Pada Sabtu, 11 November 2023, Klinik Jurnalistik Suara Mahasiswa Universitas Indonesia (Suma UI) menggelar acara puncaknya di Ruang Apung Perpustakaan Pusat, Universitas Indonesia. Acara tahunan ini, yang mengusung tema jurnalisme lingkungan berhasil menarik perhatian puluhan mahasiswa dari UI dan luar UI, mencerminkan antusiasme dan kesadaran masyarakat akademis terhadap isu jurnalisme lingkungan di tahun politik.
Rangkaian acara Klinik Jurnalistik tahun ini melibatkan berbagai pihak, termasuk akademisi, pemerintah, NGO, wartawan senior, dan anak muda. Pameran Foto Jurnalistik yang berlangsung dari 11 hingga 15 November 2023 menjadi bagian pertama dari serangkaian kegiatan ini. Kegiatan tersebut diikuti oleh Diseminasi Mini Riset, Diskusi tentang Persepsi dan Tantangan Pekerjaan Hijau bagi Anak Muda, serta Talkshow dengan tema utama "Tersingkir di Balik Berita Populer: Membuka Jalan bagi Jurnalisme Lingkungan yang Berdampak". Sesi kedua ini menghadirkan tiga pembicara: Surya Putra selaku Program Officer Media dan Demokrasi Remotivi, Sapariah Saturi selaku Editor Mongabay Indonesia, serta Bagja Hidayat selaku Pemimpin Redaksi Forest Digital.
Ruang Apung Mati Listrik: “Berada Di sini, Persis seperti Pemanasan Global”
Sesi diskusi pagi berjalan dengan lancar, namun kendala teknis mendadak terjadi saat sesi siang. Kabel listrik yang konslet mengakibatkan satu ruangan Ruang Apung mati listrik sehingga AC (Air Conditioner), lampu, dan sound system tidak bisa menyala. Meski demikian, acara tetap dilangsungkan dengan keterbatasan fasilitas. Panitia merapatkan kursi agar peserta tetap dapat berdiskusi dengan pembicara. Untuk mengurangi hawa panas, kemudian panitia membuka tirai dan satu jendela, agar ada sedikit udara masuk ke dalam ruangan.
Sebelum berdiskusi, Wartawan Senior Tempo, Bagja Hidayat, menyayangkan desain Ruang Apung yang tidak ramah lingkungan. Menurutnya, jika memiliki ventilasi yang baik, suhu ruangan ini tidak akan sepanas ini tanpa AC. "Dengan dinding banyak kaca yang menyerap panas, jendelanya hanya satu. Sayang sekali, dengan desain seperti ini, ruangan ini tidak bisa digunakan tanpa AC, hal tersebut sangat tidak ramah lingkungan," ujarnya.
Kendati demikian, Editor Mongabay Indonesia, Sapariah, menyambut suasana panas dalam ruangan tanpa listrik itu sebagai kesempatan baik untuk membahas masalah lingkungan, sembari merasakan dampak lingkungan yang kian memanas.
“Ironi yang lucu sekaligus pas ya, membahas isu lingkungan di tempat yang desainnya kurang ramah lingkungan. Seperti pemanasan global hahaha,” tutur Sapariah sambil tertawa getir.
Kritik ini juga mengenai isu UI yang mengklaim diri sebagai Green Campus dengan standar Green Metric yang berkomitmen untuk lebih bijaksana terhadap lingkungan hidup, tetapi nyatanya pihak pengelola UI masih berorientasi pada kebiasaan-kebiasaan tak ramah lingkungan. UI GreenMetric World University Ranking merupakan pemeringkatan kampus hijau dan kelestarian lingkungan yang diprakarsai oleh Universitas Indonesia pada tahun 2010. Dari enam kriteria, setting dan infrastructure menjadi salah satu kriteria yang menjanjikan akan lebih banyak ruang untuk penghijauan dan menjaga lingkungan, serta anggaran pembangunan berkelanjutan.
“Pas baca Perpustakaan UI memenuhi standar Green Building itu keren banget, tapi ternyata nggak semuanya, ya. Ruang apung misalnya justru menurut gw fasad luarnya saja yang green, bagian dalamnya tetap menggunakan AC dan lampu. Meskipun ada kemungkinan lampu yang hemat energi, sifatnya cuma meminimalisir. Padahal kalau bagian atasnya dibuat semi terbuka dengan ventilasi udara pada sisi atasnya tentu itu akan lebih bagus lagi sih,” ujar Yazid, salah seorang peserta Klinik Jurnalistik alumni Universitas Indraprasta.
“Karena perubahan iklim terjadi karena kebiasaan manusia memahami ruang hijau yang ada tidak terbentuk --termasuk para arsitektur yang menggunakan kaca sebagai dinding bangunan,” lanjutnya.
Bagi Bagja, persoalan ini menjadi kesempatan khususnya bagi anak muda, seperti pers mahasiswa, untuk dijadikan modal dalam menyuarakan isu lingkungan. Sapariah mengamini pendapat Bagja. Pers kampus dapat mengambil bagian untuk ikut menyuarakan isu lingkungan melalui peliputan gerakan-gerakan hijau yang ada dalam kampus.
“Kita lihat lagi ternyata ada mahasiswa-mahasiswa yang pionir di bidang lingkungan. Angkat (berita kegiatan) mereka. Jadi banyak hal yang bikin inspirasi atau banyak hal yang bikin bisa mengkritik untuk nanti, kayak gedung, kalau bangun jangan gedung kayak gini lagi. Ketika itu (berita lingkungan dalam kampus) belum ada, media kampus bisa menyuarakan itu,” ujar Sapariah.
Jarang Dibaca, Kurang Berkualitas, Dianggap Isu Tak Laku: Jurnalisme Lingkungan Tersisih di Balik Berita-Berita Populer
Dalam diskusi siang, Chris Wibisana, Redaktur Suara Mahasiswa Indonesia, memoderatori pembahasan mengenai isu-isu lingkungan yang sering disisihkan, terutama di tahun politik. Pembicara menyoroti minimnya perhatian terhadap isu lingkungan di media, baik oleh pembaca maupun pembuat berita. Bagja Hidayat menekankan fenomena "individualisasi dosa lingkungan," di mana masyarakat cenderung merasakan dosa lingkungan karena aktivitas individu manusia, sementara industri minyak memainkan peran besar dalam mengalihkan fokus dari penyebab perubahan iklim.
“Kita dicuci otaknya, kita jadi merasa punya dosa lingkungan tiap hari dan dosa itu lebih ditekankan ke individu, kampanye itu berhasil membelokkan tanggung jawab industri minyak, dan industri lain-lain,” kata Bagja.
Menanggapi paparan Bagja, Surya menekankan bahwa media belum memprioritaskan isu lingkungan, isu lingkungan dianggap kurang seksi untuk menggaet ‘klik’. Kalau pun ada, isu lingkungan lebih banyak mengambil sudut pandang dari pemerintah dan/atau swasta.
“Ketika media lebih banyak memberikan panggung pada mereka (kelompok elit), maka narasi yang tersirkulasi bahwa catastrophe yang terjadi hari ini, makin parahnya krisis iklim dan lain sebagainya. Tanggung jawabnya dibebankan kepada individu,” ucap Surya menambahkan argumen Bagja.
Bagi Sapariah kampanye atau propaganda "individualisasi dosa lingkungan," yang dijadikan senjata oleh kelompok elit atau industri tersebut dapat diubah menjadi pedang bermata dua. Kesuksesan propaganda tersebut dapat kita modifikasi menjadi senjata yang balik menyerang tuannya, sehingga turut ikut berubah. “Dengan kita merasa berdosa, mari kita jadikan itu gerakan untuk mengubah orang itu (kelompok elit). Jangan bikin kita (saja) yang berdosa. Mari kita ramai-ramai berteriak, mari semuanya bersuara, untuk marah-marahin tuh orang-orang yang punya kuasa besar, industri yang megang power terbesar terhadap kerusakan bumi ini,” tegas Sapariah.
Di lain sisi, Sapariah Saturi, Editor Mongabay Indonesia, menyoroti kualitas berita lingkungan yang seringkali kurang mendalam, timpang narasinya, dan menggunakan diksi yang melindungi pelaku perusak lingkungan. Contoh nyata adalah penanganan bencana lumpur Sidoarjo, yang lebih sering dianggap sebagai bencana alam daripada akibat ulah perusahaan Lapindo Brantas.
“Selain lumpur lapindo, Pemerintah itu menyatukan kata Energi Baru dan Terbarukan (EBT), itu sebenernya nyaru. Masalahnya yang kita harapkan itu energi terbarukan, energi baru itu bisa energi kotor dalam bentuk baru seperti batu bara cair, artinya mereka mengarahkan kita untuk mendukung energi kotor juga,” tutur Sapariah.
Bagja juga berpendapat bahwa seorang jurnalis tidak cukup bermodal keberanian untuk mengangkat skandal lingkungan, namun juga wajib bermodal pengetahuan agar memiliki perspektif lingkungan, sehingga peliputan menjadi komprehensif. “Kalau anda menulis soal isu perdagangan karbon, (misalnya) anda punya pabrik batu bara di sini, lalu kemudian emisinya satu juta ton, kemudian tanam pohon di sebelah sini, menyerap satu juta ton, selesai. Kalau (perspektifnya) hanya sekedar omzet begitu, dan si wartawan tidak mempunyai perspektif tentang kelestarian, maka akan ditulisnya seperti itu saja,” ujar Bagja.
Menurutnya jurnalis harus pandai menempatkan diri, karena keberpihakan seorang jurnalis akan mempengaruhi hasil peliputan. “Kode etik wartawan Indonesia menyatakan bahwa tidak ada aturan (wartawan harus) netral, karena (seringkali) yang tidak bisa dilihat oleh pembaca adalah perspektifnya, sikapnya (wartawan) terhadap sebuah isu, terhadap sebuah masalah,” pungkas Bagja. Sehingga, perspektif menjadi kunci dalam mengangkat isu, termasuk isu lingkungan.
Berita Lingkungan Tidak Selalu Monoton dan Membosankan
Surya menambahkan urgensi jurnalisme solusi dalam liputan lingkungan. Ia menekankan bahwa berita lingkungan yang selalu dikemas dengan nuansa negatif dapat menyebabkan kelelahan berita dan putus asa di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk menghadirkan perspektif yang memberikan harapan. “Aku masih jarang ngelihat genre jurnalisme lingkungan di Indonesia yang menggunakan human interest frame. Jadi gak mulu-mulu memberitakan masalah lingkungan tuh data-data doang. Tapi datanya tuh perlu juga dikasih wadah,” pungkas Surya.
Selanjutnya, Sapariah menggenapi pandangan Surya bahwa data yang kerap disajikan masih mentah dan tidak menarik dapat dibentuk dalam sajian-sajian seperti infografis, videografis, dan lain sebagainya, sehingga pembaca tidak merasa jenuh tiap kali melihat pemberitaan isu lingkungan yang kerap dianggap monoton dan membosankan. Penulisan pemberitaan isu lingkungan yang mengajak pembaca untuk ikut merasakan emosi dan keadaan dapat menjadi titik temu sehingga inti dari pemberitaan dapat lebih mudah tersampaikan.
“Ketika bicara. misalnya, orang rimba yang dulu ada rumahnya di situ, dulu adalah hutan, sekarang jadi kebun sawit. Airnya mereka udah hitam, dulu mereka suka mandi di situ. Sekarang tinggal aliran kecil, hitam, tapi terpaksa dipakai. Ketika visual-visual seperti itu bisa kelihatan, itu diperkaya dengan kata-kata, itu makin menambah nilai dari sekedar tulisan (biasa),” pungkas Sapariah.
Apa Yang Dapat Dilakukan?
Menurut Surya, pers mahasiswa dapat menjaring ketertarikan pembaca terhadap isu lingkungan. “Misalkan audiens kalian anak UI. Kalian harus ngerti dulu karakteristik anak UI itu gimana. Apa yang bisa bikin mereka tertarik dengan isu perubahan iklim. Kerja-kerja survey dan riset itu penting,” ucap Surya. Dengan begitu, peliputan dapat disesuaikan sehingga dapat mendorong pembaca untuk ikut berpartisipasi menyuarakan isu lingkungan. Surya juga mendorong kolaborasi antara pers mahasiswa untuk mengakali kesulitan yang dihadapi selama liputan seperti kendala dana dan kendala lainya.
Sama halnya dengan Bagja yang juga setuju dengan saran Surya. Ia membagikan cerita kolaborasi Tempo dengan pers kampus Teras Mahasiswa, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, yang dilakukan tahun lalu. “Saya kesana untuk mengajar, lalu disambung dengan ada wartawan dari Tempo mengasisteni mereka liputan. Liputannya ini, yang sungai nya rusak, tentang isu lingkungan, dan itu di-support oleh Pulitzer Center. Dananya langsung ke kampus, untuk membiayai mahasiswa dan dosennya bikin kajian, liputan,” ujar Bagja. Menurutnya, sewaktu-waktu pers mahasiswa lainnya dapat mengikuti langkah kolaborasi sebagaimana yang dilakukan oleh Tempo dan Teras Mahasiswa.
Dalam menciptakan dampak positif, para pembicara menegaskan perlunya diversifikasi narasi dan presentasi isu lingkungan. Framing yang monoton dan penggunaan istilah yang kurang bermakna dapat membuat masyarakat kehilangan minat membaca berita lingkungan. Dengan upaya bersama, diharapkan jurnalisme lingkungan dapat memberikan kontribusi yang lebih signifikan dalam mendorong kesadaran dan tindakan positif terhadap tantangan lingkungan global.
Teks: Aulia Arsa A., Dian Amalia A.
Editor: Kamila Meilina
Foto: Farhan Nuzhadiva
Pers Suara Mahasiswa UI 2023
Independen, Lugas, dan Berkualitas!