Logo Suma

Mendambakan Ruang Aman bagi Jurnalis Perempuan

Redaksi Suara Mahasiswa · 22 Maret 2021
7 menit

International Women’s Day atau Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap tahunnya pada 8 Maret menjadi waktu untuk merefleksikan ketimpangan yang masih terjadi pada perempuan, untuk mendorong lebih banyak perubahan, dan untuk merayakan perjuangan seluruh perempuan yang telah memainkan peran penting dalam upaya mewujudkan suatu kesetaraan bagi perempuan. Peringatan ini menjadi sangat krusial untuk menyadarkan kita semua akan kondisi-kondisi ketidaksetaraan yang masih terjadi pada perempuan. Sebab, sebagaimana dikutip dari laman United Nations (UN), “The world has made unprecedented advances, but no country has achieved gender equality.

Ketidaksetaraan gender dapat ditemukan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, di antaranya adalah di tempat kerja. Salah satu industri yang cukup menonjol dalam hal ketidaksetaraan gender adalah industri media. Jika melihat pada data, saat ini, industri media masih sangat didominasi oleh laki-laki. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat bahwa anggota perempuan dalam organisasinya hanya 30% dari keseluruhan anggota atau 344 orang, sedangkan anggota laki-laki ada sebanyak 1502 orang. Tidak hanya dari segi jumlah, para jurnalis perempuan ini juga sering kali mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dalam bekerja, seperti pelecehan seksual saat meliput atau ujaran seksis dari atasan maupun jurnalis lain. Ironisnya, mereka tidak selalu mendapatkan keadilan karena ketiadaannya sebuah ruang aman bagi mereka.

Ruang aman sendiri merupakan tempat atau kondisi yang mendukung kebutuhan perempuan, serta melindungi dan membela para perempuan yang mendapatkan pelecehan seksual dan diskriminasi gender. Ketua Divisi Gender, Anak, dan Kaum Marjinal AJI, Nurul Nur Azizah, menyatakan bahwa banyak kasus yang tergolong kekerasan seksual dan diskriminasi gender terjadi di kalangan jurnalis perempuan. Namun, hanya sedikit yang mendapatkan respons secara hukum, sedangkan laporan kasus lainnya akan dibiarkan atau justru terjadi victim blaming. Hal ini menunjukkan bahwa ruang aman bagi jurnalis perempuan di Indonesia masih menjadi isu besar.

Dalam menjalankan pekerjaannya, jurnalis perempuan tidak hanya menulis artikel di ruang kantor, melainkan juga harus turun lapangan untuk  narasumber atau melakukan liputan demi mendapatkan bahan berita. Tuntutan pekerjaan tersebut nyatanya memunculkan potensi terjadinya kekerasan seksual terhadap jurnalis perempuan. Berdasarkan penuturan dari Nurul, dalam rangka memperoleh berita dari narasumber itulah tercipta suatu relasi kuasa antara jurnalis dengan narasumber. Relasi kuasa ini menyebabkan banyak jurnalis perempuan harus berusaha menahan diri ketika mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan dan diskriminasi gender.

“Kalau misal ada berita, kita membutuhkan statement dia (narasumber—red), itu mungkin yang juga jadi pengaruh kenapa selama ini di lembaga X, bahwa humas dari lembaga itu suka berbicara seksis dan menggoda dan merayu. Cuma, karena kita sungkan, karena kita merasa bahwa narsum itu kita butuhkan, dalam artian untuk dia berbicara, makanya kita cuma nahan-nahan atau ditelan sendiri gitu,” cerita Nurul.

Tidak hanya dari narasumber, perlakuan serupa juga datang dari sesama jurnalis. Industri media yang didominasi oleh laki-laki tadi juga pada kenyataannya menciptakan perilaku seksis terhadap jurnalis perempuan. Nurul juga menceritakan bahwa baik di kantor, partai, atau asosiasi, jurnalis laki-laki sering melontarkan candaan yang seksis kepada jurnalis perempuan.

Hal yang sama terjadi pada mantan wartawan Tempo, Bunga Manggiasih. Ia menceritakan pengalamannya ketika menjadi calon reporter dan harus menerima pernyataan yang kurang nyaman dari sesama jurnalis. “Nah ketika rapat perencanaan kadang-kadang ada ujaran yang, moga-moga sekarang nggak terjadi aku nggak tahu juga kan gitu ya, kaya ‘Ya udah kirim yang perempuan aja, siapa tau luluh, kalau ditungguin lama sama anak perempuan masih muda lagi’ gitu kan, jadi hal-hal seperti itu yang, ya kami sebagai calon reporter cara itu ya nggak protes juga ya,” ungkap Bunga.

Kondisi ini sayangnya masih banyak terjadi di kalangan jurnalis perempuan lainnya. Berdasarkan Survei Kekerasan Seksual di Jurnalis yang dilakukan oleh AJI pada tahun 2020, tercatat 25 dari 34 jurnalis yang menjadi responden survei pernah mengalami kekerasan seksual dan di antaranya pernah mengalami kekerasan seksual lebih dari satu kali. Kekerasan seksual kebanyakan terjadi pada saat sedang melakukan liputan, seperti di kantor pemerintahan, rumah narasumber, gedung DPR/DPRD, dan ruang pers. Adapun untuk pelakunya juga bervariasi, mulai dari pejabat publik, narasumber non-pejabat publik, atasan dan teman di kantor, serta sesama jurnalis beda kantor.

Meskipun kejadian kurang menyenangkan tersebut terjadi karena tuntutan pekerjaan, tapi banyak kantor media masih belum mampu menyediakan ruang aman bagi para jurnalis perempuannya. Berdasarkan survei yang sama, hanya satu kasus yang diproses dan diberi pendampingan. Sementara, untuk kasus lainnya mendapatkan tanggapan berupa direspons tapi tidak dilanjutkan, disalahkan, diintimidasi pelaku, diintimidasi tempat kerja pelaku, diintimidasi oleh kantor, dianggap lazim sebagai risiko kerja, dan yang paling banyak adalah tidak ditanggapi.

“Kalau dari survei dan aku juga merasakan hal yang sama memang pertama budaya seksis dan juga isu ini tuh, masih sangat ketara seperti maskulin dan patriarki. Kadang orang yang bersuara dianggap lebay dan dianggap bercanda, (seperti—red) ‘gitu aja sensi’, hal-hal seperti itu disepelekan,” terang Nurul.

Selain kekerasan seksual, jurnalis perempuan di beberapa media mainstream juga menghadapi diskriminasi dalam hal penugasan. Dalam tugas peliputan, laki-laki lebih sering diterjunkan untuk meliput peristiwa, seperti isu nasional, bencana, politik, hukum, dan sebagainya. Sebab, hanya laki-laki yang dinilai mampu melakukannya karena fisik yang lebih kuat. Sementara, perempuan ditempatkan di pemberitaan yang terkesan tidak terlalu memakan banyak energi.

“Aku tuh malah ditempatkan di parenting, jadi masih ada subjektivitas untuk tidak based on assessment untuk menempatkan orang, tapi ini tuh kayak langsung menganggap bahwa perempuan yang gampang-gampang aja lah, entah itu liputan-liputan di gedung-gedung dan sebagainya, dan bagian yang di lapangannya tuh biar laki-laki aja gitu,” tutur Nurul.

Masalah tidak berhenti sampai di situ, jurnalis terkenal sebagai profesi yang tidak mengenal waktu karena adanya tuntutan untuk terus memproduksi berita secara update. Adanya fakta ini menjadi rintangan bagi jurnalis perempuan dalam berkarir, terutama mereka yang telah menikah dan memiliki anak. Kondisi ini diperparah dengan kenyataan adanya stereotip umum dalam pembagian peran antara suami dan istri sehingga banyak perempuan masih dibebani tambahan tanggung jawab untuk mengurus rumah tangga dan anak.

Bunga menceritakan bahwa di tempatnya bekerja dulu, sempat ada editor yang meminta waktu untuk mengurus anak balitanya. Kemudian, salah satu pimpinan meminta editor tersebut untuk cuti panjang, ketimbang mundur. Cuti panjang memang terlihat menjadi opsi yang lebih baik dan bijak, tapi menurut Bunga, hal ini dapat berimplikasi pada dua hal: Pertama, cuti panjang biasanya tidak dibayar. Kedua, jenjang karir menjadi terhambat dikarenakan dalam periode yang sama dengan saat cuti, laki-laki yang seangkatan dengannya akan bisa lebih maju dan mendapatkan nilai yang lebih cepat untuk dapat naik jenjang kariernya.

“Jadi ketika ada jam kerja yang panjang, sementara ada anak yang beban pengurusannya lebih diberatkan ke perempuan daripada laki-laki, tentu itu akan sangat berpengaruh pada urusan karier perempuan, gitu ya. Kalau tempat kerjanya tidak cukup fleksibel dan memberi beban kerja yang sangat berat ketika masih ada beban yang lain, ya perempuan yang merasakan akan memilih untuk mencari tempat yang bisa mengakomodir kepentingan-kepentingannya dengan lebih optimal,” tegas Bunga.

Lebih lanjut, berkaitan dengan faktor biologis perempuan, yakni mengenai cuti hamil. Nurul menjelaskan bahwa cuti hamil selama tiga bulan sudah banyak diterapkan di kantor-kantor media. Akan tetapi, ia masih menemukan bahwa ada jurnalis perempuan yang tidak mendapatkan cuti hamil karena statusnya sebagai kontributor. Akibatnya, jurnalis tersebut ketika hamil, masih tetap harus bekerja. “Itu yang menjadi masalah lain yang juga pelik di dunia jurnalis, karena ketika kontraknya bukan karyawan tetap, seperti freelance atau kontributor itu bisa aja kita nggak dapat hak kita, entah itu BPJS, cuti-cuti, libur juga gitu. Jadi, ada beberapa hak yang nggak bisa diperjuangkan oleh karyawan tersebut,” jelas Nurul.

Masih berkaitan dengan kondisi biologis, baik Bunga dan Nurul mengaku bahwa hanya sedikit kantor media yang menyediakan ruang laktasi bagi jurnalis perempuan yang masih menyusui.  Selama Bunga masih bekerja sebagai jurnalis, kantor media tempatnya bekerja tidak menyediakan ruang laktasi. Namun, kantor lamanya itu pada akhirnya menyediakan ruang laktasi yang cukup nyaman, bahkan melengkapinya dengan kulkas khusus untuk hasil pompa ASI. Berbeda dengan kantor lama Bunga, Nurul menjelaskan bahwa berdasarkan survei yang dilakukan AJI, hanya terdapat sekitar 5 perusahaan media di Jakarta yang menyediakan laktasi yang layak. Selebihnya, masih ada yang kurang layak atau bahkan tidak ada sama sekali.

Cerita-cerita dari Bunga dan Nurul, serta survei-survei yang dilakukan oleh AJI memperjelas urgensi terciptanya ruang aman bagi jurnalis perempuan. Guna tercapainya hal tersebut, Bunga dan Nurul membagikan saran-saran yang perlu dilakukan di industri media. Menurut Bunga, hal yang paling pertama perlu dibentuk adalah kesadaran dari para stakeholders untuk menciptakan kebijakan yang lebih ramah perempuan. “Jadi menyamakan pandangan para pimpinan yang bisa menentukan dan mengubah struktur dan sistem organisasinya itu untuk paham perbedaan gender, itu berujung ke perbedaan juga pengalaman sosial dan biologis yang berbeda gitu ya, jadi dari situ seharusnya perlu dibuat kebijakan kebijakan yang lebih ramah perempuan,” terang Bunga.

Kemudian, Bunga juga berpendapat bahwa di samping pelatihan peningkatan kapasitas kemampuan teknis, seperti menulis dan editing, perlu juga untuk diadakan pelatihan berkala mengenai isu gender bagi semua pihak di industri media. Sebagai tambahan, Bunga berbagi cerita bahwa tempatnya bekerja dulu, yaitu Tempo, tengah berupaya untuk memperbaiki kebijakan SDM agar ruang aman bagi jurnalis perempuan terealisasi dan ranah pemberitaan yang lebih peka terhadap gender dapat terbentuk. Terakhir, suatu Standar Operasional Prosedur (SOP) bagi jurnalis perlu dibentuk, khususnya guna mencegah pemberitaan yang bersifat seksis.

Sementara itu, Nurul mengaku bahwa dalam rangka pencegahan kekerasan seksual terhadap jurnalis perempuan, AJI telah melakukan upaya-upaya, baik pencegahan maupun penanganan. Dari pencegahan, salah satunya dilakukan dengan melakukan diskusi-diskusi yang berkaitan dengan kekerasan seksual dan isu gender, meskipun masih belum dilakukan secara sistematis. Selain itu, dari segi rekrutmen pun, AJI mensyaratkan anggotanya untuk mempunyai pandangan yang adil dan berperspektif gender. Kemudian, dari segi penanganan, AJI juga sudah mulai gencar melakukannya, mulai dari menjaga identitas korban dan melindungi korban dari gosip-gosip di luar, juga meminta bantuan dari Yayasan Pulih yang menjadi aliansi kerjanya. Meskipun begitu, upaya ini masih belum dilakukan sistematis secara kelembagaan, melainkan hanya berada dalam scope divisi gender. “Jadi ke depan, harapannya kita dapat memperluas aspek upaya-upaya ini, nggak cuma divisi gender aja yang bekerja, tapi semua organisasi, divisi dan semua lembaga jurnalis berperan menciptakan ekosistem yang aman dan nyaman bagi jurnalis perempuan,” harap Nurul.

Terakhir, Nurul juga menegaskan pentingnya SOP di industri media. Menurutnya, perusahaan media seharusnya memiliki SOP Kekerasan Seksual, mulai dari pencegahan, penanganan, dan pemulihan. Sebab, sudah menjadi kewajiban dari perusahaan untuk menjamin hak-hak atas rasa aman, keselamatan, dan perlindungan bagi para jurnalisnya. “Tugas dari AJI, PWI, IJTI, kita mendorong dan men-support, membantu audiensi dan advokasi ke Dewan Pers yang menaungi semua media itu. Sebenarnya ya, saling back up. Cuma memang perusahaan penting banget untuk terlibat langsung, karena bagi jurnalis, media itu kan rumah,” terang Nurul, “kadang walaupun udah dilaporkan masih banyak polisi yang nggak berperspektif gender, jadi memang PR-nya banyak, mulai dari penegak hukum hingga perlindungan secara hukum, (melalui—red) RUU PKS,” tambahnya.

Teks: Ninda Maghfira, Intan Eliyun
Kontributor: Ghozi Djayu, Dian Amalia
Foto: Almas Satria
Editor: Giovanni Alvita

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!


Referensi:

  1. Fadli, Ardiansyah. “AJI: Pekerja Media Didominasi Laki-Laki” https://www.alinea.id/nasional/aji-pekerja-media-didominasi-laki-laki-b1ZJB9skC. Diakses pada 19 Maret 2021.
  2. Luviana, et al. Jejak Jurnalis Perempuan: Pemetaan Kondisi Kerja Jurnalis Perempuan di Indonesia. Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen, 2012.
  3. Survei Kekerasan Seksual di Jurnalis Tahun 2020 oleh Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal AJI Jakarta
  4. United Nations. “Women’s Day” https://www.un.org/en/observances/womens-day. Diakses pada 20 Maret 2021.
  5. Womantalk. (2018, 5 November). Saras Dewi: Perempuan Perlu Ruang Aman yang Bebas dari Kekerasan Seksual. https://womantalk.com/news-update/articles/saras-dewi-perempuan-perlu-ruang-aman-yang-bebas-dari-kekerasan-seksual-AYK4k. Diakses pada 17 Maret 2021.