Hijau, estetik, dan kekinian–itulah tiga kata yang melekat pada pesona matcha, si bubuk teh hijau asal Jepang. Eksistensi minuman satu ini memiliki tempat tersendiri di hati anak muda zaman sekarang. Secara popularitas, matcha berhasil melampaui minuman lain maupun saudaranya sendiri, green tea. Meskipun keduanya berasal dari daun teh Camellia Sinensis, matcha dan green tea memiliki karakteristik dan proses pengolahan yang berbeda. Hal inilah yang menjadikan keduanya sangat unik dari segi rasa, aroma, dan cara penyajian.
Secara etimologis, matcha berasal dari bahasa Jepang yaitu matsu (抹) yang artinya ‘menggosok’ atau ‘menggiling’ dan cha (茶) yang berarti ‘teh’. Matcha secara harfiah berarti teh hijau yang digiling menjadi bubuk halus lalu diaduk dengan air panas. Secara sederhana, matcha juga bisa disebut sebagai versi bubuk dari green tea.
Di balik cita rasanya yang khas, matcha ternyata menyimpan sebuah kisah panjang yang menarik. Dari yang hanya bisa dinikmati kalangan tertentu, kemudian beralih menjadi simbol gaya hidup kekinian anak muda. Lantas, bagaimana awal perjalanan matcha? Mari kita telusuri jejak sejarahnya lebih dalam.
Sekilas Sejarah Matcha
Sebelum menjadi tren global, matcha ternyata menyimpan sejarah panjang yang membentang dari Tiongkok hingga Jepang. Matcha berakar dari tradisi teh di Tiongkok sejak era Dinasti Tang, sekitar abad ke-7 sampai 10. Saat itu, teh disuguhkan kepada kalangan elit dalam bentuk batu bata yang dikukus, dipatahkan, digiling halus, dan diseduh dengan air panas.
Memasuki era Dinasti Song, pada abad ke-10 sampai ke-13, tradisi minum teh mengalami inovasi yang menarik. Daun teh mulai digiling menjadi bubuk halus, lalu dikocok bersama air panas sampai berbusa. Metode ini kemudian menjadi cikal bakal cara meminum matcha yang kita kenal sekarang.
Dari Tiongkok, tradisi minum teh pun menyeberang ke Jepang. Pada masa Kamakura (1185–1333), seorang biksu Buddha Zen bernama Eisai membawa bibit teh beserta cara penyajiannya dari Tiongkok ke Kyoto. Di Jepang, teh awalnya hanya digunakan dalam praktik meditasi biksu untuk menjaga fokus.
Namun ketika memasuki periode Muromachi (1336–1573), para samurai mulai mengonsumsi matcha setelah perang untuk memulihkan kondisi tubuh, menenangkan pikiran, dan menaikkan suasana hati. Mereka juga meniru upacara minum teh yang dilakukan para biksu guna mempererat hubungan dengan kalangan elit.
Pamor matcha sempat meredup pada era Edo karena masyarakat kelas bawah memilih teh yang lebih terjangkau bernama sencha. Baru pada zaman Meiji (abad ke-20), matcha kembali populer seiring perkembangan Jepang dan keterbukaannya terhadap dunia luar. Hingga kini, matcha berhasil mencapai puncak popularitasnya berkat tren hidup sehat selama pandemi Covid-19.
Panggung Matcha Di Kalangan Anak Muda
Dilansir dari The Japan Times, tren konsumsi matcha mulai berkembang sejak pandemi Covid-19, ketika masyarakat mulai menyadari pentingnya gaya hidup sehat dengan mengonsumsi bahan-bahan alami dan herbal. Sejak saat itu, minuman berwarna hijau ini mulai mendapat atensi dan perlahan menjadi gaya hidup modern.
Meningkatnya minat konsumen terhadap matcha turut mendorong pelaku Food and Beverage (F&B) menciptakan varian matcha yang unik. Fenomena ini juga terasa di lingkungan mahasiswa Universitas Indonesia (UI). Salah satunya, lewat kehadiran kedai “Sundrip.” Dalam waktu singkat, kedai ini berhasil membuka tiga cabang di lingkungan kampus, yakni di Fakultas Hukum (FH), Fakultas Teknik (FT), dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP).
Ekspansi kedai matcha tersebut menunjukan sinyal kuat bahwa minuman matcha digemari oleh mahasiswa UI, sejajar dengan kopi yang selama ini identik dengan gaya hidup anak muda. Matcha tidak lagi dipandang sebagai minuman tradisional, melainkan simbol tren kekinian yang melekat dengan gaya hidup dan estetika.
Popularitas matcha pun tak terbendung di media sosial. Saking ramainya, muncul frasa “semuanya di-matcha-in” sebagai bentuk lelucon dari cerminan tren matcha yang sedang naik daun. Tidak hanya minuman, kreativitas berbasis matcha merambah ke ranah makanan tak biasa, seperti nasi goreng matcha yang sempat viral dan mencuri perhatian netizen, dengan salah satu unggahan mencapai 3,4 juta views di akun media sosial X/Twitter @mishiiroo.
Namun di balik popularitas matcha ini, muncul pertanyaan penting, seberapa sehatkah matcha jika dikonsumsi rutin oleh remaja atau mahasiswa?
Kandungan Matcha
Dalam wawancaranya bersama Suara Mahasiswa UI (SUMA UI), Nurul Dina Rahmawati, dosen Departemen Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI mengungkapkan bahwa matcha mengandung antioksidan, seperti senyawa fenolik dan tanin yang diketahui dapat mencegah penyakit kronis.
“Kalau kita lihat, sebetulnya secara moderat ya, hampir sama dengan semua jenis makanan saya rasa. Jika dikonsumsi dengan moderat, saya rasa baik gitu ya, apalagi (dikonsumsi) dengan balance. Matcha ini memang diunggulkan dengan kandungan antioksidannya, seperti phenol-nya, kemudian tanin, (yang) sebetulnya itu adalah salah satu jenis-jenis dari antioksidan yang baik untuk mencegah kanker, penyakit tidak menular; seperti jantung, diabetes, dan lain sebagainya.” ujar Nurul.
Nurul menambahkan, dalam 100 gram matcha terkandung sekitar 17 gram protein nabati, 52 gram serat, dan 7 gram lemak sehat.
“Mulai dari serat, seratnya dia (matcha) banyak. Jadi, di setiap 100 gram matcha, itu total fiber nya sampai 52 gram. Jadi setengahnya sendiri itu serat. Apalagi yang kita maksud adalah bubuk matcha. Jadi, tinggi sekali karena memang dia bubuk daun green tea yang dikeringkan dan kemudian digiling. Kemudian total proteinnya tadi saya sebutkan 17, kemudian lemaknya sendiri dia (matcha) ada kok. Masih ada lemak, masih ada 7 gram. Itu lemak yang baik. Sejauh ini, yang saya lihat tidak ada yang mengecewakan kandungannya si matcha. Bahkan, dia (matcha) menjadi salah satu sumber untuk omega-3, asam lemak omega-3, which is bagus,” tambahnya.
Meski demikian, ia mengingatkan agar mahasiswa tidak terlena dengan label “sehat” yang disematkan pada matcha.
“Kita harus hati-hati, karena matcha yang dijual saat ini jarang disajikan dalam bentuk murni. Biasanya (matcha) ada tambahan susu, sirup, kental manis, bahkan topping seperti boba,” jelasnya. Pasalnya, tambahan seperti susu kental manis dapat secara signifikan meningkatkan gula, garam, dan lemak (GGL) dalam asupan harian.
Nurul juga menekankan bahwa penting untuk memperhatikan makanan atau minuman yang dikonsumsi bersamaan. Biasanya, matcha disantap bersama tambahan gula, topping, maupun cemilan tinggi lemak, gula, dan kalori seperti donat. Kombinasi tersebut dapat mengurangi manfaat sehat matcha dan berpotensi meningkatkan risiko obesitas.
Dampak Jangka Panjang Konsumsi Matcha
Meski perlu dikonsumsi secara bijak, matcha tetap memiliki sederet manfaat yang mengesankan. Berdasarkan penelitian Soraky, et.al (2022) yang berjudul The Therapeutic Potential of Matcha Tea: A Critical Review on Human and Animal Studies, konsumsi matcha secara murni dan rutin, dapat memberikan dampak positif bagi fungsi kognitif, memori, dan fokus. Bahkan, beberapa uji klinis acak mengungkapkan, konsumsi matcha murni dapat mengurangi stres dan kecemasan, sekaligus meningkatkan konsentrasi serta memori jangka pendek maupun panjang.
Pernyataan ini juga selaras dengan testimoni yang disampaikan oleh salah satu mahasiswi UI, Aliya, “Kalau lagi kumpul sama teman, matcha bikin suasana jadi lebih santai dan akrab, apalagi kalau ditemani cemilan seperti cake. Kalau sendirian, matcha bantu aku fokus dan rileks saat ngerjain tugas,” ungkapnya. Meski tak terlalu memperhatikan kandungan gizinya, ia mengaku lebih hati-hati jika rasanya terlalu manis.
Namun, Nurul tetap mengingatkan tentang bahaya natrium dari pengawet seperti natrium bikarbonat. Jika matcha dikombinasikan dengan makanan tinggi lemak dan garam seperti junk food, risiko hipertensi, diabetes, bahkan stroke bisa meningkat.
“Sekarang tuh masalahnya tidak cuma gula, tapi juga pengawet. Di mana pengawet itu kan biasanya terdiri dari natrium bikarbonat. Natriumnya itu yang berbahaya. Dia akan meningkatkan resiko darah tinggi, misalnya. Kemudian, ‘temannya’ siapa? Teman yang makan matcha tadi gitu, ya. Kalau ditemenin dengan gorengan dan junk food, tentu akan memiliki risiko kesehatan jangka panjang yang repot tuh. Baik itu diabetes, hipertensi, stroke itu akan menghantui,” tutur Nurul.
Tidak hanya itu, konsumsi matcha tanpa disertai pola makan yang seimbang juga akan menimbulkan gangguan metabolik. Kandungan zat anti-gizi seperti tanin dan kafein dalam matcha bisa menghambat penyerapan zat besi, terutama jika dikonsumsi bersamaan dengan suplemen atau makanan kaya zat besi. Oleh karena itu, kandungan ini perlu menjadi perhatian khusus bagi remaja putri yang rentan anemia.
Edukasi Konsumsi Matcha: Kunci Mendukung Tren Sehat di Kalangan Mahasiswa
Menurut Nurul, penting bagi mahasiswa untuk memiliki edukasi gizi agar lebih kritis dalam menyikapi tren makanan dan minuman kekinian. Sebagai langkah awal, mahasiswa bisa mulai membiasakan diri membaca informasi nilai gizi pada makanan atau minuman yang dikonsumsi sehari-hari.
Cara sederhana ini dapat mengatur pola makan secara lebih sadar dan seimbang. Mahasiswa juga disarankan mengikuti sumber informasi gizi yang terpercaya dan berhati-hati terhadap konten media sosial yang tidak independen.
Agar manfaat dari matcha dapat dirasakan secara optimal, berikut beberapa tips konsumsi yang disarankan:
Dengan edukasi yang tepat dan konsumsi matcha secara bijak, generasi muda tidak hanya bisa menikmati cita rasa khas matcha, tetapi juga bisa merasakan manfaatnya dalam jangka panjang.
Teks : Nabila Azahra, Nadia Alyssa
Editor : Widdy Fatimah, Anita Theresia
Desain : Nabilah Sipi Naifah
REFERENSI
Oxford English Dictionary.
Cartwright, M. (2024). The History of Japanese Green Tea. World History Encyclopedia. https://www.worldhistory.org/article/2369/the-history-of-japanese-green-tea/
Jimmy, K. (2024, September 20). Everything you need to know about matcha - Benefits, tips and recipes. Hospitality Insights. Retrieved May 22, 2025, from https://hospitalityinsights.ehl.edu/what-is-matcha
Kerr, C. (2025, February 23). Japan struggles to fend off a world without enough matcha. The Japan Times. Retrieved May 22, 2025, from https://www.japantimes.co.jp/life/2025/02/23/food-drink/matcha-shortage-global-solutions/
Matcha Direct From Kyoto Japan. (n.d.). The History and Cultural Significance of Matcha. Matcha Direct Kyoto. https://matchadirect.kyoto/blogs/matcha-101/japanese-matcha-tea-history?
Soraky, S., Al-Asmakh, M., Zakaria, Z., & Bawadi, H. (2022). The therapeutic potential of matcha tea: A critical review on human and animal studies. Current Research in Food Science. 10.1016/j.crfs.2022.11.015
Joanna Kika, dkk. (2024, April 11), Matcha Green Tea: Chemical Composition, Phenolic Acids, Caffeine and Fatty Acid Profile. Retrieved from (Matcha Green Tea: Chemical Composition, Phenolic Acids, Caffeine and Fatty Acid Profile - PMC)