganggap mereka begitu berharga secara berlebihan. Padahal, tren yang terjadi sebelum dan saat COVID-19 adalah komoditas “kotor” seperti minyak dan CPO sudah terbuang. Dari yang sempat menyentuh US$0 pada Mei 2020, harga minyak Brent kembali melambung ke US$80 sekarang (eia.gov, 2022). Hal yang sama terjadi untuk CPO, dari di bawah US$20 menjadi US$60 (Lokadata, 2022).

Kenaikan harga-harga itu merembet sampai ke Indonesia. Kita perlu mengingat bahwa 88,8% dari penggunaan energi kita masih berasal dari energi fosil (Hakim, 2022). Dengan ini, maka naiknya harga CPO dan minyak global membuat komponen biaya produksi barang dan jasa melambung. Tidak perlu lama bagi biaya tersebut untuk menjelma menjadi kenaikan harga.

Naiknya harga diawali dari jalur CPO terlebih dahulu. Tingginya harga CPO secara global memberikan insentif lebih besar kepada produsen sawit Indonesia untuk menjual ke luar negeri. Akibatnya, mereka fokus melakukan ekspor besar-besaran ke luar negeri demi keuntungan lebih besar. Sementara, dari sisi domestik, suplai pemenuhan Domestic Market Obligation (DMO) yang ada banyak disedot oleh kebijakan B30 dari pemerintah. Gabungan keduanya? Kelangkaan minyak goreng di masyarakat.

Sesuatu yang berawal dari dinamika global ternyata membuat antrean ibu-ibu mengular. Mereka rela menunggu berjam-jam untuk membeli minyak goreng yang dibatasi jumlahnya, demi harga yang lebih rendah. Padahal, jika kita kaji secara keilmuan, waktu yang terbuang dari mengantre itu sendiri adalah ongkos ekonomi. Ujung-ujungnya tetap mahal juga.

Ongkos ekonomi itu kemudian diperparah oleh reaksi pemerintah bernama Harga Eceran Tertinggi (HET) dan Domestic Market Obligation (DMO) minyak goreng. Niat awal dari kebijakan itu adalah untuk menahan laju harga minyak goreng dan memperbanyak penawaran lewat intervensi pasar dan kuota untuk pasar domestik. Ternyata, mekanisme tersebut malah ambyar di lapangan. Dia malah menjadi ajang korupsi oleh “mafia minyak”, yang malah datang dari tubuh Kemendag itu sendiri (Farisa, 2022).

Niat pemerintah yang altruistik untuk membuat minyak goreng murah malah membuatnya tetap mahal dan langka. Jika tidak ingin mengantre, masyarakat harus membayar harga yang jauh lebih mahal. Pilihan minyak goreng yang tersedia juga menjadi lebih terbatas karena kelangkaan. Akhirnya, semua kena getah dari kebijakan HET.

Bahkan pemerintah sendiri mengakui kegagalan tersebut. Pada 17 Maret 2022, HET untuk minyak goreng kemasan dicabut lewat Permendag No. 11 Tahun 2022. Tidak lama kemudian, minyak goreng dari berbagai merek langsung muncul bak cendawan di musim hujan. Hal tersebut menunjukkan keberhasilan ketika sinyal harga minyak goreng sebagai barang pokok kembali kepada mekanisme pasar. Batas harga yang dilepas membuat penawaran bertambah.

Akhir-akhir ini, prahara minyak goreng baru saja mereda. Lantas muncul lagi prahara baru soal minyak. Bedanya, kini yang naik harganya adalah bahan bakar minyak (BBM). Naiknya harga minyak dunia sejak Mei 2020 ternyata masih ditahan oleh Pertamina. Baru sekarang kenaikan harga itu diikuti dan dikatrol bukan main. Harganya naik 3.000 hingga mencapai Rp12.500 (Winarto, 2022).

Imbas dari kenaikan harga itu ternyata berkepanjangan. Pertamax yang makin mahal membuat permintaan terhadap Pertalite sebagai bahan bakar substitusi naik mendadak. Kemudian, terjadi kelangkaan Pertalite di berbagai SPBU Pertamina. Tulisan “Solar habis” yang biasanya kadang muncul digantikan oleh “Pertalite habis” yang sering muncul beberapa hari belakangan. Melihat kondisi demikian, banyak pengendara–termasuk penulis–terpaksa membeli Pertamax.

Keterpaksaan itu membuat banyak orang menjerit. Meski figur inflasi belum terlihat tinggi, tetapi harga-harga yang naik signifikan membuat biaya hidup terasa melambung. Tidak perlu rocket science untuk memahami dampak naiknya biaya hidup terhadap perekonomian. Uang yang kita keluarkan untuk kuantitas barang pokok yang sama makin banyak. Tentu saja dampaknya adalah inflasi yang makin tinggi di masa depan.

Timbul kembalinya inflasi di era pemulihan ekonomi dan perang memang wajar. Permintaan secara agregat meningkat, sementara penawaran secara umum masih terhalang oleh ketidakpastian dalam skala global. Justru, yang tidak wajar adalah respons politik yang diluncurkan lewat jalur intervensi mikroekonomi. Jika kebijakan seperti HET untuk berbagai barang pokok tetap dipertahankan, itu sama saja mengulang kegagalan.

Pelajaran dari episode kelangkaan dan inflasi ini satu: Jangan tabur garam di atas luka. Ingatlah pepatah Oscar Wilde bahwa, “It is always with the best intentions that the worst work is done.” Akan lebih baik jika pemerintah tidak pecicilan dalam mengendalikan harga barang pokok sana-sini. Justru, restriksi demikian mestinya dicabut satu per satu agar pembentukan harga bisa efisien. Biarkan pasar bekerja sesuai dengan mekanismenya dalam kasus ini. Sebab kegagalan justru muncul dari sisi pemerintah, bukan pelaku pasar.

Jadi, never took the market’s role for granted. Peranannya penting demi menjamin terpenuhinya barang kebutuhan pokok bagi seluruh lapisan masyarakat. Semua prahara “cempedak berbuah nangka” ini terjadi karena pemerintah abai dalam memahami pasar.

Referensi

Cyntara, R. (2020, July 16). Lirik Dan Chord lagu galang Rambu Anarki - Iwan Fals. KOMPAS.com. Diakses April 24, 2022, from https://www.kompas.com/hype/read/2020/07/16/175000266/lirik-dan-chord-lagu-galang-rambu-anarki-iwan-fals

Eia.gov. (2022, January 4). Crude oil prices increased in 2021 as global crude oil demand outpaced supply. Homepage - U.S. Energy Information Administration (EIA). Diakses April 24, 2022, from https://www.eia.gov/todayinenergy/detail.php?id=50738

Farisa, F. C. (2022, April 20). Dirjen Kemendag Pernah Bisikkan soal Mafia Minyak Goreng ke Mendag, Kini Malah Jadi Tersangka. KOMPAS.com. Diakses April 24, 2022, from https://nasional.kompas.com/read/2022/04/20/11142461/dirjen-kemendag-pernah-bisikkan-soal-mafia-minyak-goreng-ke-mendag-kini?page=all

Hakim, A. R. (2021, November 16). Masih Dominan, Penggunaan Energi Fosil di indonesia capai 88 persen. liputan6.com. Diakses April 24, 2022, from https://www.liputan6.com/bisnis/read/4712371/masih-dominan-penggunaan-energi-fosil-di-indonesia-capai-88-persen

Lokadata. (2021, April 20). Perkembangan Harga CPO, 2020-2021. https://lokadata.beritagar.id/. Diakses April 24, 2022, from https://lokadata.beritagar.id/chart/preview/perkembangan-harga-cpo-2020-2021-1618914248

Winarto, Y. (2022, April 2). Harga pertamax jadi RP 12.500 per liter, Begini Kata Erick Thohir. kontan.co.id. Diakses April 24, 2022, from https://industri.kontan.co.id/news/harga-pertamax-jadi-rp-12500-per-liter-begini-kata-erick-thohir

Teks: Rionanda Dhamma Putra (FEB UI 2019)
Editor: Dimas Rama S.W.
Ilustrasi: Shalma Aisya


Pers Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, dan Berkualitas