Mempertanyakan Relevansi Penayangan Film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI

Redaksi Suara Mahasiswa · 13 Oktober 2021
8 menit

Film Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI (selanjutnya disebut film G30S) merupakan film propaganda di era Orde Baru, yang digunakan pemerintah untuk melawan ideologi komunisme. Dalam film ini, digambarkan bagaimana kondisi politik tahun 1960-an yang memanas karena adanya segitiga kekuatan di pemerintahan, yakni: Sukarno, Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Angkatan Darat (AD). Salah satu adegan yang menjadi fokus dalam film ini adalah penculikan dan pembunuhan tujuh perwira tinggi AD yang terjadi pada tanggal 30 September 1965.

Setelah peristiwa G30S tersebut, Soeharto yang kala itu "diberi mandat" untuk memberantas PKI kemudian naik ke tampuk kekuasaan menggantikan Sukarno. Dalam rangka menyebarkan ideologi Orde Baru yang anti komunis, Soeharto membuat film G30S. Pada saat itu, seluruh rakyat Indonesia, dari kalangan muda hingga tua, diwajibkan menonton film tersebut setiap tanggal 30 September.

Pasca reformasi, film G30S ini kerap menjadi perdebatan. Apakah film ini masih boleh ditayangkan? Mengingat beberapa adegan sadis yang digambarkan dalam film. Terlebih lagi, beberapa sejarawan dan riset ilmiah menyatakan bahwa terdapat beberapa fakta yang diselewengkan dalam film tersebut. Kemudian muncullah pertanyaan, masih relevankah penayangan film G30S tersebut pada hari ini?

Latar Belakang dan Proses Pembuatan Film

Film G30S merupakan sebuah film yang diproduksi untuk mengenang peristiwa kelam tanggal 30 September 1965 ketika terjadi penculikan hingga pembunuhan para perwira tinggi angkatan darat. Dosen Prodi Sejarah Universitas Indonesia, Dr. Abdurakhman, M. Hum. menjelaskan bahwa dalam proses pembuatan film ini, terutama ketika peristiwa penangkapan para perwira, sang sutradara yakni Arifin C. Noer bersama dengan para dosen senior dari Prodi Sejarah UI telah melakukan riset dan wawancara mendalam kepada pihak keluarga langsung untuk mendapatkan data yang akurat mengenai kejadian yang sebenarnya terjadi.

“Yang sering menjadi permasalahan ‘kan ini berbeda ini mengubah alur sejarah suruh tunjukkan sisi mana gitu ya, sisi mana yang berbeda dengan alur sejarah karena yang menceritakan itu adalah para keluarga semua. Istri dari para pahlawan revolusi itu diminta menceritakan kembali kejadian apa yang mereka lihat di rumah mereka ketika mereka mendadak didatangi pasukan Cakrabirawa,” terangnya.

Lebih lanjut beliau juga menegaskan bahwa dalam proses pengambilan gambar film ini sendiri anggota keluarga dari para perwira itu selalu hadir untuk menyaksikan adegan demi adegan untuk memastikan akurasinya. “Apalagi syutingnya di rumah mereka sendiri, tempat kediaman kejadian sebenarnya berlangsung, itu menjadi satu perhatian tersendiri. Itu begitu, ini enggak begini, dan itu dibuat lebih halus, dalam artian tidak vulgar,” jelasnya.

Film G30S sebagai Propaganda Orde Baru dan Relevansinya Kini

Film tahun 1984 ini merupakan salah satu film yang cukup sukses dan fenomenal pada masanya. Pasalnya, kala itu film ini merupakan film yang wajib ditayangkan dan ditonton oleh masyarakat. Banyak yang menyebut film ini sebagai sebuah propaganda pemerintah Orde Baru untuk menanamkan pemahaman bahwa PKI merupakan organisasi yang kejam dan komunisme harus musnah dari Indonesia.

“Faktanya film ini mampu menanamkan pemikiran tentang PKI. Namun, perlu dilihat juga tahun dan tujuan pembuatan filmnya,” ungkap Amanda Latifa, Ketua Studi Klub Sejarah UI mengomentari penciptaan film ini. Film dapat dinilai sebagai media yang paling berpengaruh melebihi media-media lain karena secara bersamaan dia bisa menampilkan audio, bisa menampilkan visual, apalagi dengan kemajuan teknologi yang dalam penggunaan media audio visual era sekarang. Maka dari itu, film ini dinilai sukses menjadi sebuah media propaganda yang mampu mempengaruhi pikiran rakyat kala itu bahkan hingga sekarang.

Sempat dihentikan penayangannya di era Reformasi, film yang dirilis tahun 1984 ini belakangan mulai banyak ditayangkan kembali di stasiun televisi baik nasional maupun swasta. Hal tersebut menimbulkan banyak perdebatan mengenai relevansinya di era sekarang. Meskipun terlibat banyak kontroversi, Abdurakhman menyatakan bahwa film ini masih sangat relevan sebagai konsumsi anak muda sekarang. Menurutnya, film ini memiliki fungsi edukatif dari sejarah itu sendiri agar dapat dijadikan pelajaran dalam kehidupan keseharian dan agar setiap manusia dapat belajar dari masa lalu. Sejarah juga mengajarkan tentang contoh yang sudah terjadi agar seorang menjadi arif dan sebagai petunjuk dalam perilaku agar tidak jatuh ke lubang yang sama.

“Jangan sampai terulang peristiwa ini. Maka ini dibuat menjadi sebuah pembelajaran gitu ya dan tentu ada juga menjadi satu fungsi inspirasi film itu dimana sejarah itu untuk memperkuat identitas dan mempertinggi dedikasi sebagai suatu identitas,” tegasnya.

Amanda juga menyampaikan pandangannya sebagai seorang pemuda. Ia merasa penayangan film ini masih cukup relevan dan tidak terlalu mempermasalahkannya. Namun, perlu digaris bawahi bahwa penonton harus tetap bijak mengambil esensi dari film ini dan melihatnya dari berbagai sudut pandang. Masyarakat bisa mempelajari sejarah dari film ini, tetapi juga harus bisa menyikapi dengan bijak adegan-adegan yang dinilai memuat banyak unsur kekerasan di dalamnya.

“Anak muda jaman sekarang 'kan sangat kritis ya. Film ini ditayangkan sah-sah aja karena balik lagi ke orangnya 'kan sekarang pada kritis dan pastinya bakal ngeliat dari berbagai sudut pandang,” ujarnya.

‌‌

Kontroversi Pembuatan Film G30S PKI: Fakta-Fakta yang Tak Sesuai

Kontroversi mengenai film ini diperdebatkan mulai dari berbagai sisi. Salah satunya seperti adanya adegan yang didramatisasi untuk membuat kesan PKI adalah sosok jahat menjadi lebih terasa, seperti adegan di mana para Gerwani menyilet-nyilet tubuh para Jenderal. Dikutip dari CNN Indonesia, profesor dan antropolog Universitas Amsterdam, Saskia Eleonora Wieringa, menyatakan bahwa memang Gerwani berada di Lubang Buaya, menjelang insiden G30S terjadi. Namun, keberadaan mereka bukan untuk mempersiapkan pemberontakan, melainkan untuk latihan Dwi Komando Rakyat (Dwikora).

Selain itu, dalam propaganda Orde Baru, diceritakan bahwa PKI mencungkil bola mata para jenderal. Dikutip dari Tempo, dokter termuda dalam tim forensik yang bertugas melakukan visum pada jenazah para jenderal, Prof. dr. Arif Budianto, mengatakan bahwa di tubuh para jenderal memang terdapat bekas tembakan dari jarak dekat, namun pencungkilan bola mata tidak ada. Para dokter meyakini, kondisi mata para korban terjadi karena pembusukan.

Tak hanya dari sisi tindak kejatan yang dilakukan PKI, terdapat pula fakta yang tidak dibenarkan dalam film tersebut. Dalam film, Dipa Nusantara Aidit selaku Pemimpin PKI, digambarkan melakukan rapat pra pemberontakan sembari merokok. Padahal, semasa hidupnya, Aidit sendiri tidak merokok. Hal ini ditegaskan oleh anak-anak Aidit yang bernama Iwan dan Ibaruri. Mereka mengungkapkan, tidak pernah melihat ayahnya merokok, meski, sesekali mungkin saja Aidit merokok.

Melihat adanya fakta-fakta yang masih simpang siur tersebut. Ada baiknya apabila kita melihat peristiwa G30S tidak hanya dari satu kacamata saja.

‌‌

Rekomendasi Film Lain Terkait Peristiwa Kelam 1965

Untuk melihat peristiwa 30 September 1965 dari sudut pandang lain, berikut beberapa rekomendasi film mengenai G30S, supaya fakta yang disampaikan dapat lebih berimbang dari sisi lain.

  1. Jagal (The Act of Killing)

Jagal adalah film dokumenter yang dirilis pada tahun 2021 dengan latar tempat di Sumatera. Film ini merupakan besutan dari sutradara Joshua Oppenheimer. Film ini bercerita tentang para pelaku pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap sebagai anggota PKI. Salah satu tokoh pembunuh yang disorot film ini adalah Anwar Congo. Ia merupakan seorang preman yang akhirnya direkrut untuk melakukan aksi pembantaian terhadap PKI. Dari film ini, kita dapat melihat cerita-cerita dari mereka yang berperan sebagai aktor “penjagal” para komunis. Film ini dapat memberikan sudut pandang lain mengenai peristiwa G30S, dimana dampak dari propaganda Orde Baru kemudian menghasilkan perilaku main hakim sendiri kepada mereka yang dicap sebagai PKI maupun simpatisannya.

  1. Senyap

Senyap adalah film dokumenter yang dirilis pada tahun 2014 dengan latar tempat di Sumatera. Dibuat oleh sutradara yang sama dengan Jagal, Senyap sering dianggap sebagai sekuel dari film Jagal. Namun, dalam film Jagal lebih menyorot dan menggunakan sudut pandang pelaku, sedangkan Senyap menggunakan sudut pandang korban. Dalam film ini, diceritakan tentang keluarga para korban pembunuhan massal 1965. Tokoh utama yang disorot dalam film ini adalah Adi, seorang penyintas dan keluarga dari korban pembunuhan massal 1965. Kemunculan film ini juga menuai pro-kontra, bahkan pada 29 Desember 2014 Lembaga Sensor Film (LSF) sampai mengeluarkan surat yang menolak Senyap. Film ini pun dilarang diputar untuk umum dan di bioskop.

  1. Shadow Play

Film besutan Chris Hilton yang dirilis pada 2003 silam merupakan salah satu film dokumenter yang menceritakan sisi lain dari kejadian G30S. Film ini mengambil sudut pandang para terduga PKI dan keluarganya. Dalam film ini ditampilkan potongan-potongan rekaman gambar yang diambil saat kejadian berlangsung dan wawancara dengan tokoh mantan tahanan politik 1965 seperti sastrawan Pramoedya Ananta Toer, dokter Sumiyarsi, Carmel Budiardjo, dan masih banyak tokoh lain yang menceritakan pengalaman mereka masing-masing. Film ini juga menceritakan mengenai dugaan terlibatnya Amerika Serikat dan CIA dalam peristiwa tragis ini. Dengan narasi yang dibawakan oleh Linda Hunt, Hilton menyajikan tragedi 1965 dengan gamblang dan jelas di film ini.

  1. 40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy

Berlokasi syuting di Pulau Jawa dan Bali, film dokumenter ini digarap oleh seorang antropolog bernama Robert Lamelson dari tahun 2002-2006. Sama seperti Shadow Play, film ini mengambil sudut pandang lain dari kejadian G30S yaitu dari sudut pandang keluarga pengusaha Tionghoa, keluarga petani beragama Katolik dan Islam, anak pemimpin partai pro PKI di Bali dan seorang anak yang lahir pada era tahun 1990-an tetapi ikut menjadi korban. Film ini menceritakan tentang efek pribadi dari pembunuhan di Indonesia tahun 1965-66 dimana banyak masyarakat yang walaupun setelah berpuluh-puluh tahun kejadian G30S berlalu, masih mendapatkan banyak stigmatisasi, intimidasi, dan perlakuan sewenang-wenang karena dinilai terlibat gerakan komunisme.

  1. The Years Living Dangerously

Film garapan Peter Weir yang diangkat dari novel dengan judul yang sama ini dirilis pada tahun 1982 silam. Dibintangi oleh Mel Gibson, film ini bercerita mengenai jurnalis internasional yang berada di Indonesia di masa sebelum, saat berlangsungnya, dan sesudah peristiwa G30S dimana kala itu kebebasan pers di Indonesia sangat dibatasi. Mel Gibson memerankan tokoh Guy Hamilton, seorang jurnalis Australia yang bekerja untuk Australia Broadcast Service yang kala itu menaruh perhatian besar terhadap perkembangan situasi politik Indonesia. Meski tidak cukup menjawab latar belakang kejadian G30S, film ini dapat memperlihatkan bagaimana pandangan dunia Barat terhadap Indonesia dan gambaran kondisi rakyat yang hidup di bawah selimut kemiskinan, berbanding terbalik dengan kondisi glamor para elit politik masa itu.

  1. You and I

Film dokumenter besutan sutradara Fanny Chotimah ini baru saja dirilis pada September 2020 lalu. Film ini mengisahkan persahabatan antara dua sahabat eks tapol yaitu Kaminah dan Kusdalini yang 50 tahun silam bertemu di penjara karena dituding sebagai bagian dari PKI. Mereka harus berjuang menjalani masa tahanan tanpa adanya proses pengadilan. Bahkan, selepas keluar dari penjara mereka masih harus menghadapi stigma dari masyarakat dan penolakan oleh keluarga sendiri. Film berdurasi 72 menit ini sukses menyabet banyak penghargaan, salah satunya penghargaan di CPH: DOX 2021, festival film dokumenter Kopenhagen, Denmark, untuk kategori pendatang baru terbaik pada awal Mei 2021. Film ini berhasil menyajikan kesan lain dari peristiwa G30S melalui dua sosok dalam film dengan kisah yang menyentuh rasa kemanusiaan.

‌‌

Sumber:

Aditya, Rifan. (2020, September 28). Sinopsis Film Jagal, Perjalanan dan Imajinasi Kelompok Pembunuh. Retrived from https://www.suara.com/entertainment/2020/09/28/154257/sinopsis-film-jagal-perjalanan-dan-imajinasi-kelompok-pembunuh?page=all

Amindoni, Ayomi. (2021, May 9). Film You and I: 'Dialog dua generasi' antara sineas muda dan dua perempuan eks tapol 65. Retrieved from https://www.bbc.com/indonesia/majalah-56956262

Muchlis. (2015, October 1). Film The Years of Living Dangerously: Memahami Peristiwa 1965 dari Perspektif “Barat”. Retrieved from https://www.kompasiana.com/muchlisjogja/560cb3c6bd22bdbd070b0257/film-the-years-of-living-dangerously-memahami-peristiwa-1965-dari-perspektif-barat?page=all#section1

Nugroho, Yudi Anugrah. (2017, September 29). Film Shadow Play Menawarkan Sisi Lain Peristiwa 1965. Retrieved from https://merahputih.com/post/read/film-shadow-play-menawarkan-sisi-lain-peristiwa-1965

Sedayu, Agung. (2015, Desember 27). Kaleidoskop Film 2015: Senyap Paling Dicari dan Kontroversi. Retrived from https://seleb.tempo.co/read/730986/kaleidoskop-film-2015-senyap-paling-dicari-dan-kontroversi/full&view=ok

Warta Kota. (2020, September 27). Ini Sinopsis Film Shadow Play yang Bertema G30S/PKI yang Melibatkan Artis Hollywood. Retrieved from  https://wartakota.tribunnews.com/2020/09/27/ini-sinopsis-film-shadow-play-yang-bertema-g30spki-yang-melibatkan-artis-hollywood?page=all.

‌‌

Yuliawati dkk. (2016, September 30). Lapisan Dusta di Balik Legenda Kekejaman Gerwani. Retrived from https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160930103757-20-162339/lapisan-dusta-di-balik-legenda-kekejaman-gerwani

Antara. (2011, Oktober 6). Tempo. Retrived from https://metro.tempo.co/read/1514259/pasien-covid-19-rawat-inap-di-wisma-atlet-kemayoran-menyusut-tinggal-252-orang

Raditya, Iswara N. (2021, September 29). Tirto. Retrived from https://tirto.id/film-pengkhianatan-g30s-pki-fakta-sejarah-atau-propaganda-orba-eiZe

‌‌

Teks: Afifa Ayu
Kontributor: Rizky Mahardhika
Ilustrasi: Adelia Febiyanti
Editor: Giovanni Alvita

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!