Mencari Pelukan Tuhan

Redaksi Suara Mahasiswa · 18 September 2022
3 menit

Semburat merah menyambut para penontonnya yang sudah bergumul di pinggir pantai sejak setengah jam yang lalu. Mengucapkan salam sekaligus mengirimkan pesan perpisahan tanda tugasnya telah usai.

Perpisahan memang akan selalu ada, entah untuk siapapun dan apapun. Walau terkesan menyakitkan, tapi sesungguhnya banyak harta karun berharga yang dibawa olehnya.

Setidaknya itu yang bercokol di pikiran Lanaya sejak tadi.

Ia harus tetap sadar untuk bisa bertahan hidup. Dan, pemikiran itulah yang setidaknya memberikan sepuluh persen nyawa untuknya agar tetap bernapas dengan baik. Berulang kali ia menenangkan diri. Menjauhkan tangannya dari benda tajam yang ia temukan di laci kamarnya siang tadi.

Benda itu hanya berjarak lima sentimeter dari urat nadinya, jika ia mampu, sudah pasti dirinya kini terbaring di rumah sakit dengan kondisi tak berdaya. Penuh dengan darah di sekitar pergelangan tangannya. Namun, dengan anggun sinar mentari menggapainya. Pancarannya mengarah tepat di kulit yang sebentar lagi akan terluka.

Ia berubah pikiran. Bukan, ini bukan jalan cerita yang tepat untuk mengakhiri kisahnya. Ia ingin hidup. Meskipun ia tahu, jauh di lubuk hatinya ia lebih menginginkan kematian.

Ibunya pernah bilang, ia adalah matahari, yang menyinari keluarga mereka sampai akhirnya ia tahu bahwa ibunya tidak lebih dari seorang pendongeng. Tidak ada matahari, tidak ada sinar kebahagiaan, tidak ada cerita indah seperti yang setiap malam diceritakan padanya sebelum tidur, dan tidak ada keluarga baginya. Semuanya hanya fiksi fantasi yang sengaja diciptakan untuk menenangkan hati rapuhnya.

Lanaya menatap sisa-sisa cahaya di sore itu. Andai tuhan memanggilnya, detik itu juga ia akan menyanggupi. Karena baginya, tidak ada lagi yang menahannya untuk berlama-lama di dunia.

Kita tidak pernah tahu apa yang akan kita lalui, setidaknya untuk satu detik ke depan. Entah kematian yang akan menjemput di ujung gerbang sana, atau suka cita dari orang-orang tercinta. Baginya, keduanya tidak penting. Yang dia inginkan hanya hari ini dia bisa tahu siapa dirinya dan kenapa Tuhan begitu menginginkannya untuk tetap ada di bumi.

Ia belum tahu pasti. Ia hanya tahu, setiap detik dan setiap menit yang dihabiskan selama sisa hidupnya kini terasa mencekat. Mencekik tenggorokannya agar ia berhenti berteriak meminta pengampunan atas setiap dosa-dosanya. Bahkan ia sendiri sudah enggan memikirkan dosa, karena semua sudah menyatu dalam dirinya, dalam setiap tetes darahnya, juga dalam setiap hembusan napasnya.

Pukul sepuluh nanti ada tamu istimewa yang rela datang pagi-pagi, kamu layani dia dengan baik, mengerti?” perintah dari seseorang di seberang telepon sana terasa lebih seperti ancaman ketimbang perintah biasa.

Lanaya menarik napasnya, lalu memejamkan mata sejenak sebelum akhirnya mengembuskannya kembali. Hari ini ia terlihat begitu kacau. Entah karena belum menyentuh makanan sejak dua hari yang lalu atau karena ia harus bercengkerama lagi dengan orang-orang biadab yang bersedia membayarnya.

Laki-laki itu sudah pergi sejak sembilan jam yang lalu, tapi sampai detik ini sisa-sisa kehadirannya masih menganggu.

Malam ini ia bertekad untuk melangkahkan kakinya kesemua tempat ibadah. Mencoba mencari tahu seperti apa rasanya dipeluk dan diperhatikan oleh Tuhan. Namun jawabannya masih sama, ia kesulitan untuk menerka apa yang dimaksud dengan pelukan Tuhan.

Ia rindu Ibu. Tapi tidak ada yang tahu pasti apa yang dirindukannya. Apakahia rindu untuk bertemu atau untuk membunuhnya, karena wajahnya sudah tak lagi mampu diingat sebab ia dengan tega menyuguhkan anaknya pada seorang wanita yang hidup dengan menjual sesamanya.

Untuk sesaat ia lupa, bahwa ibunya telah ditelan neraka. Tidak, kesimpulan itu bukan dari kepalanya, melainkan dari gunjingan mulut-mulut di sekitar jasad ibunya. Semua orang yang datang mengucapkan berbela sungkawa, berpura-pura sedih lalu menghapus air mata mereka satu langkah setelah meninggalkan rumah duka.

Lanaya mungkin masih terbilang muda, tapi ia tidak sebodoh yang orang kira. Orang-orang itu datang bukan untuk memamerkan rasa simpati, melainkan untuk melihat seperti apa penerus dari pelacur cantik di kota.

Tepat di depan tempat ibadah pertama, ia berdoa. Doa apapun itu bukanlah urusan kita. Hanya ada dua hal yang harus kita ketahui dengan pasti. Ia merindukan ibunya. Ia merindukan Tuhannya.

Teks: Fathia Nabila Qonita (FIB UI)
Editor: Dian Amalia Ariani
Ilustrator: Amalia Ananda

Pers Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, dan Berkualitas!

*) Cerpen kontributor ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian dari tanggung jawab redaksi Pers Suara Mahasiswa UI.