Logo Suma

Menggugat Udara yang Dicuri

Redaksi Suara Mahasiswa · 21 Mei 2025
9 menit
Kebakaran lahan gambut di area konsesi PT Bumi Mekar Hijau (BMH), Sumatera Selatan pada tahun 2019. Foto: Yayasan Auriga Nusantara.
Kebakaran lahan gambut di area konsesi PT Bumi Mekar Hijau (BMH), Sumatera Selatan pada tahun 2019. Foto: Yayasan Auriga Nusantara.

Di sela derasnya hujan, Muhkamat Arif yang akrab disapa Ripong, bercerita dengan suara yang terdengar menggebu-gebu, di sebuah rumah panggung di Desa Bangsal, Ogen Komering Ilir (OKI). Ia duduk bersila di lantai kayu, tatapannya seperti penuh bara semangat yang tak padam.

“Ada masyarakat tuh berkegiatan di sini, cuman, kan, status kawasannya itu kawasan hutan yang wewenangnya di pemerintah, bukan masyarakat. Tapi, kawasan itu dikonversikan menjadi kawasan hutan industri tadi,” tuturnya (13/02/2025).

Alih fungsi lahan gambut yang dilakukan tanpa pertimbangan ekologis telah menjebak masyarakat dalam pusaran krisis yang kian parah. Kanal-kanal raksasa mengeringkan gambut, membuatnya rapuh, hingga api dengan mudah menjalar saat musim kemarau panjang datang.

Pada 2013, 2015, dan 2019, kebakaran hebat melanda, meninggalkan jejak pekat di langit, di paru-paru, dan di ingatan mereka. Namun, ketidakadilan ini tak hanya mereka amini dalam sunyi.

Sebelas nama akhirnya menggema di ruang sidang, membawa suara perlawanan atas kabut asap yang merenggut hak hidup mereka. Ripong bersama sepuluh warga lainnya, yaitu Rohman, Muhammad Awal Gunadi, Marda Ellius, Roili, Pralensa, M. Fausi, Muhammad Hairul Sobri, Anyelir Putri Rahayu, Rendy Zuliansyah, dan Muhammad Husni, mengajukan gugatan terhadap tiga perusahaan kayu yang mereka duga sebagai biang keladi bencana.

Tiga perusahaan dimaksud adalah PT Bumi Mekar Hijau (BMH), PT Bumi Andalas Permai (BAP), dan PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industries (SBA Wood Industries), yang berada di bawah Grup Sinar Mas. Selama 2015–2020, area konsesi para tergugat telah terbakar seluas 254.787 hektare, setara hampir empat kali luas DKI Jakarta.

Dalam perjalanan gugatan itu, setelah melewati berbagai mediasi yang penuh ketegangan, Pengadilan Negeri Palembang akhirnya menggelar sidang pembacaan gugatan pada 12 Desember 2024. Kuasa hukum penggugat menegaskan betapa besar kerugian yang dialami warga akibat kebakaran lahan yang terus berulang pada tahun-tahun tersebut.

Dari sisi materi, tuntutan bervariasi antara Rp200 ribu hingga Rp200 juta. Namun, lebih dari itu, mereka menuntut ganti rugi immateriil sebesar Rp10 miliar per orang—harga atas udara bersih yang telah dirampas, atas paru-paru yang menghitam, atas malam-malam yang mereka lalui dalam kepungan asap dan ketakutan.

Tak hanya itu, Greenpeace Indonesia juga turut mendaftarkan permohonan untuk menjadi penggugat intervensi. Hal ini menunjukkan bukti solidaritas mereka bagi warga yang terus berjuang mendapatkan keadilan atas hak udara bersih dan kesehatan. Dalam sidang pembacaan putusan sela intervensi pada tanggal 13 Februari 2025, permohonan gugatan intervensi Greenpeace diterima oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palembang.

Kepala Global Kampanye Hutan Indonesia Greenpeace, Kiki Taufik, menuturkan, melalui gugatan intervensi ini, pihaknya ingin menyuarakan lebih kencang di ruang pengadilan tentang pentingnya pemulihan bagi korban kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Ketiga korporasi penyebab kabut asap itu,  telah merugikan masyarakat dan negara, serta memicu kerusakan lingkungan hidup dan dampak iklim yang memperburuk kondisi Bumi.

“Negara semestinya menghukum mereka bukan hanya untuk mengganti kerugian warga, tapi juga memulihkan kerusakan lingkungan yang terjadi,” ujar Kiki, dilansir dari greenpeace.org.

Dengan diterimanya gugatan intervensi tersebut, harapan bahwa langkah-langkah pemulihan dan penanggulangan kebakaran hutan akan semakin diperkuat kembali menyala, memberikan secercah sinar bagi masyarakat yang selama ini hidup dalam bayang-bayang asap.

Gambut yang Terbakar, Siapa yang Bertanggung jawab?

Ripong menganggap pembangunan hutan tanaman industri (HTI) atau kebun kayu di atas lahan gambut telah menjadi bom waktu bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat. Pengeringan lahan melalui pembangunan kanal mempercepat degradasi ekosistem dan membuat gambut rentan terbakar.

Dalam rentang 2001-2020, kebakaran melahap 473 ribu hektare lahan di konsesi PT BMH, PT BAP, dan PT SBA Wood Industries—menyumbang 92 persen dari total kebakaran di Kesatuan Hidrologis Gambut Sungai Sugihan-Sungai Lumpur (KHG SSSL).

Proses alih fungsi ini mengubah lanskap gambut yang awalnya rata dan basah menjadi kering dan mudah terbakar. Ripong, sebagai seorang warga lokal yang telah lama mengamati perubahan ini, menjelaskan bagaimana kanal-kanal besar yang dibangun perusahaan menjadi pemicu utama kekeringan.

"Awalnya itu di hamparan ada pohon-pohon yang bisa tumbuh di gambut, seperti gelam dan rasau, ada karakter tumbuhannya. Nah, terus dibuat kanal, secara otomatis air bakal masuk ke wilayah di situ, mengakibatkan keringnya lahan gambut. Ketika dia kering posisinya, mudah banget terbakar,” tuturnya.

Kanal yang dibuat bukan hanya satu-dua, melainkan membentuk jaringan yang luas, membelah ekosistem gambut menjadi blok-blok besar yang kehilangan kemampuan alaminya menahan air.

“Nah, air di kanal ini bukan cuman satu. Gila banget, kalau kau keliling, waduh mati,” ucap Ripong, menggambarkan betapa banyaknya jaringan kanal yang ada.

“Kanal ini kalau ditarik lurus, panjangnya bisa tujuh kali keliling bumi," tambahnya.

Kanal primer yang lebarnya 5-8 meter, kanal sekunder 3-4 meter, dan kanal tersier 1-2 meter membentuk sistem drainase yang secara sistematis menguras kelembapan gambut. Akibatnya, ketika musim kemarau tiba, lahan yang dulu basah dan kaya keanekaragaman hayati berubah menjadi kawasan yang mudah tersulut api.

“Karena dia kan dari serpihan-serpihan tumbuhan nih, serpihan-serpihan kayu zaman purba. Dia modelnya itu kayak batu bara,” ucap Ripong.

Saat gambut terbakar, tak ada yang bisa mengendalikannya. “Weh, kalau gambut terbakar tuh kacaulah. Ampun kita, apinya merah, merah betul. Masuk tuh asap pekat, keluar air pokoknya, semua dari hidungmu, dari matamu,” kenang Ripong akan kebakaran yang ia rasakan pada 2019 silam.

Api tak hanya membakar lahan di area konsesi perusahaan, tetapi juga merembet ke kebun-kebun masyarakat yang berbatasan langsung dengan wilayah mereka.

“Ada yang sampai ke kebun-kebun masyarakat. Kebun Pak Fauzi itu juga kena, salah satu penggugat,” kata Ripong.

Namun, siapa yang bertanggung jawab atas api yang berkobar? Ripong menggeleng pelan.

Enggak tahu yang bakar. Aku enggak berani ngejudge yang bakar siapa ya. Cuman kebakaran itu terjadi di wilayah mereka, makanya nuntut mereka,” tambahnya.

Kabut Asap yang Tak Berujung

Dampak destruktif ini tak hanya mengancam Sumsel, tetapi juga berkontribusi pada krisis iklim global. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) per Agustus 2024 mencatat bahwa total Karhutla sejak 2015 telah mencapai 7,6 juta hektare di 38 provinsi. Bahkan, di wilayah Ibu Kota Nusantara (IKN), kebakaran mencakup area seluas 185.900 hektare—hampir tiga kali luas daratan Daerah Khusus Jakarta (DKJ).

Sumsel mencatat sejarah kelam pada 2015, dengan 638.582 hektare lahan hangus terbakar, menjadikannya salah satu provinsi dengan dampak terparah. Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) menjadi wilayah paling rentan lantaran sekitar 540.750 hektarenya merupakan lahan gambut yang tersebar di berbagai kecamatan. Kebakaran yang terus berulang ini bukan sekadar bencana lingkungan, tetapi juga mencerminkan kegagalan mitigasi yang berkelanjutan.

Luas karhutla di Kabupaten OKI dari tahun 2015-2024. Sumber: Sipongi.id
Luas lahan gambut terbakar di Kab. OKI. Sumber: Pantau Gambut.

Berdasarkan hasil temuan Greenpeace, kabut asap yang dihasilkan dari kebakaran di lahan konsesi perusahaan turut memperburuk kualitas udara, mengancam kesehatan publik, serta mempercepat laju pemanasan global. Aktivitas PT BMH, PT BAP, dan PT SBA Wood Industries menjadi salah satu penyumbang pencemaran terbesar di KHG SSSL, menambah daftar panjang krisis ekologi yang harus ditanggung oleh masyarakat dan generasi mendatang.

Gambut: Spons Raksasa yang Bisa Menyelamatkan atau Menghancurkan?

Dilansir dari pantaugambut.id, gambut adalah jenis lahan basah yang terbentuk dari akumulasi materi organik—seperti sisa-sisa pohon, rerumputan, lumut, dan jasad hewan. Lahan gambut memiliki karakteristik unik, seperti dapat menyerap banyak air karena memiliki porositas yang tinggi antara 70%-90%. Selain itu, gambut juga kaya akan karbon karena terbentuk dari proses pembusukan yang gagal sehingga bersifat anaerob atau minim oksigen.

Seperti spons raksasa yang mampu menyerap air dalam jumlah besar, gambut memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Saat musim hujan, ia menahan kelebihan air, mencegah banjir yang bisa melanda pemukiman dan lahan pertanian. Namun, ketika kemarau tiba dan kadar airnya menurun, gambut berubah dari penjaga keseimbangan menjadi ancaman yang mengintai dalam diam.

Saat spons kehilangan kelembapannya dapat berubah menjadi kering sehingga mudah terbakar. Api yang menjalar di permukaan bisa terus menyala di dalam lapisan gambut dan melepaskan simpanan karbon dalam jumlah besar ke atmosfer, memperburuk perubahan iklim, dan berdampak negatif pada kesehatan masyarakat akibat asap yang dihasilkan. Asap pekat yang membumbung dari lahan gambut membawa partikel beracun yang dapat menyebabkan gangguan pernapasan, iritasi mata, hingga penyakit kronis seperti ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut).

Inilah yang dirasakan Anyelir, salah satu penggugat yang berasal dari Palembang pada 2015 lalu, ketika langit yang biasanya biru berubah menjadi kelabu pekat, dan udara yang mereka hirup dipenuhi bau menyengat dari lahan gambut yang terbakar.

Belum Merdeka dari Asap

Bagi Anyelir, saat langit Palembang berubah menjadi abu-abu pekat pada 2019, dampakya tak hanya sekedar kabut yang menyesakkan. Udara yang dulu segar berubah menjadi racun yang mengisi setiap tarikan napas. Meski kini kondisi kesehatan dan ekonominya sudah membaik, jejak kabut asap masih  membekas dalam ingatan dan tubuhnya.

Dalam Aksi Kamisan di depan Istana Negara pada 27 Februari 2025, Anyelir kembali mengenang tahun-tahun yang berat itu. Ia bilang, pada musim karhula 2015, dirinya tidak terlalu terkena dampak, karena saat itu ia tengah berada di Bekasi. Karhutla yang menurutnya sangat ia rasakan terdampaknya adalah yang terjadi pada 2019, sebab karhutla saat itu berdekatan dengan pandemi Covid-19.

“Itu adikku sampai bolak-balik ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan uap gitu, dan itu enggak di-cover sama BPJS. Mana lagi memang keturunan keluarga aku itu, keturunan asma. Jadi nenek itu sampai nyetok symbicort, yang harganya sekitar Rp750.000,” ujarnya.

Anyelir berdiri membelakangi Istana Merdeka sambil memegang spanduk bertuliskan “Belum Merdeka dari Asap”. Foto: Dela S.

Pada 2023, dampak dari kabut asap tidak terlalu berdampak bagi keluarga Anyelir, tetapi adiknya masih harus bolak-balik ke rumah sakit karena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

“Dia juga asma kan, jadi kalau batuk berdahak sedikit saja, bisa langsung parah.” ujarnya.

Asma memang sudah menjadi bagian dari sejarah keluarganya. Anyelir, neneknya, adik sepupunya, adiknya yang ketiga, serta tantenya memiliki riwayat penyakit yang sama. Bedanya, sebelum kabut asap melanda, gejalanya tidak terlalu parah.

“Kalau sebelum kabut asap melanda kan, enggak begitu parah karena pada saat flu aja dia kena. Nah, kalau karhutla karena kabut asap yang benar-benar pekat itu di tahun 2015 dan 2019, jadi ini berdampak juga sama asma dia,” tuturnya.

Dampak kabut asap tidak hanya menyentuh kesehatan keluarganya, tetapi juga ekonomi rumah tangga mereka.

“Kalau enggak salah 2019 itu sudah ada isu corona, jadi sudah sepi pengunjung walaupun waktu itu belum lockdown tapi pengunjung itu sudah sepi karena dia harus mewanti-wanti. Pertama kabut asap, kedua virus,” tuturnya.

Ibunya, yang berjualan baju di sebuah area taman dan secara daring, mengalami penurunan pendapatan yang signifikan pada 2019.

“Nah, itu juga berdampak onlinenya, karena ya sepi, orang pada bukan mau beli fashion pada saat itu kan, cuman beli obat, beli peralatan yang untuk diri dia gitu loh,” tutur Anyelir.

Pemerintah setempat, imbuh Anyelir, telah melakukan berbagai upaya untuk menangani kebakaran hutan dan lahan. Salah satu langkah utama yang dilakukan adalah water bombing, yakni pemadaman api melalui udara menggunakan helikopter.

“Ya upayanya cuman water bombing sama sadar api. Aku enggak tahu pasti cuman kupikir efeknya juga enggak signifikan gitu lho untuk mencegah kebakaran yang terjadi. Masyarakat Peduli Api ada, tapi kebakaran masih terus berlanjut,” tuturnya.

Masyarakat Peduli Api (MPA) merupakan kelompok masyarakat yang secara sukarela terlibat dalam upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Mereka telah mendapatkan pelatihan atau pembekalan khusus serta dapat diberdayakan untuk membantu dalam proses pengendalian kebakaran. Keberadaan MPA diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.32/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.

Ripong mengungkapkan, selama Asian Games berlangsung, tidak ada satu pun titik api di Sumsel. Ini menunjukkan bahwa pemerintah sebenarnya memiliki solusi untuk mencegah kebakaran hutan.

“Bayangin ketika ada event penting, mereka bisa itu mengupayakan lahan-lahan basah di Sumsel ini tidak terbakar. Artinya ada solusi dari pemerintah, cuman entah kenapa pasca 2018, 2019, 2023 terbakar lagi. Ada yang miss gitu, sukanya bercanda memang negara kita ini,” kelakarnya.

Sebagai salah satu anggota dari Serikat Petani Indonesia (SPI), Ripong menilai bahwa lahan gambut yang rusak akibat eksploitasi berlebihan secara otomatis akan merusak tatanan wilayah KHG.

“Ketika di hulu itu rusak, di hilir pasti juga akan rusak. Jadi rusak di hulu akan merusak sawah-sawah di hilir. Di situ sih sebenarnya petani harus peduli, sama alam ini, sama lingkungan ini,” katanya.

Ripong menyebut, petani, nelayan, dan peternak di daerah yang terdampak karhutla merasakan langsung akibatnya. Nelayan di daerah rawa dan peternak kerbau rawa juga harus menghadapi kondisi alam yang semakin tidak bersahabat.

Sementara itu, gugatan terhadap tiga perusahaan besar yang diduga bertanggung jawab atas kebakaran hutan dan lahan masih terus bergulir. Pada sidang berikutnya, yang dijadwalkan pada 13 Maret, akan dibacakan gugatan intervensi dari Greenpeace. Ripong berharap gugatan tersebut dikabulkan.

"Kalau harapan itu yang enggak ada lagi lah. Stop merusak alam ini, sudah berhentilah untuk merusak alam ini. Berupaya dengan cara-cara yang benar layak gitu, sesuai dengan aturan. Untuk pemerintah ya lebih aware lagi sama kondisi-kondisi yang terjadi di masyarakat terkait masalah kerusakan lingkungan yang terjadi,” ucap Ripong.

Bagi Anyelir, dampak karhutla tidak hanya sekedar angka statistik di berita, tetapi kenyataan yang ia rasakan langsung. Ia berharap suatu hari nanti, keluarganya tak perlu lagi berjuang menghadapi ISPA setiap musim kemarau tiba.

“Mungkin aku bakal bilang stop lah pemerintah untuk bantuan perusahaan itu karena ini berdampaknya banyak banget. Di satu sisi kalian itu menyukseskan kelompok-kelompok kapitalis, tapi di sisi lain kalian akan kehilangan rakyat-rakyat yang mungkin keturunan-keturunan itu nanti berharga banget untuk negara ini,” tuturnya.

Namun, hingga kini, proses persidangan masih panjang dan berliku. Gugatan ini bukan sekadar seruan untuk keadilan, melainkan panggilan mendesak agar kesebelas penggugat tidak berjuang sendiri tanpa dukungan yang layak.

Liputan ini merupakan hasil kerjasama dengan Pantau Gambut dan Betahita.

Teks: Dela Srilestari

Editor: Raden Ariyo Wicaksono (Betahita)

Pers Suara Mahasiswa UI 2025

Independen, Lugas, dan Berkualitas!