Sebuah telepon berdering dengan nyaring, mencuri perhatian Sasa, seorang jurnalis mahasiswa yang tengah meregangkan otot-otot jarinya setelah beberapa waktu menulis berita mengenai kasus kekerasan seksual yang melibatkan seorang mantan rektor di kampus tempatnya berkuliah. Khawatir panggilan tersebut mendesak, Sasa segera mengangkat telepon tanpa menaruh curiga.
“Ini kalian yang tulis, ya?” ujar penelepon memburu, “Saya hanya ingin menyampaikan, ini ada permintaan dari pimpinan untuk takedown berita itu.”
Sejenak Sasa berusaha mencerna apa maksud perkataan itu. Tak lama ia langsung menyadari bahwa yang dimaksud adalah berita kekerasan seksual oleh mantan rektor yang baru beberapa jam lalu terbit.
Tetap teguh dengan pendiriannya, Sasa tidak mengindahkan perintah untuk menurunkan berita tersebut. Namun, pihak penelepon tak kalah teguh. Ia kembali menghubungi dan menyatakan bahwa dirinya lagi-lagi diminta pimpinan untuk menurunkan berita. Sasa dan segenap tim redaksi masih bersikeras untuk mempertahankan berita yang kemudian masih ada hingga saat ini.
Di lain hari, peliputan mengenai perkembangan isu yang sama dilanjutkan. Salah seorang pimpinan kampus turut hadir dalam proses wawancara. Pimpinan kampus tersebut menghampiri Sasa dan salah seorang temannya sembari mengacungkan jari telunjuk ke hadapan keduanya.
“Kalian jangan sekali-kali menekan ya, kasus ini tuh sudah diserahkan (ke pihak luar kampus), kita dari kampus sudah dipanggil, jadi kalian jangan menekan,” ucap salah seorang pimpinan kampus.
Tercengang atas sikap pimpinan kampus, mereka merasa heran. “Di mana salahnya tulisan kita? Kita juga kan (melakukan) cover both side, kita wawancarai pihak kampus, pihak eksternal, bahkan ada tanggapan dari pihak korban,” ungkap Sasa.
Pers Mahasiswa Dibayang-bayangi Represifitas Kampus
Represifitas terhadap pers mahasiswa seperti halnya yang dialami Sasa sangat sering terjadi. Fadli, Koordinator Forum Pers Mahasiswa Jabodetabek (FPMJ) menyampaikan bahwa banyak laporan yang diterima FPMJ atas kasus-kasus tindak represifitas dan intervensi yang diterima pers mahasiswa.
“Rata-rata emang pers mahasiswa tuh banyak yang kena represifitas di kampus. Terutama setiap mengangkat berita-berita yang sensitif, ya, pasti represifitas itu ada,” ungkap Fadli.
Berdasarkan laporan yang diterima FPMJ, tindakan represif yang kerap kali diterima pers mahasiswa di antaranya perintah menurunkan berita, pemotongan dana, pembina yang ingin lepas tangan, telepon yang terus-menerus diterima pers mahasiswa, dan ancaman-ancaman akademik seperti pengurangan nilai. Fadli mengatakan bahwa tindakan represif tidak hanya dilakukan oleh para petinggi kampus, melainkan juga dari kalangan mahasiswa.
“Waktu itu salah satu contohnya terdapat pers mahasiswa (persma) yang mengkritik Fakultas Kesehatan. Reporternya diteror sama BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) dan pihak Fakultas Kesehatan. Mereka terus mendapatkan telepon, lalu dapat ancaman. Kebetulan waktu itu yang melakukan peliputan adalah mahasiswa dari Fakultas Kesehatan juga, sehingga jurnalis mahasiswa ini diancam kalau nilainya akan diturunin,” jelas Fadli.
Selain kasus-kasus yang diungkapkan oleh Fadli, Litbang Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) juga mencatat bahwa sepanjang tahun 2020-2021 terdapat 185 kasus represi yang ditujukan kepada pers mahasiswa. Bentuk represi terbanyak adalah teguran dengan jumlah 81 kasus, diikuti pencabutan berita (24 kasus), makian (23), ancaman (20), paksaan meminta maaf atas pemberitaan (11), penurunan dana (11), tuduhan tanpa bukti (6), penerbitan surat peringatan (4), teror (3), pelarangan aktivitas jam malam (1), dan dipukul oleh preman, tetapi bukan dari kampus (1).
Dalam diskusi mengenai pelindungan pers mahasiswa (27/04) yang diadakan oleh PPMI Nasional dan Dewan Pers melalui ruang virtual Zoom, Noval Kusuma (anggota Badan Pekerja Advokasi PPMI Dewan Kota Tulungagung) mengungkapkan bahwa kampus masih kabur dalam membedakan antara kritik dengan penghinaan.
“Saya rasa persma ini terbayang-bayang otoritas kampus, yang mana otoritas kampus mengatakan kita (pers mahasiswa) terbelenggu dalam kode etik sebagai mahasiswa untuk menjaga nama baik almamater. Poin itu harus dibedakan antara kritik dengan menghina kampus,” jelas Noval.
Arif Zulkifli, Ketua Komisi hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, di dalam diskusi yang sama menuturkan bahwa pers mahasiswa menjalankan fungsinya sebagai media yang melakukan kritik sosial. Namun, kritik sosial itu tak diindahkan sebagaimana halnya sebuah kritik, dan justru dipandang sebagai pencemaran nama baik sehingga tidak jarang para anggota pers mahasiswa menerima represi.
“Ada yang tidak bisa skripsi, ada yang bahkan sampai masuk pengadilan karena dianggap mencemarkan nama baik kampus dan lingkungan kampus,” terangnya.
Ade Wahyudin, Direktur Eksekutif LBH Pers, mengemukakan bahwa akar dari represi terhadap pers mahasiswa adalah belum adanya regulasi yang secara spesifik menyebutkan perlindungan terhadap pers mahasiswa.
“Regulasi kita hanya punya Undang-Undang Pers, itu pun hanya spesifik menyebutkan kepada perusahaan pers yang memang berbadan hukum. Sedangkan di lapangan banyak yang tidak berbadan hukum, di antaranya persma,” tutur Ade ketika diwawancarai oleh Pers Suara Mahasiswa UI (17/05).
Melalui forum diskusi, Arif sependapat dengan Ade, bahwa pers mahasiswa tidak memenuhi syarat berbadan hukum lantaran pers mahasiswa adalah sebuah badan yang bernaung di bawah universitas dengan bentuk bermacam-macam, salah satunya sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). “Pers mahasiswa itu berada dalam lingkupnya kampus sehingga tidak bisa masuk dalam lingkup perlindungan UU Pers,” ucap Arif.
Lebih lanjut, Arif menyatakan ada dilema yang tidak mudah: pada satu pihak Dewan Pers menghargai pers mahasiswa dan menginginkan perlindungan, tapi di lain sisi perangkatnya nihil. “Kita (Dewan Pers) memikirkan untuk membuat MoU (Memorandum of Understanding) dengan Kementerian Pendidikan,”
Ia pun menerangkan bahwa alasannya mengadakan perjanjian dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) adalah karena lembaga tersebut paling banyak menaungi kampus-kampus.
Lika-Liku Pembentukan MoU: Kacamata yang Berbeda antara Kepentingan Persma dan Kampus
Dalam mencapai kesepakatan untuk perjanjian kerja sama atau MoU dengan Kemendikbud, Arif menyatakan terdapat kendala teknis yang menghambat, yaitu Kemendikbud mendelegasikan perjanjian kerja sama kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti). Rupanya, dua lembaga tersebut memiliki bironya masing-masing yang pada prosesnya menyulitkan.
“Ini agak merepotkan, dan saya mengambil inisiatif untuk jalan saja dulu di level PKS (perjanjian kerja sama).” Tutur Arif.
Sebelum pembentukan PKS antara Dewan Pers dengan Ditjen Dikti, telah dilakukan focus group discussion (FGD) sebagai permulaan. FGD beberapa kali diadakan dengan mengundang kelompok pers mahasiswa dan pihak kampus. Setelah beberapa kali FGD, diperoleh kesimpulan bahwa pers mahasiswa sudah paham cara kerja, etika, dan kaidah jurnalistik. Pers mahasiswa juga telah terbiasa meliput isu-isu serius dan krusial. Mengkritik dengan melakukan investigasi.
Akan tetapi, kampus justru memiliki alur berpikir yang berbeda. Arif menuturkan respon kampus lebih memandang pers mahasiswa sepatutnya UKM lainnya. “Kalau dia (pers mahasiswa) nulis dan sebagainya dan itu tidak sesuai dengan kode etik, atau menyudutkan orang, atau mendiskreditkan orang, maka selayaknya dia harus diberi hukuman sebagaimana layaknya unit kegiatan mahasiswa lain,” jelas Arif menuturkan respon kampus.
Setelah FGD, Dewan Pers kemudian merancang PKS dengan Ditjen Dikti. Poin pertama dari isi PKS yakni ketika terdapat sengketa terhadap pers mahasiswa dengan pihak lain dalam hal aktivitas akademik, baik sengketa terhadap rektor, dekan, dosen, atau senior mahasiswa maka sengketa akan ditangani oleh Dewan Pers. Poin kedua, Dewan Pers dan Ditjen Dikti bersepakat saling membantu dalam pertukaran informasi demi peningkatan kapasitas para pers mahasiswa.
Hadirnya PKS bak angin segar bagi perlindungan pers mahasiswa. Kedudukan persma dalam penyelesaian sengketa kini sama dengan pers berbadan hukum, yaitu melalui Dewan Pers. Diharapkan melalui perjanjian ini persma tidak lagi mendapat tindakan represi dari pihak kampus.
Ade menyampaikan bahwa sebelum adanya PKS, sengketa yang menimpa pers mahasiswa seringkali tidak melalui penyelesaian hak jawab dan hak koreksi atas produk jurnalistik. Para jurnalis mahasiswa langsung dilaporkan ke kepolisian.
“Kenapa? Karena dianggap bahwa pers mahasiswa ini tidak terlindungi oleh UU Pers, sehingga mekanismenya seperti warga negara biasa yaitu dengan UU ITE,” tuturnya.
Celah Hukum dalam Perjanjian Kerja Sama Dewan Pers dan Ditjen Dikti
PKS hadir berperan menjembatani sengketa yang menimpa pers mahasiswa melalui Dewan Pers. Arif menuturkan, “Dewan Pers adalah lembaga etik, penyelesaian etik dilakukan dengan mediasi. Setelah diperiksa, materi yang dipersoalkan itu dicek apakah dia melanggar kode etik (jurnalistik) atau tidak, dan sebagainya.”
PKS menjadi langkah awal mengerucutnya fokus pada perlindungan pers mahasiswa dalam aktivitas jurnalistik. Namun, Noval memberi penjelasan bahwasanya masih terdapat celah hukum dalam PKS.
“Mengapa ini (PKS) memiliki celah hukum? PKS bukanlah sebuah produk hukum. Bahkan, dalam ketentuan-ketentuannya itu tidak dijelaskan terkait PKS itu harus seperti apa, ketentuannya seperti apa. Sehingga karena PKS ini tidak berkekuatan hukum, jadi tidak bisa untuk dijadikan sebagai landasan hukum,” terang Noval.
Serupa dengan penuturan Noval, Ade menyampaikan bahwa salah satu kelemahan dari PKS adalah tidak adanya sanksi. “Bahkan, bukan hanya di PKS ini, di MoU dengan pihak kepolisian dan MoU dengan kejaksaan itu juga sama (tidak terdapat sanksi). Dia (MoU) modelnya adalah nota kesepahaman. Karena memiliki visi yang sama, akhirnya kita bersepakat,” lanjut Ade.
Selain itu, Ade juga menuturkan bahwa PKS belum sepenuhnya cukup melindungi pers mahasiswa. “Ini bukanlah sebuah peraturan yang mengikat untuk semua orang karena kalau peraturan kan, dia mengikat semua orang, tapi kalau PKS dia hanya mengikat antara institusi (Dewan Pers dan Ditjen Dikti).” Jelas Ade. Dengan begitu, pers mahasiswa lain yang tidak dinaungi oleh Ditjen Dikti tidak tercakup di dalam perjanjian ini sehingga masih rentan akan represi dan intimidasi.
Langkah Berikutnya Bagi Perlindungan Persma
Meskipun begitu, Ade memandang PKS sebagai kemajuan yang patut diapresiasi. Akan tetapi, menurutnya akan lebih baik jika PKS dapat didorong menjadi Peraturan Menteri karena akan lebih berkekuatan hukum. “Bukan hanya orang kampus, tapi pihak penegak hukum juga harus menghormati (Peraturan Menteri), orang-orang di luar kampus harus menghormati, apalagi orang-orang di kampusnya,” tegasnya.
Tugas selanjutnya bagi pers mahasiswa dan pihak lainnya setelah adanya PKS adalah untuk mengawal implementasi serta menyosialisasikan PKS terutama di lingkungan kampus. Ade berharap pers mahasiswa dapat meningkatkan kegiatan jurnalistik serta mempertajam produk-produknya.
“Sehingga harapannya memang ke depannya kita lihat dulu terkait dengan implementasi PKS ini. Kalau ternyata implementasi PKS ini cukup berprogres dalam setahun atau dua tahun ke depan, ya kita harus mendorong bahwa ini harus dijadikan sebuah peraturan yang lebih pasti. Jadi, ada kepastian hukum bagi teman-teman melakukan kerja-kerja jurnalistik di kampus,” terang Ade.
Sebagaimana pula harapan Sasa, bahwa kampus seyogianya merangkul dan mendukung pers mahasiswa sebagai bakal jurnalis di masa yang akan. “Pers ini kan, calon bakal jurnalis yang seharusnya didukung, bukan malah dianggap jurnalis bohongan. Selain itu, PKS tetap menjaga independensi pers mahasiswa, disertai pelatihan untuk jadi pers yang independen,” ungkap Sasa.
Fadli tak luput menyampaikan harapannya, di mana yang ditulis oleh pers mahasiswa adalah kritik terhadap yang salah, bukan produk asal yang begitu saja dikerjakan. “Kalau harapan aku ya, kampus itu enggak menganggap pers mahasiswa sebagai musuh, sebagai lawan. Kita (pers mahasiswa) mengkritik, ya kampus harus sadar yang kita (pers mahasiswa) kritik juga memang kebijakan yang salah, kita (pers mahasiswa) nulis enggak asal, tapi berdasarkan riset,” tutur Fadli.
Harapan lainnya dari Fadli adalah agar para akademisi, pemimpin, dosen, dan mahasiswa tidak bersikap antikritik serta sadar akan adanya kebebasan akademik dalam berkehidupan di kampus.
Teks: Heva Sasqia Kumala, Alia Fatika Sentosa
Kontributor: Siti Aura
Editor: M. Rifaldy Zelan