Logo Suma

Mendikbudristek: "Pak Prabowo Sudah Mengusahakan!"

Redaksi Suara Mahasiswa · 3 Mei 2025
3 menit

Dalam memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), Aliansi BEM Seluruh Indonesia (BEM-SI) menggelar aksi damai untuk menyuarakan hak-hak kependidikan pada Jumat (02/05) sore di depan gedung Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbudristek).

Aksi dimulai dengan orasi dari Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND). Namun, orasi tersebut tidak berlangsung lama dan titik aksi sempat kosong selama beberapa saat. Pada pukul 15.40, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Gerakan Mahasiswa Bersama Rakyat (Gemarak) mulai berdatangan dan menyampaikan orasi secara bergantian.

Orasi terus berlangsung seiring kedatangan mahasiswa dari berbagai kampus, seperti Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Universitas Gunadarma, UPN Veteran Jakarta (UPNVJ), Universitas Negeri Jakarta (UNJ), dan lainnya. Setelah beberapa waktu berorasi di depan gedung Kemendikbudristek, massa aksi berpindah ke Kementerian Pendidikan Tinggi (Kemendikti) sambil melakukan longmarch, kemudian disusul oleh massa dari Universitas Indonesia (UI).

Massa aksi terlihat membawa dan spanduk beserta poster yang berisikan keresahan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat, terutama dalam hal pendidikan.

Kementerian Menanggapi Massa Aksi

Setelah perwakilan dari berbagai kampus menyampaikan orasi, Brian Yuliarto selaku Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) menghampiri massa aksi untuk membuka dialog. Sebagai pembuka, Brian menyatakan bahwa orasi yang disampaikan mencerminkan harapan mahasiswa Indonesia dan masyarakat. Ia juga berharap mahasiswa terus bersikap kritis dan memiliki mimpi besar untuk memajukan bangsa.

Diskusi berlangsung tertib, dengan mahasiswa dari berbagai kampus menyuarakan isu pemerataan pendidikan, kekhawatiran atas kenaikan biaya UKT dan komersialisasi pendidikan, serta menguatnya kultur militerisme di lingkungan perguruan tinggi.

Mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah menjadi penanya pertama. Ia menyoroti rendahnya gaji pendidik dibandingkan anggota DPR, pejabat, dan presiden. Ia juga mempertanyakan komersialisasi pendidikan dan nasib anak bangsa yang belum mendapatkan akses pendidikan secara merata. “Jangan sampai pendidikanku menjadi bisnismu!” serunya.

Menanggapi hal itu, Brian menyatakan bahwa Indonesia masih termasuk negara berpendapatan menengah sehingga memiliki keterbatasan anggaran. “Karena itu, kita ingin menjadi negara makmur agar gaji para pendidik bisa naik seperti di negara maju. Kami berharap masa depan kemajuan Indonesia ada di tangan kalian,” ujarnya.

Selanjutnya, seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi mengeluhkan mahalnya biaya pendidikan dan riset, serta terbatasnya akses terhadap sumber penelitian, yang menyulitkan mahasiswa dalam menghasilkan karya ilmiah. Menjawab hal ini, Brian menjelaskan bahwa kementerian telah bekerja sama dengan Perpustakaan Nasional untuk menyediakan akses jurnal di seluruh universitas di Indonesia.

Camel, perwakilan dari UPNVJ, mengkritik kuatnya kultur militerisme di kampusnya yang masih berada di bawah naungan Kementerian Pertahanan. “Kultur militerisme masih kuat!” tegasnya. Ia menolak segala bentuk kerja sama dengan militer karena dianggap sebagai intervensi yang mengekang kebebasan akademik. Menanggapi hal itu, Brian menegaskan bahwa kampus harus menjadi ruang independen tanpa intervensi pihak mana pun, dan marwah akademik harus dijaga.

Perwakilan mahasiswa dari UNJ turut menyampaikan keluhan mengenai mahalnya Biaya Operasional Pendidikan (BOP). Brian menjawab bahwa pemerintah telah mengeluarkan surat edaran kepada seluruh perguruan tinggi agar menurunkan UKT.

Ia juga menekankan bahwa program beasiswa akan terus diperluas. “Saya selalu tekankan ke teman-teman rektor, jangan sampai ada mahasiswa yang putus kuliah karena masalah ekonomi. Tidak boleh ada itu. Kalau ada, laporkan ke rektor masing-masing,” tegasnya.

Sesi diskusi ditutup dengan pembacaan policy brief oleh perwakilan mahasiswa UI, yakni Ketua BEM FISIP UI 2025, Nevanya. Ia menyoroti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) terkait program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang dinilai memaksa mahasiswa untuk fokus pada magang, sehingga mengorbankan kehidupan kampus. Selain itu, mahasiswa terkesan diarahkan untuk menjadi pekerja, bukan wirausahawan.

Menanggapi hal tersebut, Brian menjelaskan bahwa undang-undang tersebut telah dikaji ulang, dan jumlah SKS MBKM tidak akan dipaksakan hingga 20 SKS. Sebelum Brian menutup dialognya, Aliansi Selamatkan Pendidikan Indonesia menyampaikan tujuh tuntutan yang dibawa pada aksi kali ini. Tujuh tuntutan tersebut berisikan:

  1. Meminta presiden agar mensejahterakan buruh;
  2. Berikan pendidikan merata bahkan sampai daerah yang terpelosok;
  3. Pendidikan mencapai 20% APBN;
  4. Berantas militerisme di ruang kampus;
  5. Pendidikan gratis, ilmiah, dan demokratis;
  6. Mendorong SATGAS PPKS Perguruan Tinggi;
  7. Hilangkan kapitalisasi dan komersialisasi pendidikan tinggi, contohnya program Student Loan (Pinjaman Pelajar) yang justru memberatkan mahasiswa dan pihak ketiga, melepas tanggung jawab pemerintah seluruhnya.

Massa UI dalam Menanggapi Dialog Kementerian

Dalam aksi kali ini, massa UI membawa 18 tuntutan yang dikerucutkan dengan fokus ke pendidikan Indonesia, seperti efisiensi. “Efisiensi pendidikan sangat mempengaruhi kehidupan kampus dari mahasiswa,” ujar Nevanya.

Nevanya mengaku bahwa jawaban Brian dari pertanyaannya belum konkret karena keterbatasan waktu. Ia juga mengungkapkan bahwa ia belum bisa memberikan pertanyaan secara luas dan belum bisa menjelaskan isi dari policy brief. “Pada akhirnya, saya memberikan policy brief ini kepada salah satu orang yang ada tadi untuk di-forward kepada bapak menteri,” tuturnya.

Massa aksi mendapatkan kesempatan untuk berdialog dengan Menteri Pendidikan Tinggi dan jajarannya, tetapi kekecewaan tetap mengemuka. Keterbatasan waktu dan jawaban yang dianggap terlalu diplomatis menimbulkan keresahan baru. Ungkapan seperti “Pak Prabowo sudah mengusahakan!” dan harapan diplomatis tentang peran mahasiswa sebagai pembangun bangsa dinilai tidak mengatasi keresahan yang mereka suarakan. Massa aksi juga kecewa karena Brian melemparkan keputusan akhir kebijakan kepada rektor masing-masing kampus, yang menjadi salah satu alasan utama mereka melakukan aksi.

Teks: Kinanti Anggraeni Hidayat, Alya Putri Granita, Grace Tereneysa

Editor: Dela Srilestari

Foto: Alia Putri Granita

Desain: Nabilah Sipi Naifah

Pers Suara Mahasiswa UI 2025

Independen, Lugas, dan Berkualitas!