Mengenal PKI sebagai Lembaga Pendidikan

Redaksi Suara Mahasiswa · 30 September 2021
8 menit

“Siapa itu PKI?” Apabila mengikuti propaganda sejarah ala Orde Baru, Anda akan mengenalnya sebagai gerombolan manusia yang anti-Tuhan, anti-Pancasila, hobi memberontak, hingga sadis dan brutal. Begitu banyak buku, film, monumen, museum hingga karya sastra sekalipun yang menggambarkan kesadisan dan kebrutalan PKI dibangun dengan genial oleh Orde Baru (Herlambang, 2014; Roosa, 2008).

Ambil saja Museum Pengkhianatan PKI sebagai contohnya. Museum yang dibangun pada 1990 ini, dengan kaca-kaca dioramanya yang dipasang rendah agar anak-anak sekolah dapat berkunjung, menggambarkan masa-masa kekejaman PKI sejak awal kemerdekaan hingga 1965. Uniknya, museum itu tidak menawarkan penjelasan apa pun kepada pengunjungnya tentang ideologi komunisme yang menentang kapitalisme dan kerja-upahan. Tak disebut pula sumbangsih PKI–partai yang pertama kali menggunakan istilah Indonesia di belakang namanya ini–dalam perjuangan antikolonialisme (Roosa, 2008).

Sumber: travel.tribunnews.com

Jika semua itu bertujuan membangun wacana antikomunisme dan anti-PKI, maka Orde Baru telah sangat berhasil atas rencananya tersebut. Toh, tiap bulan September selalu terdengar isu kebangkitan PKI dan komunis, meskipun “hantu” yang dimaksud tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Syahdan, teori konspirasi mengenai kemunculan Komunisme Gaya Baru (KGB) ala Purnawirawan Orde Baru selalu menggema di berbagai stasiun televisi nasional—yang mungkin akan kita dengar kembali pada bulan September nanti. Sontak saja, sebagian kecil masyarakat Indonesia yang termakan konspirasi beramai-ramai membakar bendera PKI (sebagai lambang komunis) yang susah payah disablon sendiri.

Meminjam istilah Althusser (2015 [pertama kali diterbitkan: 1970]), melalui ideological state apparatuses dan repressive state apparatus-nya, rezim Orde Baru telah berhasil membangun wacana antikomunisme dan anti-PKI hingga kini, meskipun kekuasaannya berlaku surut. Mungkin benar anggapan Goenawan Mohamad bahwa wacana adalah sebuah bangunan perumusan. Tak hanya sekadar melalui bahasa dan lambang, wacana dibangun dan ditopang dengan kekuasaan. Sebaliknya, kekuasaan juga dibangun dan ditopang oleh sebuah wacana. Dari situlah kita dapat mengerti alasan mengapa Orde Baru bisa bertahan hingga 30 tahun lamanya.

Tragisnya, wacana yang menopang kekuasaan Orde Baru itu terus direproduksi hingga kini. Maka, tak perlu heran apabila pembaca menemui kecenderungan watak Orde Baru dalam rezim hari ini. Toh, Reformasi Mei ’98 memang tak bisa kita anggap berhasil memutus rantai wacana ideologi rezim Orde Baru.

Oleh karena itu, sebagai mahasiswa Ilmu Sejarah, penulis merasa berkewajiban untuk ikut serta memutus wacana ideologi warisan Eyang Soeharto. Tentunya penulis tak bermaksud menawarkan penjelasan komprehensif terkait bagaimana wacana antikomunisme dan anti-PKI dapat dibangun hingga kokoh. Sebagai gantinya, penulis akan mengenalkan Partai Komunis Indonesia (PKI)—yang dikenal kesadisan dan kebrutalannya karena Orde Baru—sebagai sebuah lembaga pendidikan demi menjernihkan memori kolektif kita tentang PKI yang terlampau kotor. Dengan begitu, kita akan mengenal PKI sebagai partai yang berkomitmen pada kemanusiaan dan visi hidup modernnya. Adapun tujuan tulisan ini jelas, tak lain dan tak bukan untuk ikut serta meruntuhkan bangunan wacana rezim Orde Baru tadi.

Strategi Revolusi Partai Komunis Indonesia

Sebelum lebih jauh, pembaca tak perlu menyisihkan memorinya terkait tujuan PKI untuk mewujudkan revolusi. Sebab, dimilikinya cita-cita revolusi oleh partai komunis bukanlah sebuah aib yang perlu ditutupi. Lagi pula, hampir semua tokoh pergerakan memiliki cita-cita revolusi, sebut saja Soekarno, Hatta, Sjahrir, dst. Masalahnya, memori kolektif kita terlanjur tercemar dengan fitnah keji Orde Baru terkait bagaimana masing-masing tahapan revolusi itu dilalui oleh kaum komunis ataupun kaum pergerakan secara umum.

Dari seperempat awal abad ke-20, hampir semua golongan antikolonialisme dan antiimperialisme berada di payung pergerakan yang sama. Mengikuti imbauan Bung Karno, kaum Marxisme, Nasionalisme, hingga Islamisme berada dalam barisan yang sama untuk melawan kekuasaan kolonial. Sebagian besar dari mereka memang menganggap kemerdekaan nasional—yang disebut Bung Karno sebagai “jembatan emas”—merupakan tujuan akhir dari perjuangan yang dibangun.

Akan tetapi, bagi kaum komunis, alur perjuangannya harus diselaraskan dengan hukum historical-materialism di mana perkembangan masyarakat semestinya melalui tahapan komunal-primitif, perbudakan, feodalisme, kapitalisme, hingga komunisme. Tiga tahap yang disebut pertama dianggap telah dilalui masyarakat Indonesia. Adapun dua tahap yang disebut terakhir terhalang oleh kekuasaan kolonial. Maka, seluruh kaum komunis pun sepakat bahwa kekuasaan kolonial harus dihancurkan.

Sebab, kekuasaan kolonial sekadar menciptakan masyarakat Indonesia yang—meminjam kalimat D. N. Aidit—“setengah-djadjahan dan setengah-feodal.” (Aidit, 1964: 32). Di satu sisi, kekuasaan kolonial mempertahankan otoritas feodal sebagai instrumen penting pelaksanaan pemerintahan kolonial. Namun, di sisi yang lain, modernisasi birokrasi kolonial yang bersifat legal-rasional justru terjadi meski sejauh masalah administratif saja (Kartodirdjo, 2018: 95). Di situlah kita mengenal apa yang disebut Sartono Kartodirdjo sebagai proses “enfeodalisasi” (Kartodirdjo, 2018: 100).

Masalahnya, saat kekuasaan kolonial itu runtuh dan kemerdekaan Indonesia telah tercapai, tahapan apa yang selanjutnya dilalui? Di situlah kaum komunis yang tergabung dalam berbagai partai dan organisasi pergerakan berselisih sesuai garis politik yang dianutnya. Sayangnya, karena dihalangi batasan jumlah kata, penulis tak akan menawarkan penjelasan panjang lebar terkait perselisihan tersebut berikut segala referensi teori Marxisme yang fafifu wasweswos itu.

Apa yang perlu digarisbawahi adalah PKI meyakini, setidaknya sejak Kongres Nasional Ke-V tahun 1954, bahwa revolusi sosialis memang perlu melalui tahap perjuangan nasional-demokratik demi mencapai apa yang disebut dengan “kapitalisme-nasional”. Akan tetapi, alih-alih mengambil langkah perjuangan bersenjata dalam tahap nasional-demokratik layaknya tesis Mao Zedong, PKI justru menempuh jalur parlementer secara damai (Farid, 2006: 9). Suatu hal yang berbanding terbalik dengan dakwaan Orde Baru bahwa PKI menjunjung tinggi perjuangan kelas dan bersikap sangat sektarian—sebagai contoh, lihat buku Sejarah Surat Perintah 11 Maret 1966 terbitan Depdikbud RI.

Selanjutnya, pemahaman di atas menjadi landasan ilmiah bagi strategi partai yang diterapkan pada masa Demokrasi Terpimpin, yakni “front persatuan nasional.” Partai berniat membangun persekutuan dengan kelas buruh, tani, borjuasi kecil, dan borjuasi nasional sebagai subjek revolusionernya. Hal itulah yang kemudian menjadikan PKI, sebagaimana ditulis John Roosa (2008), tidak terlalu berbeda dari partai komunis pascakolonial lainnya yang mendahulukan nasionalisme di atas sosialisme. Bahkan, tak jauh beda pula dengan Masjumi yang berniat mewujudkan Negara Islam tanpa perang jihad fisabilillah.

Alhasil, PKI menjadi partai populis dengan tujuan “kapitalisme nasionalnya” yang ingin ditempuh secara damai melalui jalur parlementer (Roosa, 2008: 234). Tak ada rencana perebutan kekuasaan secara paksa dengan perjuangan bersenjata sebagaimana yang digembar-gemborkan Orde Baru. Sebab, pada akhirnya, PKI pun menyadari bahwa mereka hidup di tengah—untuk meminjam istilah Goenawan Mohamad—“lautan borjuis kecil” dan kelas buruh masih terlampau lemah. Suatu hal yang menyebabkan PKI menundukkan dirinya di bawah wibawa Presiden Soekarno—bukan sebaliknya.

Mengenal PKI sebagai Lembaga Pendidikan

Layaknya banyak nasionalis pada tahun 1950-an, para pemimpin PKI juga membayangkan Indonesia sebagai sebuah negara maju dengan masyarakatnya yang sehat, pandai, dan kehidupan yang lebih nyaman. Orang-orang yang menjadi dokter, ahli kesehatan masyarakat, hingga ilmuwan diharapkan menjadi lebih banyak jumlahnya. Namun, berbeda dengan kaum nasionalis lainnya, PKI menyediakan anggaran dan waktu kerja lebih banyak untuk menerbitkan dokumen-dokumen dan upaya penerbitannya. Syahdan, tak ada partai di masa itu yang menerbitkan buku atau dokumen sebanyak PKI (McVey, 2016).

Sumber: gettyimages.com

Karenanya, hadirlah berbagai instrumen organisasi PKI yang terkait erat dengan pengembangan pendidikan seperti Lembaga Sejarah PKI, Akademi Ilmu Sosial Ali Archam, Akademi Ilmu Ekonomi Dr. Ratulangi, Universitas Rakyat Indonesia, hingga Harian Rakyat yang menerbitkan berbagai buku secara tetap. Kecenderungan itu pun dibaca oleh McVey (2016) sebagai komitmen PKI pada visi hidup modernnya. “Modernitas,” begitu McVey menyebutnya. Sebuah pandangan universal dimana kesejahteraan material yang lebih besar menjadi tujuan dari setiap negara-bangsa. Entah melalui modal swasta, kontrol negara, ataupun kombinasi keduanya, setiap negara berupaya memproduksi lebih banyak pangan, listrik, memperluas jalanan, hingga sarana hiburan. Singkatnya, tak peduli orang itu komunis ataupun liberal, semua orang berkomitmen demi “kemajuan” dan “perkembangan ekonomi” (McVey, 2016). Dengan begitu, PKI justru tidak hadir seperti yang dibayangkan rezim Orde Baru, yakni sebagai partai kolot yang semua anggotanya berwatak dogmatis serta anti pada pembangunan modern.

Dengan raison d’être tersebutlah kehadiran berbagai lembaga pendidikan PKI dipahami. Maka, di saat negara tak mampu memenuhi tuntutan pendidikan yang ada, PKI hadir sebagai partai terdepan yang mengambil bagian. Pada akhir tahun 1958 misalnya, PKI meresmikan Universitas Rakjat (Unra) dengan tujuan untuk menyediakan pendidikan dasar bagi rakyat kecil. Program pendidikan yang dipimpin Siswoyo—Sekretaris Comite Central PKI—ini berkembang cepat dengan ribuan orang tercatat sebagai peserta didiknya dan dua ribuan sekolah berada di bawah naungannya.

Tentunya, dalam menjalankan program pendidikannya, partai menolak “ilmu untuk ilmu” sebagaimana penentangannya pada “seni untuk seni”. Bagi PKI, pendidikan memiliki posisi penting untuk menghantarkan seseorang kepada sebuah alam baru dan menjadikannya tipe manusia baru yang melawan segala keterbelakangan. “Ilmu pengetahuan untuk revolusi dan rakyat,” begitu resolusi yang ditetapkan Kongres ke-VI PKI (Aidit, 1964).

Dalam hal itu, lima prinsip yang ditetapkan dalam Seminar Pendidikan Umum PKI menjadi landasan dasar bagi program pendidikan yang dilaksanakan partai. Pertama, pendidikan bertujuan mendidik, mengenalkan, dan mencintai tanah air Indonesia. Kedua, taraf ilmu dan kebudayaan rakyat yang semakin tinggi akan memudahkan penyelesaian tuntutan “Revolusi Agustus 1945”. Ketiga, perdamaian dunia dan persahabatan antar bangsa-bangsa. Keempat, pentingnya mendidik pemuda untuk cinta kepada kerja dan rakyat yang bekerja. Kelima, pendidikan berfungsi untuk membantu menyelaraskan kehidupan manusia dalam rumah tangga serta berfungsi mendidik anak-anak dan pemuda mencintai dan membantu pekerjaan orangtuanya (Departemen Pendidikan dan Ilmu CC PKI, 1962). Dari kelima prinsip dasar tersebut, kita tak melihat PKI sebagaimana gambaran picik Orde Baru, bukan?

Kampanye Pemberantasan Buta Huruf (PBH) yang diluncurkan pada tahun 1957 dapat menjadi contoh lainnya. Berbagai kelompok dibentuk dengan pimpinannya bertindak sebagai guru untuk menyediakan pendidikan baca tulis dan pendidikan politik. Barisan Tani Indonesia pun menjadi salah satu organisasi massa yang pernah dikerahkan dalam kampanye PBH tersebut. Kampanye tersebut biasanya dijalankan selama musim panen mengingat semangat dan usaha-usaha kooperatif sedang meningkat-ningkatnya. Bahkan, front tani lokal juga dikerahkan untuk mengorganisir anak-anak di pedesaan selama musim panen dan musim tanam.

Apa yang penulis sebut di atas hanyalah sedikit dari banyaknya contoh program pendidikan yang pernah dijalankan PKI. Dengan melihat sejarah melampaui sekat-sekat kotor yang diciptakan Orde Baru, pandangan kita terhadap PKI menjadi lebih adil. Berbagai upaya PKI memajukan pendidikan nasional berkelindan dengan ideasional humanity dan “modernitas” yang dijunjung tinggi oleh partai.

Bahkan, sebagaimana ditemukan McVey, beberapa anggota partai justru bergabung karena merasa berhutang budi pada partai yang telah memberikan program pendidikan padanya. Melalui program pendidikannya, PKI menyediakan ruang belajar untuk membaca dan menulis bagi semua orang, termasuk belajar untuk memahami politik nasional dan internasional. Kita dapat membayangkan bagaimana rakyat jelata yang bertempat tinggal di desa-desa kecil dan kampung-kampung miskin dapat merasakan pendidikan yang akan mengubah masa depannya. Di saat yang sama, mereka membayangkan bagaimana mereka telah menjadi bagian dari gerakan yang berupaya mencapai cita-cita pembebasan sosial umat manusia.

Pada akhirnya, kita perlu belajar, bahkan dari kaum komunis sekalipun, bahwa pendidikan merupakan upaya penyadaran setiap orang dari ketertindasan yang dilembagakan sebuah sistem. Dengan upaya penyebaran ilmu pengetahuan hingga ke akar rumput, PKI berupaya membentuk masyarakat modern dengan segala kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologinya. Maka, masihkah kita dapat memandang sejarah secara adil meskipun narasi sejarah terlampau dikotori oleh tangan kekuasaan?

Catatan: Tulisan ini adalah hasil kontributor dan belum tentu mencerminkan sikap Pers Suara Mahasiswa UI 2021.

Teks: Ahmad Shalahudin (FIB UI)
Ilustrasi: Rizal Taufiqurrafi
Editor: Nada Salsabila

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!

REFERENSI

Aidit, D. N. (1964). Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia (Soal-Soal Pokok Revolusi Indonesia). Djakarta: Jajasan Pembaruan.

Aidit, D. N. (1964). Pemetjahan Masalah Ekonomi dan Ilmu Ekonomi Indonesia Dewasa Ini (Prasaran Dimuka Musjawarah Besar Sardjana Ekonomi Indonesia tgl. 8 Djuli 1964 di Djakarta). Jakarta: Jajasan Pembaruan.

Althusser, Louis. (2015 [1970]). Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara (Catatan-Catatan Investigasi). (M. Z. Hussein, Penerjemah) Jakarta: IndoPROGRESS.

Bintang Merah. (1954). Kongres Nasional ke-V Partai Komunis Indonesia. Djakarta: Jajasan Pembaruan.

Departemen Pendidikan dan Ilmu CC PKI. (1962). Untuk Pendidikan Nasional, Kerakjatan dan Ilmiah! (Hasil-Hasil Seminar Pendidikan Umum PKI). Jajasan Pembaruan Djakarta.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1986). Sejarah Surat Perintah 11 Maret 1966. (R. Gunawan, Ed.) Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Depdikbud.

Farid, H. (2006). Masalah Kelas dalam Ilmu Sosial di Indonesia. Dalam D. Dhakidae dan V. R. Hadiz (Editor), Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: Equinox Publishing. Diambil dari https://d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net/63418206/Hilmar_Farid_Masalah_Kelas_Dalam_Ilmu_Sosial_di_Indonesia20200525-56406-1fqvwl6.pdf?1590404314=&response-content-disposition=attachment%3B+filename%3DHilmar_Farid_Masalah_Kelas_Dalam_Ilmu_So.pdf&Expires=16266

Gettyimages.com. (2018). Res Publica University Attack. Diambil dari https://www.gettyimages.com/detail/news-photo/an-anti-communist-mob-attacks-the-res-publica-university-in-news-photo/517481182

Herlambang, W. (2014). Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Seni dan Sastra. Tangerang Selatan: CV Marjin Kiri.

Kartodirdjo, S. (2018). Pengantar Sejarah Indonesia Baru Jilid 2: Sejarah Pergerakan Nasional. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

McVey, R. T. (2016). Mengajarkan Modernitas: PKI Sebagai Sebuah Lembaga Pendidikan. (C. H. Pontoh, Ed., F. F. Izzati, & F. Mohan, Penerjemah) Pustaka IndoPROGRESS.

Roosa, J. (2008). Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Jakarta: Hasta Mitra.

Soekarno. (2016). Dibawah Bendera Revolusi Jilid 1. (S. Parikesit, Ed.) Jakarta: Banana Books.

Tribunnews.com. (2020). Massa PA 212 Bakar Bendera PKI di Depan Gedung DPR. Diambil dari https://www.tribunnews.com/nasional/2020/06/24/massa-pa-212-bakar-bendera-pki-di-depan-gedung-dpr

Tribun Travel. (2018). Di Museum Pengkhianatan PKI, Ada Pakaian Terakhir yang Dikenakan Para Pahlawan Revolusi. Diambil dari https://travel.tribunnews.com/2018/09/04/di-museum-pengkhianatan-pki-ada-pakaian-terakhir-yang-dikenakan-para-pahlawan-revolusi