Menentukan Nasib Permen-PPKS di UI, BEM FH UI Gelar Audiensi

Redaksi Suara Mahasiswa · 22 Juni 2022
6 menit

Hampir satu tahun sejak disahkannya Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi, pada Senin (20/06/2022) akhirnya UI memulai langkah pertama dalam mengimplementasikan Permendikbud-Ristek PPKS. Setelah pemilihan Satgas, UI mengadakan audiensi anti-kekerasan seksual di Ruang Prof. Boedi Harsono, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), oleh BEM FH UI. Seminggu sebelumnya, UI merilis nama-nama calon Panitia Seleksi (Pansel) Satuan Tugas (Satgas) PPKS UI.

Audiensi dihadiri oleh Badrul Munir selaku perwakilan Direktorat Kemahasiswaan (Dirmawa) UI, Puti selaku perwakilan Biro Legislasi dan Layanan Hukum (BLLH) UI, serta para Ikatan Keluarga Mahasiswa (IKM) UI. Namun, sangat disayangkan meja yang telah dipersiapkan untuk Rektor UI, Ari Kuncoro, dan Sekretaris UI, Agustin Kusumayati, terlihat kosong.

Audiensi dimulai pada pukul 10.00 WIB dengan pembukaan oleh Wakil Ketua BEM FH UI, Fadel Suaib. Kemudian dilanjutkan dengan pemaparan Kajian Rekomendasi Implementasi Permendikbud-Ristek PPKS di UI oleh Ketua BEM FH UI, Adam Putra Firdaus, bersama Wakil Bidang Kajian dan Aksi Strategis (Kastrat) BEM FH UI, Mikaela Rafagabriola.

Dilanjutkan dengan sesi pemberian tanggapan oleh Dirmawa UI dan BLLH UI atas paparan kajian. Untuk setelahnya dibuka dengan sesi tanya jawab dan ditutup dengan serah terima hasil kajian oleh BEM FH UI kepada pihak Dirmawa UI dan BLLH UI.

Tiga Mekanisme Penanganan Kekerasan Seksual yang Belum Memadai

Permasalahan kekerasan seksual telah lama menghantui kampus kuning. Adam menggambarkan kasus kekerasan seksual seperti fenomena gunung es, di mana kasus yang terlapor dan tercatat hanyalah segelintir dari sekian banyaknya kasus yang sebenarnya terjadi. Hal ini, berdasarkan kajian BEM FH UI, salah satunya disebabkan belum adanya mekanisme yang memadai untuk melindungi korban kekerasan seksual di perguruan tinggi.

“Salah satu alasan mengapa demikian pula (fenomena gunung es - Red) adalah belum adanya dan belum memadainya mekanisme yang mengatur atau melindungi korban kekerasan seksual itu sendiri,” papar Adam.

Menurut kajian, ketiga mekanisme saat ini yaitu P2T2 yang diatur dalam Peraturan Rektor UI No. 74 Tahun 2019, P3T2 yang diatur di dalam TAP MWA UI No. 8 Tahun 2004, dan SIPDUGA yang diatur di dalam Peraturan Rektor UI No. 28 Tahun 2018 belum efektif dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual.

Adam menjabarkan beberapa poin permasalahan yang terdapat di dalam ketiga mekanisme tersebut di antaranya hanya mengatur tindak pelecehan seksual saja, padahal berdasarkan versi Komnas Perempuan bentuk-bentuk kekerasan seksual mencakup 15 bentuk dan Permendikbud-Ristek PPKS menyatakan terdapat 21 bentuk kekerasan seksual.

Selain itu, kekerasan seksual disamakan dengan pelanggaran norma kesusilaan dimana hal tersebut dapat memberikan implikasi-implikasi yang berbahaya bagi korban, misalnya dapat menyalahkan atau mengkriminalisasi korban. “Sebab apabila kita berbicara norma kesusilaan, norma kesopanan, itu berpotensi membuat riwayat seksual korban, pakaian korban, menjadi variabel-variabel yang dipertimbangkan dalam penanganan kasus,” jelas Adam.

Poin berikutnya yang juga ditegaskan di dalam kajian adalah reduksi makna kekerasan seksual sebagai pelanggaran norma kesusilaan dan sopan santun semata. Tim kajian BEM FH UI menilai kekerasan seksual sejatinya termasuk ke dalam tindak pidana, hal ini sejalan dengan disahkannya RUU TPKS sebagai pengakuan bersama bahwasannya kekerasan seksual merupakan tindak pidana dan harus diperangi secara bersama-sama.

Poin-poin permasalahan lainnya yang turut dibahas yaitu dalam penanganannya ketiga mekanisme tersebut tidak melibatkan korban secara aktif, hanya berfokus pada sanksi terhadap pelaku tanpa memperhatikan pemulihan korban, tidak adanya ketentuan khusus terkait pemulihan korban, dan disamakannya mekanisme pelaporan serta penanganan kekerasan seksual dengan pelanggaran administratif lainnya.

Sampaikan Lima Rekomendasi

Berdasarkan kajian, BEM FH UI menyampaikan lima rekomendasi terkait implementasi Permendikbud-Ristek PPKS. Rekomendasi pertama yakni Rekomendasi Peraturan Rektor Universitas Indonesia tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.

Mikaela menjelaskan pembentukan peraturan rektor tentang PPKS diperlukan karena penanganan kasus kekerasan seksual memerlukan mekanisme yang berbeda dengan pelanggaran administratif lainnya. Sehingga dibutuhkan suatu peraturan terpisah yang mengatur secara spesifik dan komprehensif mengenai pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di UI.

“Bahwa Peraturan Rektor merupakan pilihan yang tepat untuk mewujudkan hal-hal tersebut (penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di UI - Red),” ujar Mikaela.

Terdapat beberapa poin yang menurut kajian BEM FH UI perlu untuk diakomodasi pada peraturan rektor tentang PPKS, antara lain adanya definisi kekerasan seksual yang memuat unsur-unsur kekerasan seksual seperti ketiadaan consent dan ketimpangan relasi kuasa, ruang lingkup kekerasan seksual yang mencakup bentuk-bentuk kekerasan seksual dan keadaan yang membuat persetujuan korban dianggap tidak sah, prinsip-prinsip dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, lalu pencegahan kekerasan seksual yang terdiri atas pembelajaran, penguatan tata kelola, dan penguatan budaya komunitas, terakhir penanganan kekerasan seksual yang terdiri dari pendampingan, perlindungan, pengenaan sanksi, dan pemulihan korban.

Rekomendasi kedua adalah pentingnya pemenuhan syarat dan ketentuan bagi Pansel dan Satgas di UI. Pihak UI perlu memastikan profesionalitas, akuntabilitas, dan independensi calon anggota Pansel dan Satgas dengan memastikan keanggotaan Pansel dan Satgas terdiri atas pendidik, tenaga kependidikan, dan mahasiswa dengan memperhatikan keterwakilan perempuan dan mahasiswa. Selain itu, memastikan juga anggota Pansel dan Satgas memenuhi kriteria yang dijabarkan di dalam Permendikbud-Ristek PPKS. Poin lainnya yaitu melakukan pemantauan dan evaluasi kinerja Pansel dan Satgas melalui Platform Portal PPKS, menjunjung tinggi transparansi dan membuka ruang partisipasi bagi sivitas akademika UI dalam pembentukan Pansel dan Satgas, serta merincikan mekanisme terkait Satgas.

Selanjutnya, rekomendasi yang disampaikan yakni pembentukan layanan pelaporan dan kekerasan seksual di UI. Jika UI memutuskan untuk menggunakan SIPDUGA sebagai layanan pelaporan kekerasan seksual, maka terdapat sejumlah perubahan yang direkomendasikan, seperti dipisahkannya saluran pelaporan pelanggaran umum dengan pelaporan kekerasan seksual, adanya tenggat penanganan laporan, disederhanakannya formulir pelaporan, dan adanya mekanisme khusus terkait tindak lanjut laporan kekerasan seksual.

Dalam hal ini, menurut kajian BEM FH UI pilihan terbaik bagi UI adalah dengan mengikuti ketentuan layanan pelaporan kekerasan seksual dalam Permendikbud-Ristek PPKS yaitu mempertimbangkan aksesibilitas layanan pelaporan bagi korban dan saksi dengan disabilitas, menyediakan layanan pelaporan dalam satu atau beberapa media, dan menunjuk Satgas untuk menangani layanan pelaporan.

Rekomendasi keempat yakni penguatan budaya komunitas dengan pencegahan kekerasan seksual melalui pengenalan kehidupan kampus. Rekomendasi terakhir mengenai peran UI dalam pemulihan korban kekerasan seksual. Dalam hal pemulihan korban, UI perlu memperhatikan arahan yang terdapat di dalam rekomendasi Satgas dan melakukannya berdasarkan persetujuan korban. Kemudian melalui Satgas, UI juga dapat mengintegrasikan layanan dengan lembaga-lembaga yang memadai baik dari dalam maupun luar kampus untuk dapat melakukan pemulihan terhadap korban. Lembaga-lembaga tersebut seperti UPTD PPA, Yayasan Pulih, atau LBH APIK.

Dirmawa dan BLLH UI: Semangat Kita Sama

Seusai presentasi kajian oleh BEM FH UI, pihak Dirmawa memberikan tanggapannya. Munir selaku perwakilan Dirmawa menyoroti KS yang tetap terjadi meskipun aktivitas kampus dilakukan secara daring. Ia juga menyebut bahwa Oktober lalu sempat diadakan audiensi dengan BEM dan BLLH untuk membahas Peraturan terkait Kekerasan dan Pelecehan Seksual serta Permendikbud-Ristek nomor 30 tahun 2021.

Sejak 2018 UI telah memiliki SIPDUGA (Sistem Pelaporan Dugaan Pelanggaran Universitas Indonesia) berisi mekanisme pelaporan tindakan yang melanggar, termasuk di dalamnya korupsi, penyalahgunaan wewenang, plagiarism, serta pelecehan seksual.

Munir mengklaim bahwa pada dasarnya, kanal pelaporan ini sudah berjalan, tetapi terdapat masalah dalam segi investigasi dan kemudahan aksesnya. Di dalam kanal ini juga termasuk konseling dari klinik satelit untuk mengakomodasi pelayanan yang lebih komprehensif.

“Semangat kita semua itu sama. Maka, ini bukanlah ajang untuk saling berkonfrontir satu sama lain. Isu kekerasan seksual harus diakui kompleks, tidak hanya kampus sebagai sebuah batasan fisik, tetapi perkembangan budaya dan pola komunikasi yang beragam juga berperan,” jelas Munir pagi itu.

Selain itu, ia menambahkan bahwa telah disusun berbagai materi mengenai kesehatan mental dan pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kampus untuk acara PKKMB tahun ini. Ia juga mengajak kolaborasi untuk membentuk sebuah buku pedoman guna membangun kesadaran mengenai isu ini. Ia menyarankan agar buku ini nantinya dapat disusun bersama-sama, dan disebarluaskan ke seluruh IKM UI sebagaimana buku MABA (Mahasiswa Baru).

Pihak BLLH pun satu suara dengan Dirmawa. Puti, selaku perwakilan BLLH menambahkan beberapa permasalahan dan ketidaksinkronan peraturan kampus yang telah telanjur dirancang, dengan Permendikbud-Ristek yang dirilis setelahnya. Ia menyebut bahwa beberapa rancangan peraturan yang dibuat ternyata memiliki beberapa poin yang jauh berbeda dengan peraturan dari Permendikbud-Ristek. Puti juga mempertanyakan mengenai pelatihan oleh Kemendikbud bagi satgas dan panitia seleksi. Ia menyebut bahwa tidak ada kejelasan mengenai waktu pelaksanaan pelatihan serta bagaimana pengalokasian sumber daya manusia antara panitia seleksi dan staf satgas.

Ketua BEM UI: Kemendikbud Jadikan UI Sebagai Barometer Implementasi Permendikbud PPKS

Hal pertama yang ditanggapi oleh Bayu selaku Ketua BEM UI ialah akan banyaknya celah hukum khususnya mengenai isu pelecehan seksual di lingkungan kebijakan kampus.

Di UI sendiri, sudah terdapat draft peraturan rektor, tetapi belum ada tindak lanjut mengenai draft tersebut. “Jika draft tersebut hanya disederhanakan dengan misalnya pembuatan buku atau SOP, menurut saya itu sangat kurang. Tentunya hal ini sangat tidak sejalan dengan apa yang dikatakan Pak Munir tadi, bahwa rasanya semangat kita sama. Namun, semangat Pak Rektor ternyata hanya omong kosong belaka,” jelas Bayu. Penekanan mengenai nama besar Universitas Indonesia di dunia perguruan tinggi nasional juga dilakukan oleh Ketua BEM UI ini. Ia mengklaim bahwa ada desakan dari pihak kemendikbud kepada UI mengenai implementasi nyata Permendikbud-Ristek PPKS. “Kemendikbud mengatakan kepada saya bahwa UI menjadi barometer bagi universitas lain. Jika UI belum membuat peraturan yang maksimal, maka universitas lain akan menjadikan itu sebagai dalih,” tambah Bayu.  


Ia lalu mempertanyakan eksistensi peraturan rektor terkait Permendikbud PPKS serta lini masa yang jelas dan gamblang terkait Permendikbud PPKS. Perwakilan dari BLLH UI menjawab pertanyaan ini dengan cukup singkat dan general. “Akan ada peraturan rektor dan akan disusun secara lebih spesifik. Akan ada mekanisme sanksi, pusat konseling terpadu, serta mengenai portal dan segala macam perlu diatur, mas. Mengenai impian dari Permendikbud PPKS nanti akan diatur,” jawab Puti dengan singkat. Selang kurang lebih semenit kemudian, setelah berdiskusi tipis, akhirnya perwakilan Dirmawa buka suara lini masa dalam implementasi Permendikbud. “Kami sangat terbuka jika ada berbagai masukan untuk kami, sehingga bisa dilakukan sosialisasi terbuka ke IKM UI,” tutup Munir.

Teks : Rifaldy Zelan, Dita Damara
Editor : Kamila Meilina, Dian Amalia
Foto : Rifaldy Zelan

Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, dan Berkualitas!