Mengenang Perjuangan Mahasiswa Melawan Tirani

Redaksi Suara Mahasiswa · 21 Mei 2021
3 menit

Judul: Tragedi Jakarta 1998 (Gerakan Mahasiswa di Indonesia)
Produser: Tino Saroengallo
Genre: Dokumenter
Tahun rilis: 2002
Durasi: 42 menit 34 detik

Tragedi Jakarta 1998 (Gerakan Mahasiswa di Indonesia) merupakan sebuah film dokumenter yang menceritakan perjuangan mahasiswa dalam meruntuhkan rezim Orde Baru. Film ini hanya diisi oleh suara narator berbahasa Inggris dengan menampilkan cuplikan-cuplikan berbagai demonstrasi mahasiswa. Selain itu, terdapat pula kekerasan yang dilakukan oleh aparat selama menjelang dan pascakeruntuhan masa kepemimpinan Soeharto. Film ini diawali dengan pesan apresiasi produser terhadap keberanian mahasiswa untuk berjuang menegakkan keadilan. Produser dalam adegan awal juga memberikan sindiran atas kekerasan yang dilakukan oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia kepada mahasiswa selaku demonstran.

Pada April 1998, Presiden Soeharto terpilih kembali sebagai presiden Indonesia untuk yang ke-32 kali. Hal ini mengakibatkan timbulnya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh mahasiswa di seluruh Indonesia untuk menuntut diadakannya pemilihan ulang. Adegan selanjutnya dalam film ini menampilkan kerusuhan yang terjadi pada 12 Mei 1998 yang mengakibatkan meninggalnya empat mahasiswa Universitas Trisakti dan memicu gelombang kerusuhan. Dirasa sudah tidak mampu membendung berbagai aksi demonstrasi dan tidak mendapatkan dukungan dari elemen tokoh masyarakat dan ulama, ditambah pengunduran diri 14 menterinya, Presiden Soeharto resmi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden pada 21 Mei 1998.

Tampuk kekuasaan lalu digantikan oleh BJ Habibie yang sebelumnya menjabat sebagai wakil presiden. Elemen mahasiswa yang awalnya bergembira dengan turunnya Soeharto kembali menunjukkan sikap tidak puas dengan menuntut turunnya BJ Habibie sebagai presiden pengganti. Dalam wawancara dengan salah satu anggota Forum Kota (Forkot) yang tidak disebutkan namanya, penolakan terhadap BJ Habibie dikarenakan ketidakpercayaan mereka atas legitimasi pemilu di tahun 1997 yang cacat moral dan hukum. Ia pun menilai jika Habibie tidak ada bedanya dengan Soeharto yang merupakan “raja KKN”. Di samping itu, mahasiswa menuntut pembubaran dwifungsi ABRI yang selama ini telah bersikap represif terhadap rakyat sipil. Demonstrasi tersebut juga memprotes tuduhan dari pemerintah yang menganggap mahasiswa telah disusupi oleh paham komunis. Salah satu anggota Forkot menilai tuduhan atau fitnah yang diberikan oleh pemerintah hanya bertujuan untuk menghambat penyaluran aspirasi dari mahasiswa.

Adegan selanjutnya menunjukkan demonstrasi mahasiswa menjelang sidang istimewa MPR yang saat itu membahas dan mempersiapkan pemilihan umum. Mahasiswa menolak sidang tersebut karena delegasinya berasal dari penunjukan di era Soeharto dan menuntut agar diadakan dengan perwakilan orang terpercaya. Meskipun mendapatkan banyak kritik, sidang istimewa tersebut tetap dilaksanakan. Hal ini membuat demonstrasi yang dilakukan mahasiswa menjadi semakin agresif, yang berujung pada peristiwa penembakan dan pemukulan oleh aparat keamanan di jembatan Semanggi. Banyaknya korban yang berjatuhan tersebut diiringi dengan lagu mars dan yel-yel kemenangan dari aparat kemenangan. Setidaknya korban meninggal dari peristiwa Semanggi tersebut diantaranya 7 mahasiswa, 1 murid SMA, 9 warga lokal dan 1 polisi. Korban luka-luka dari peristiwa ini mencapai 253 orang. Korban luka-luka sebagian diakibatkan tembakan dari aparat keamanan: 14 mahasiswa, 1 dosen, 2 murid SMA dan 15 warga lokal.

Tindak kekerasan oleh aparat negara, seperti yang terjadi pada 15 Desember 1998, menimpa ikatan Forkot perempuan dalam memprotes himbauan Menteri Urusan Peranan Perempuan untuk tidak terlibat dalam demonstrasi dan kasus kekerasan seksual yang saat itu marak terjadi. Peristiwa itu membuat mahasiswa tidak berniat lagi untuk melakukan demonstrasi secara damai. Mereka menginginkan adanya revolusi besar-besaran dengan melakukan konfrontasi pada aparat keamanan dan militer. Aksi ini dilakukan sebagai bentuk balas dendam atas kekerasan yang dilakukan aparat keamanan dan militer. Meskipun beberapa pemimpin mahasiswa berusaha mencegah agar bentrokan tidak meningkat, para demonstran saat itu sudah tidak dapat terkontrol lagi. Misalnya di Taman Ria, mahasiswa berhasil menembus garis batas polisi dan memukul mundur aparat keamanan.

Pada akhir film, produser mengajak penonton untuk mengenang kembali mahasiswa yang menjadi korban penembakan aparat pada peristiwa Trisakti dan jembatan Semanggi. Produser juga memberikan keterangan bahwa proses pembuatan film dokumenter ini, baik nama mahasiswa maupun informan, cuplikan gambar maupun anggota keluarga, sengaja tidak dituliskan untuk menjaga keselamatan mereka. Sebenarnya, film ini memiliki durasi 50 jam, tetapi akhirnya dikurangi menjadi 45 menit. Walaupun dipersingkat, produser mengungkapkan bahwa 45 menit sudah cukup merangkum dan menggambarkan peristiwa yang terjadi.

Sebagai film dokumenter yang muncul di masa teknologi belum begitu berkembang seperti saat ini, dapat dimaklumi jika kualitas visualnya belum begitu baik, misalnya banyak ditemukan pengambilan gambar yang pecah. Namun, di balik kekurangannya, film dokumenter ini dapat dijadikan alat sebagai pendidikan politik. Menurut penulis, film ini layak ditonton untuk mengenang kembali bagaimana mahasiswa sebagai agen perubahan dalam menegakkan demokrasi. Akhirnya, film dapat menjadi inspirasi bagi generasi saat ini untuk terus kritis dan peduli terhadap berbagai permasalahan di negara ini.

Teks: Fauzan Dewanda
Foto: Istimewa
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!