Mengais Kepingan Katastrofe Sosiopolitik Amerika Serikat melalui Album 21st Century Breakdown oleh Green Day

Redaksi Suara Mahasiswa · 12 Maret 2022
5 menit

Judul Album: 21st Century Breakdown
Artis: Green Day
Genre: Pop-punk
Tahun Rilis: 2009
Durasi: 1 Jam 9 Menit
Label: Reprise Records
Kredit: Billie Joe Armstrong (Penulis), Chris Dugan (Engineering), Ted Jensen (Mastering)

“Nothing’s ever built to last.”

Layaknya sebuah perkembangan karakter pada sebuah novel remaja, Green Day telah mengalami banyak perkembangan tak terduga sepanjang alur bermusiknya. Bermula dari sebuah band remaja yang berdomisili di California, Green Day berkembang menjadi band dunia yang terkenal dengan pesan-pesan kritik melalui liriknya. Sebagai salah satu pelopor band pop-punk dari Amerika Serikat sejak akhir abad ke-20, perubahan iklim sosiopolitik Amerika Serikat mengubah reaksi anggota Green Day terhadap lingkungan sekitarnya, yang turut mengubah banyak muatan yang tecermin dari lagu Green Day.

Album 21st Century Breakdown juga menandakan pendewasaan substansi dari diskografi band Green Day pascaabad ke-20. Dookie, salah satu album pionir dari Green Day yang dirilis pada tahun 1994 mencerminkan rasa pembangkangan remaja terhadap kekuasaan otoriter. Jika album Dookie merupakan fase pembangkangan dari remaja, maka album 21st Century Breakdown–yang dirilis pada tahun 2009–merupakan ketegangan dan klimaks dari alur cerita ketika sang remaja sudah sampai pada akhir titik kesabarannya dan memutuskan untuk melakukan perlawanan.

Iklim sosiopolitk Amerika Serikat pada tahun 1960-an yang penuh akan katastrofe menjadi sorotan utama dalam album ini. Pada masa ini, kehidupan di Amerika Serikat merupakan teror bagi masyarakat kelas pekerja, minoritas ras, gender, seksualitas, dan oposisi politik presiden Nixon yang konservatif. Beberapa sorotan dunia terhadap Amerika pada tahun ini antara lain adalah Perang Vietnam, gerakan hak sipil, hingga wabah HIV/AIDS yang tak kunjung mendapatkan pertolongan dari pemerintah Amerika Serikat. Sorotan tersebut menyebabkan gelombang amarah dan protes dari kelompok mahasiswa, masyarakat kulit hitam, dan LGBTQ+ di Amerika Serikat. Kerusuhan sipil menjadi momok utama dan makanan sehari-hari masyarakat Amerika Serikat di masa ini.

Semua kepingan katastrofe sosiopolitik di atas dapat kita kais melalui album 21st Century Breakdown dari lagu “21st Century Breakdown”, “21 Guns”, hingga “American Eulogy: Mass Hysteria/Modern World”. Album ini membawa kita ke sebuah perjalan kilas balik huru-hara sosiopolitik Amerika Serikat. Tiap kalimat dari liriknya merupakan kepingan-kepingan pesan yang penuh dengan kritik.

Di dalam lagu “21st Century Breakdown”, Green Day membawa kita ke masa-masa pelik pemerintahan konservatif Nixon. Dari awal lagu ini dimulai, Green Day menceritakan betapa sulitnya untuk hidup di Amerika Serikat sebagai kelompok menengah ke bawah yang masih berkegantungan terhadap bantuan pemerintah.

Born into Nixon, I was raised in hell,”
“A welfare child where the teamsters dwelled…”

Selain itu, Green Day juga menjelaskan seberapa antiimigrasinya Kementerian Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat (United States Department of Homeland Security) pada masa pemerintahan konservatif Nixon.

“Homeland Security could kill us all…”

Akhirnya, Green Day juga mengekspresikan ironi terhadap slogan kebebasan yang diagung-agungkan oleh Amerika Serikat, sebab Green Day menganggap bahwa kebebasan (liberty) adalah omong kosong, terutama bagi masyarakat kelas pekerja di mana kebebasan yang ada adalah kebebasan untuk mengikuti kata pemerintah dan juga terdapat praktik politik Amerika Serikat yang secara langsung menentang kebebasan individu–dalam konteks sosiopolitik masa pemerintahan konservatif Nixon, yaitu perampasan hak minoritas ras, gender, seksualitas, status sosioekonomi, dan intervensionisme Perang Vietnam.

“I praise liberty”
“A freedom to obey”
“It’s the song that strangles me”
“Well don’t cross the line…”

Sementara itu, dalam lagu “21 Guns”, Green Day menceritakan tentang huru-hara suatu peperangan. Video klip resmi dari lagu “21 Guns” pun mengisahkan kisah seorang laki-laki yang bersama kekasihnya melarikan diri dari pencarian polisi. Jika kita melihat tren kritik terhadap Amerika Serikat di tahun 1960-an pada album 21st Century Breakdown, maka lagu ini bisa saja mengkritik intervensi Amerika Serikat di Perang Vietnam. Singkatnya, lagu ini menjelaskan apa yang dilewati oleh seorang pasukan militer ketika sedang berperang yang pada akhirnya hanya menyisihkan rasa pilu dan penyesalan.

“Do you know what’s worth fighting for”
“When it’s not worth dying for?”
“Does it take your breath away”
“And you feel yourself suffocating?”

Amerika Serikat memiliki budaya yang mendorong masyarakatnya untuk mengapresiasi jasa para pasukan veteran perang. Terdapat suatu kalimat yang utamanya diucapkan apabila bertemu dengan seorang veteran perang, yaitu “thanks for your service,” yang diterjemahkan bebas ke dalam bahasa Indonesia  menjadi “terima kasih atas pengabdian Anda.” Mengabdikan diri kepada negara adalah sesuatu yang sangat berarti bagi rakyat Amerika Serikat. Bagaimanapun, Green Day menyatakan bahwa rasa penyesalan, kesedihan, dan pilu yang timbul pascaperang sulit untuk disembunyikan dan  melebihi sukacita penghargaan yang para pasukan itu dapatkan.

“Does the pain weigh out the pride
“And you look for a place to hide?”
“Did someone break your heart inside?”
You’re in ruins…”

Akhirnya, Green Day pun menambahkan bahwa pascaperang, terdapat rasa penyesalan yang sia-sia, layaknya meminta permohonan maaf ke batu nisan–yang mati dan belum tentu dapat menerima maaf–atas kesalahan yang telah diperbuat oleh seseorang.

“Like a liar looking for forgiveness from a stone…”

Pada lagu “American Eulogy: Mass Hysteria/Modern World”, Green Day mengalihkan kritiknya kepada Presiden dari Partai Republikan George Bush. Green Day mengekspresikan bahwa Bush telah gagal untuk menjadi Presiden Amerika Serikat karena ia telah menuntun masyarakat Amerika yang mayoritasnya adalah masyarakat kulit putih kelas pekerja untuk mendukungnya sebagai Presiden.

“True sounds of maniacal laughter”
“And the deaf mute’s misleading the choir”
“The punchline is a natural disaster”
“And it's sung by the unemployed…”

Selain itu, Green Day juga menjelaskan bagaimana masyarakat Amerika Serikat  semakin terpolarisasi secara sosioekonomi melalui gentrifikasi, suatu peristiwa di mana masyarakat kelas pekerja terpaksa harus meninggalkan suatu daerah akibat kenaikan nilai biaya tanah yang disebabkan dari influks masyarakat kelas atas yang merubah standar hidup masyarakat sekitarnya. Green Day mengindikasikan kritik terhadap korporasi Amerika Serikat yang menilai pekerja secara tidak setimpal.

“Well, I wanna take a ride to the great divide”
“Beyond the “up-to-date” and the neo-gentrified
“The high definition for the low resident
“Where the value of mind is not held in contempt…”

Ketiga lagu ini–“21st Century Breakdown”, “21 Guns”, dan “American Eulogy: Mass Hysteria/Modern World”–memang sarat akan substansi politik. Sementara itu, 15 lagu lain dari album ini memiliki ciri khas legasi lagu Green Day di akhir abad ke-20, yaitu pembangkangan remaja, rasa cinta yang melankolis dan membara, serta sikap antiotoritarianisme.

Melalui ketiga lagu ini, Green Day telah berhasil untuk menceritakan katastrofe sosiopolitik modern Amerika Serikat dengan untaian kata yang tajam, jelas, dan provokatif. Distorsi gitar listrik yang kuat dan tempo yang bersemangat turut menambahkan momentum terhadap lagu-lagu ini. Jika ada pepatah “life imitates art”, maka siapapun yang mendengarkan lagu ini akan mendapatkan kepuasan dalam menantang ironi dan penindasan yang ada di sekitarnya. Album ini sangat cocok untuk siapapun yang membutuhkan suatu motivasi dalam semangatnya untuk melawan kebodohan dan penindasan media arus utama mengenai Amerika Serikat. Seperti lagu Green Day yang diproduksi pascarilis album American Idiot, Green Day selalu memberikan muatan edukasional dan persuasif bagi pendengarnya.

Suatu kebaikan terkadang memiliki kekurangan. Seperti itulah album 21st Century Breakdown dari Green Day yang juga telah disoroti oleh banyak fan dan kritik musik mengenai substansi dan gaya bermusiknya. Green Day dianggap telah melenceng dari filosofi punk yang sebenarnya–filosofi antikemapanan–dengan mengikuti sebuah label untuk produksi musiknya. Banyak yang menyebutkan bahwa Green Day telah gagal menegakkan idealisme filosofisnya walaupun belakangan ini mereka cenderung vokal terhadap isu sosial dan politik.

Setiap band dan musisi memiliki ciri khasnya sendiri. Perjalanan dari suatu diskografi band juga tidak berjalan dalam bentuk yang linear, sama halnya dengan produk kesenian lain. Green Day merupakan salah satu band yang berkembang dengan cukup impresif sebab diskografi Green Day berkembang dari diskografi yang bersifat membangkang  menjadi diskografi yang berani mengkritik ironi. Gaya musik Green Day yang bertenaga dan berani juga menjadi nilai atraksi bagi para pendengar. Tentunya, Green Day memiliki beberapa permasalahan dalam perjalanannya–seperti dianggap melenceng dari filosofi punk. Namun, satu hal yang pasti adalah terdapat muatan diskografi Green Day yang berubah, terdapat kiprah Green Day yang tak akan pudar, yaitu kiprah musik berani dan melankolis.

Teks: Alan Indra
Editor: Dimas Rama S. W.
Foto: Istimewa

Pers Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, dan Berkualitas!