Awas Bibit Koruptor, Cerita Penggelapan Dana LPJ di Ormawa UI

Redaksi Suara Mahasiswa · 16 September 2023
5 menit

Penyelewengan dana di lingkungan pendidikan tinggi perlu menjadi perhatian serius dalam dunia akademik. Menurut data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2021, dari 240 kasus korupsi yang terjadi di sektor pendidikan tinggi selama periode 2016 hingga 2021, sekitar 14,2% di antaranya merupakan kasus penggelembungan dana pada laporan keuangan yang dilakukan oleh fungsionaris kampus.

Namun, kajian mengenai korupsi di lingkungan kampus masih terbilang minim, seringkali hanya menyoroti yang melibatkan fungsionaris kampus. Sementara, yang dilakukan mahasiswa kerap dianggap remeh, dimaklumkan, atau tidak dianggap besar sehingga tidak diberikan sanksi. Padahal kecurangan semacam ini bukan hanya merusak integritas sistem akademik, namun mengguncang budaya politik Indonesia di masa depan, yang tentunya di tangan anak muda.

Fenomena korupsi di kalangan mahasiswa ini termanifestasi dalam 1001 wajah, mulai dari joki tugas hingga penggelembungan dana anggaran program kerja, yang kerap disebut dengan mark-up. Penelitian terbaru dari Pramaisvara dan Hapsari (2021) mengungkapkan bahwa praktik korupsi di kalangan mahasiswa, khususnya dalam bentuk mark-up, sebetulnya sudah menjadi rahasia umum. Praktik ini umumnya terjadi saat mahasiswa terlibat dalam kepanitiaan dalam suatu organisasi kemahasiswaan atau unit kegiatan mahasiswa (UKM) yang kemudian harus menyusun laporan pertanggungjawaban (LPJ).

Sesungguhnya, ini ironi.

Mahasiswa, dalam kacamata banyak orang, dipandang sebagai masa depan dan tonggak moral peradaban. Gerakan mahasiswa seringkali dianggap sebagai angin pembawa perubahan yang akan membawa kemajuan, inovasi, dan nilai-nilai etika yang kokoh ke dalam masyarakat. Namun, dalam praktiknya, terdapat oknum-oknum mahasiswa yang mengaburkan harapan masyarakat dan menciptakan budaya toleransi terhadap perilaku tidak etis di dalam dan di luar kampus.

Ketika ingin membuat suatu program kerja (proker), mahasiswa umumnya harus membuat suatu proposal permohonan dana untuk kelangsungan acara tersebut. Di dalamnya terdapat rancangan anggaran dana untuk membayar barang dan jasa yang diperlukan. Setelah proker selesai, anggota kepanitiaan diharuskan untuk membuat LPJ sebagai informasi rincian pelaksanaan tugas proker sekaligus menjadi bahan evaluasi untuk ke depannya.

LPJ tersebut diberikan kepada pihak keuangan di program studi, fakultas, maupun direktorat kemahasiswaan (dirmawa) kampus. Kemudian, pihak keuangan mengembalikan uang pribadi yang dipakai mahasiswa saat kegiatan tersebut berlangsung (reimburse). Adapun mekanisme yang dilakukan dengan membuat proposal sehingga pihak keuangan memberikan pendanaan terlebih dahulu. Kemudian setelah kegiatan tersebut selesai, mahasiswa diwajibkan untuk mengisi LPJ.

Pembengkakan dana di LPJ karena praktik mark-up umumnya terjadi saat pengeluaran yang dilakukan berbeda jauh dari yang direncanakan di proposal. Selain karena mark-up harga tersebut, yang kerap terjadi pembengkakan dana di LPJ juga dikarenakan pengeluaran nota fiktif yang dilakukan oleh mahasiswa.

Mereka melampirkan pengeluaran yang tidak ada saat acara, atau melambungkan angka pengeluaran yang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.

Selisihnya masuk ke kantong-kantong panitia.

Suara Mahasiswa berkesempatan mewawancarai langsung salah seorang mahasiswa UI yang pernah melakukan tindakan penyelewengan tersebut. Mario (19 tahun) –nama disamarkan– adalah mahasiswa Universitas Indonesia mengaku pernah melakukan tindakan penggelembungan dana atau mark-up saat menjadi seorang project officer (PO) di salah satu kegiatan organisasi mengenai pengenalan kampus di daerahnya.

Dalam menjalankan tindakan korupsi, Mario tidak sendiri. Anggota organisasi lainnya sebanyak 30 orang, juga turut mengetahui dan mendiamkan tindakan tersebut.

Dalam pengakuannya, Mario mengaku “melebih-lebihkan” target penggunaan jasa transportasi yang dilakukan saat perencanaan di proposal. Saat sudah yakin hanya membutuhkan tiga, ia menulisnya dengan membutuhkan enam buah jasa transportasi.

“Yang gw lakuin itu target pemesanannya yang gw lebihin, yang harusnya tiga, gw taronya enam,” ujar Mario saat Suara Mahasiswa menanyakan bagaimana praktik tersebut terjadi.

Ia mengaku nota fiktif penggelapan dana tersebut ia buat bersama anggota yang merupakan Badan Pengurus Harian (BPH) pada kegiatan tersebut.

“Iya, betul sekali. Gw bikin nota palsu dan gelapin dana sama BPH-nya, jadi gw bagi –hasil penggelapannya– ke mereka juga,” jawabnya.

Meski riset terkait motivasi mahasiswa melakukan ini masih minim, mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) pernah melakukan survei kualitatif dan mendapatkan fakta bahwa seringkali korupsi ini dilakukan sebagai bentuk “selebrasi” atau dianggap sebagai imbalan jasa. Seperti halnya yang dilakukan Mario, uang tersebut bukan untuk dirinya sendiri, melainkan dibagi-bagi kepada anggota tim lainnya.

Bagaimana Dampaknya?

Irma Hutabarat, aktivis yang berperan dalam mendirikan Indonesia Corruption Watch (ICW) pun menyayangkan praktik ini. Menurutnya, kejujuran sudah menjadi hal yang tidak berharga lagi jika praktik seperti ini sudah menjadi rahasia umum. “Jika ada pemakluman dari umum, maka itu menjadi sesuatu yang mengerikan. Kenapa? Karena itu menjadi common practice jadinya. Artinya, kejujuran itu tidak menjadi mata uang yang berharga lagi di negeri ini,” tutur Irma saat ditemui Suara Mahasiswa UI pada Sabtu, (22/7).

Pemakluman perilaku non-etis di masa lalu dapat memengaruhi niat, sikap, dan keputusan perilaku seseorang di masa depan, bahkan tanpa berpikir panjang. Jika dalam suatu masyarakat kecurangan menjadi hal umum dan tidak ada konsekuensi hukuman, Irma khawatir mahasiswa yang notabenenya merupakan penerus masa depan akan membudayakan korupsi dalam pemerintahan yang dapat berdampak pada ratusan juta penduduk Indonesia.

"Mereka itu adalah masa depan republik ini. Mereka belajar untuk jadi pemimpin untuk jadi jujur. Kalau lagi belajar aja korup bagaimana nantinya? Nah ini bahaya, kenapa? Karena artinya ada pembiaran dan menganggap bahwa, itu adalah sebuah kewajaran," Irma menegaskan.

Tidak Ada Hubungannya Kejujuran dan Pendidikan Tinggi

Sangat sulit mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dan korupsi. Hal ini dikarenakan pendidikan berkelindan dengan pembentukan moral. Namun, jika dilihat dari kacamata awam, seringkali kita melihat koruptor yang tertangkap merupakan orang-orang berpendidikan tinggi yang memiliki posisi penting di suatu jabatan.

"Saya tanya,  jujur, apakah karena mereka pendidikannya tinggi? enggak ada hubungannya pendidikan? Yang korupsi di negeri ini adalah orang-orang pandai. Kalau sudah sampai di kampus kan berarti mereka adalah orang-orang yang (seharusnya-) pandai di negeri ini,"

Jack Bologne, seorang teoretisi yang memperkenalkan teori GONE menjelaskan bahwa akar penyebab korupsi yang bisa saja terjadi pada setiap orang. Hal ini terdiri dari empat faktor yaitu: Greed, Opportunities, Need dan Expose. Greed terkait keserakahan dan kerakusan para pelaku korupsi yang secara potensial ada dalam diri setiap orang. Opportunity atau kesempatan terkait dengan sistem yang memberi lubang terjadinya korupsi. Need atau kebutuhan adalah sikap mental yang tidak pernah cukup dan penuh sikap konsumerisme. Exposes sebagai hal yang  berkaitan dengan hukuman pada pelaku korupsi  yang rendah, hukuman yang tidak membuat jera  pelaku maupun orang lain, dan deterrence effect yang minim.

Bisakah Dicegah?

Menurut Irma, sekadar pendidikan teoretis mengenai antikorupsi tidak dapat memiliki dampak konkret untuk menumpas praktik korupsi yang terjadi. Oleh karena itu, agar organisasi kemahasiswaan (ormawa) tidak dijadikan ladang korupsi bagi mahasiswa, diperlukan tindakan yang lebih nyata, misalnya pengontrolan tegas terhadap setiap unit kegiatan mahasiswa (UKM) di kampus untuk mencegah dan mengawasi perilaku koruptif mahasiswa.

“Bikin dong, perlu dewan pengawas di mahasiswa, semacam ombudsman kampus, atau ‘KPK’-nya mahasiswa lah. Kan itu praktik yang bagus. Intinya kan sama prinsipnya, prudent,” tutur Irma.

Saran Irma juga dapat diterapkan di tingkat organisasi, di mana pelaporan keuangan dilakukan satu pintu dan diawasi secara ketat oleh sesama badan pengurus harian, seperti Ketua dan Bendahara.

Terakhir, Paulina (2023), asisten peneliti Indonesia Judicial Research Society melalui tulisannya menjelaskan bahwa perguruan tinggi seharusnya bisa menerapkan kanal khusus untuk melaporkan dugaan korupsi di lingkungan kampus yang dilakukan oleh mahasiswa.

Langkah-langkah di atas diharapkan mampu untuk memberantas budaya korupsi yang terjadi di kalangan mahasiswa. Korupsi pada dasarnya hanya menimbulkan kerugian bagi yang lain. Budaya korupsi yang tidak segera diberantas akan menciptakan aktor baru yang akan diturunkan kepada adik-adik tingkat, bahkan memiliki peluang untuk dibawa ke dunia luar sehingga berpotensi menciptakan seorang koruptor di masa depan yang merugikan negara.

Teks: Abira Massi
Editor: Dian Amalia Ariani
Ilustrator: Ferre Reza

Suara Mahasiswa UI 2023
Independen, Lugas, Berkualitas!