Logo Suma

Memandang Hustle Culture dari Perspektif Filsafat Jawa

Redaksi Suara Mahasiswa · 24 Februari 2022
4 menit

Sudah hampir dua tahun berjalan sejak pandemi menyebabkan mahasiswa/i di seluruh Indonesia melakukan berbagai aktivitasnya secara daring. Imbasnya bukan hanya pada proses pembelajaran yang berpindah pada ruang virtual, melainkan juga hampir seluruh aktivitas mahasiswa, baik akademis ataupun non-akademis. Kondisi ini menyebabkan kaburnya waktu istirahat dan bekerja; dari bangun hingga tertidur adalah waktu kerja/produktif. Hal ini menjadi faktor utama munculnya hustle culture dalam kehidupan mahasiswa.

Hustle culture merupakan suatu budaya yang melazimkan atau bahkan mengglorifikasi seseorang yang bekerja terus menerus. Bukti nyata dari semakin menjamurnya hal ini dapat kita temui di sekitar kita atau bahkan pada diri kita sendiri, seperti mengikuti dua teleconference dalam waktu bersamaan, magang sembari mengikuti kelas daring, bergadang semalaman untuk mengerjakan pekerjaan organisasi, dan masih banyak kegiatan lainnya. Sebenarnya hal ini didasari atas suatu niat baik untuk bisa bersaing dan berkembang dalam kondisi dunia sekarang. Akan tetapi, pada kenyataannya, hustle culture membawa lebih banyak dampak negatif ketimbang dampak positif. Para ahli kesehatan juga telah angkat suara terkait isu ini; Bekerja tanpa istirahat, dinyatakan menjadi penyebab dari penyakit kronis yang beragam, seperti diabetes, jantung, stroke, dan masih banyak lagi.

Berbagai macam pemikiran dan nilai-nilai kehidupan mulai dari zaman Yunani kuno hingga zaman modern sudah tidak asing lagi untuk dicoba diterapkan dalam rangka menanggulangi hustle culture ini. Namun, bukankah sebuah masalah yang hidup di Indonesia dapat diselesaikan dengan nilai-nilai bangsa kita sendiri? Jawaban atas hal ini salah satunya adalah dengan Falsafah Jawa. Hal ini bukan berarti adanya sebuah supremasi dari pemikiran ‘orang Jawa,’ melainkan hanya sebuah penggambaran kecil dalam medium yang terbatas.

Falsafah Jawa dapat didefinisikan sebagai ilmu filsafat yang berkutat pada budaya Jawa terdahulu. Berbeda dengan cabang filsafat lainnya, ajaran ini memiliki karakteristik yang amat religius. Meskipun begitu, penafsirannya sedikit berbeda dengan religiusitas dalam kehidupan masyarakat saat ini. Naufal Anggita Yudhistira, mahasiswa Magister Ilmu Susastra Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa orang Jawa terdahulu memiliki suatu kepercayaan, yakni alasan dari hadirnya manusia dan segala hal lainnya pada bumi adalah untuk memperindah dunia. Selain itu, Falsafah Jawa juga menitikberatkan fokus ajarannya pada aspek hati nurani dan variasi simbol-simbol khas dalam pengemasannya. Berbeda dengan filsafat dunia barat yang dikonstruksi dengan asas logika dan pemikiran kritis, ajaran Jawa terdahulu menilai segala sesuatu dari dua sisi: unsur pemikiran logis dan unsur perasaan. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa filsafat Jawa memiliki sifat yang seimbang.

Namun demikian, unsur pembeda yang paling menonjol dari filsafat Jawa terletak pada pertimbangannya terhadap seluruh makhluk yang ada di dunia ini. Aliran ini memasukkan seluruh ekosistem alam dan tumbuhan dalam implementasinya. Naufal menerangkan, “Yang membedakan di Jawa, filsafatnya itu bukan hanya menjunjung tinggi HAM (hak asasi manusia -red), tapi juga memandang hak asasi seluruh makhluk hidup.” Ia juga mendeskripsikan bahwa sajen, selamatan, dan ritual lainnya adalah bentuk usaha dari mereka (orang Jawa -red) agar lingkup hidup manusia, hewan, dan tumbuhan tidak saling mengganggu dan seluruh makhluk juga mendapatkan  kebebasannya sendiri.

Jika dibandingkan dengan kehidupan masa kini, Filsafat Jawa menjadi terkesan kuno dan memiliki pandangan yang unik. Walaupun begitu, kita masih dapat melihat kompatibilitasnya pada masa modern ini, salah satunya dalam fenomena hustle culture yang kian merajalela belakangan ini. Dalam kehidupan orang Jawa, terdapat pantangan bekerja pada waktu-waktu tertentu, yakni saat tengah hari dan ketika malam hari tiba. “Istilah dalam bahasa Jawa-nya di wanci bedhug tengange, di waktu ketika matahari tepat di kepala, manusia akan mendapatkan apes jika lanjut bekerja. Lalu, ketika matahari bergeser menuju gelap, manusia juga sudah harus sampai dirumah,” terang Naufal.

Pada masa itu, petuah ini diciptakan karena bekerja pada jam-jam tersebut akan mengakibatkan kesialan atau istilahnya “dimakan kala.” Akan tetapi, jika kita tarik ajaran ini untuk melihat ke dalam perspektif masyarakat modern saat ini, pesan tersebut dapat dimaknakan agar manusia tidak bekerja melampaui batas kemampuannya. Terlebih, bekerja berlebihan akan menyebabkan kita lelah sehingga dapat membuat hasil pekerjaan kita menjadi tidak maksimal.

Lantas, dengan singkatnya jam kerja yang dianjurkan, apakah filsafat Jawa mengajarkan kita untuk bermalas-malasan dalam melakukan pekerjaan kita? Tentu tidak. Justru kandungan yang terdapat pada kutipan di atas menyarankan manusia untuk memanfaatkan waktu semaksimal mungkin. “Ada juga perumpamaan pada orang Jawa, saat kita menjala ikan, boleh saja mengambil yang kecil-kecil. Tapi jangan sampai menjala ikan-ikan kecil tersebut mengalihkan fokus kita dari ikan yang besar,” ujar Naufal. Dari contoh semboyan tersebut, kita juga dapat menafsirkan bahwa orang Jawa terdahulu mengusahakan agar manusia dapat memiliki fokus dalam pekerjaannya agar kelak tidak kewalahan dalam eksekusinya.

Berbicara tentang relevansi dalam kehidupan berarti menerapkan secara nyata suatu pemikiran-pemikiran yang telah lama hidup di masyarakat. Ghanies Amany, mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang kesehariannya bergelut dengan hustle culture, yakni menjalankan berbagai macam kegiatannya, baik itu akademis, organisasi, penelitian, hingga pekerjaan sampingannya sebagai disc jockey (DJ). Ghanies dalam kesehariannya mengatakan bahwa ia sejalan dengan keluarganya yang sangat menerapkan prinsip-prinsip kehidupan orang Jawa. “Lahir dan besar di keluarga yang menjunjung tinggi adat istiadat dan nilai-nilai kehidupan Jawa, menurut saya banyak nilai-nilai sederhana yang diajarkan melalui kebudayaan Jawa. Saya percaya setiap adat memiliki nilai yang khas tersendiri, namun dalam konteks ini leluhur saya merupakan keturunan Jawa asli. Oleh karena itu, sebagai penerus generasi ini saya diwajibkan untuk mengimplementasikan falsafah Jawa yang diajarkan oleh keluarga,” jelas Ghanies.

Berdasarkan keyakinannya tersebut, Ia banyak menerapkan nilai-nilai Jawa dalam kehidupan kesehariannya. “Ibu saya pernah menyampaikan bahwa, tradisi di keluarga kami yang menjunjung falsafah ini dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari seperti bangun pagi, mandi, dan sudah rapi. Bahkan, eyang saya di pagi hari sudah rapi dan memakai sanggul beserta kutubaru-nya (baju adat Jawa).  Juga dengan falsafah Jawa Aja Adigang, Adigung, Adiguno yang artinya jaga kelakuan/tatakrama. Tentu hal ini berkaitan dengan kehidupan sehari-hari dalam berperilaku,” tutur Ghanies.

Mengenai bagaimana cara filsafat Jawa membantunya menyelesaikan permasalahan hustle culture, Ghanies memaknai Dirotsaha lan Prasaja yang memiliki arti “rajin bekerja keras dan hidup sederhana” sebagai landasannya untuk bekerja keras, tetapi tetap sarat dalam kesederhanaan sehingga pekerjaan dilakukan tanpa terlalu memaksakan diri. “Orang harus bekerja keras menjadi motivasinya untuk melakukan hustling karena harus memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dan bekerja keras semaksimal mungkin, tetapi tetap melakukannya dengan sederhana agar tidak menjadi berlebihan,” tegasnya.

Berangkat dari hal-hal di atas, sebagai orang Indonesia, kita dapat kembali dan memaknai nilai-nilai luhur yang hidup dalam masyarakat Indonesia, terutama dalam hal ini masyarakat Jawa. Untuk merefleksikan kondisi kehidupan kita kini, nyatanya jawaban atas permasalahan yang kekinian juga dapat dicari dari pengajaran masa lalu, yakni melalui Falsafah Jawa. Hal ini sebaiknya tidak dimaknai sebagai hal yang kolot dan usang, sebab, suatu filosofi yang baik tak akan lekang oleh waktu.

Referensi:

  1. Apriyanti, E. (27 Oktober 2021). Fenomena Hustle culture Menjerat Kaum Muda di Tengah Pandemi, https://yoursay.suara.com/lifestyle/2021/10/27/094809/fenomena-hustle-culture-menjerat-kaum-muda-di-tengah-pandemi, diakses pada 20 Februari
  2. 2022.Halodoc, R. (7 September 2021). Kerja Tanpa Istirahat alias Hustle Culture, APA Dampaknya Bagi Tubuh? https://www.halodoc.com/artikel/kerja-tanpa-istirahat-alias-hustle-culture-apa-dampaknya-bagi-tubuh, diakses pada 20 Februari 2022

Teks: Fadhila Afrina, Farrell Charlton
Ilustrasi: Amalia Ananda
Editor: Ninda Maghfira

Pers Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, dan Berkualitas!