Menilik Fenomena Joki Tugas di Kalangan Mahasiswa

Redaksi Suara Mahasiswa · 28 Agustus 2021
4 menit

Tugas numpuk, tapi sibuk organisasi, sakit, atau malas? Tenang, ada pekerjaan kurang terpuji yang bisa membantu. Pekerjaan itu disebut joki tugas. Menurut definisi penulis, joki tugas merupakan praktik ilegal, tercela, licik, dan ungkapan buruk lainnya di mana “konsumen” akan membayar penyedia jasa untuk mengerjakan tugas akademiknya. Joki sendiri bukan fenomena baru dan banyak bentuknya. Ingat joki sertifikat vaksin? Pembuatan SIM tanpa mengikuti ujian? Itu termasuk salah satu praktik pekerjaan “konsumen” yang dikerjakan oleh “penyedia jasa”. Jadi, apakah joki tugas itu salah?

Pelaku joki tugas sendiri biasanya bukan sembarang orang. Alasan penyedia joki tugas melakukan pekerjaan extreme sport ini bervariasi, dari memanfaatkan kepintaran, gabut, atau paling sering ya alasan ekonomi. Alunan merdu token listrik, kriuk mi instan, dan otak yang cemerlang cenderung jadi faktor bagi teman-teman yang kurang beruntung secara ekonomi untuk mengiyakan joki tugas. Namun, yang terpenting dalam menjadi pelaku joki tugas ialah ketekunan. Joki tugas bukanlah pekerjaan mudah. Kebanyakan pelaku joki tugas masih menempuh pendidikan dengan beragam tugas yang mereka emban. Jika tidak pintar membagi waktu, maka tugas joki keteteran dan tanggung jawab akademik pribadi terbengkalai.

Joki tugas biasanya diawali dari lingkungan pertemanan. Teman yang sibuk akan meminta teman yang luang dan dinilai mampu untuk mengerjakan tugasnya. Setelah mendapat konsumen pertama, timbullah bibit-bibit eksploitasi kesempatan dalam kesempitan. Biasanya penyedia joki tugas akan memasarkan dirinya dari mulut ke mulut. Jika ingin lebih ekstrem lagi, di setiap media sosial terdapat komunitas tersendiri berisi “para penjoki”. Penyedia joki tugas akan membuat akun dan mulai menjajakan “dagangannya”. Sesungguhnya di masa sekarang ini, apalagi saat pembelajaran daring, joki tugas bukan hal yang tabu lagi. Dilihat dari akun penjaja jasa joki tugas di media sosial dengan ribuan pengikut, menunjukkan betapa normal “kecurangan akademik” ini beredar.

Jasa yang dijajakan pun bervariasi, mulai dari joki infografik, joki makalah, joki halaman web, sampai level tertinggi yaitu joki skripsi atau joki ujian. Apa yang membuat mereka jadi level tertinggi? Konsekuensinya. Sekali ketahuan, habis sudah nasib penyedia joki dan pengguna. Sedikit yang berani melakukan joki skripsi atau joki ujian. Selain konsekuensi, sering terjadi perdebatan internal moralitas dari penyedia joki itu sendiri. Bukankah salah jika gelar atau nilai yang diperjuangkan dan didambakan banyak orang dan seharusnya diperjuangkan oleh orang terkait malah dikerjakan oleh penyedia joki? Namun, bukankah selama ini juga yang dilakukan oleh penyedia joki salah? Apa bedanya joki tugas akademik biasa dengan joki skripsi? Bukankah sama saja dari joki tugas kecil-kecil itu yang nilainya A atau A- itu yang akan dicetak dalam ijazah? Jawaban akan dibahas di akhir tulisan.

Pengalaman penulis sama saja dengan joki tugas lainnya. Berawal dari kesempatan dalam kesempitan. Punya waktu luang dan dompet tipis mendorong penulis untuk mengiyakan permintaan teman—yang awalnya satu orang jadi mulut ke mulut. Tugasnya juga bervariasi, mulai dari makalah, jurnal, verbatim, hingga tes TOEFL. Penulis tidak se-hardcore penjaja joki tugas di media sosial. Jadi, tidak ada fixed price, tapi bukan berarti bisa seikhlasnya. Biasanya dalam menetapkan harga dilihat dulu kapan tenggat waktu dan bobot tugasnya. Kalau dirasa mudah, biasanya Rp5.000/lembar. Untuk verbatim tergantung kesulitan narasinya, semakin cepat artikulasi atau berbobot pembicaraannya bisa makin mahal. Untuk tes TOEFL atau ujian bisa Rp100.000 sampai Rp200.000, tergantung permintaan konsumen ingin dapat skor berapa.

Setelah memulai joki tugas, tidak banyak perubahan yang penulis rasakan. Mungkin merasa bersalah dikit-dikit, berhubung penulis bukan fulltime joki tugas, tapi untuk tutup-tutup tagihan dan foya-foya bisa lah. Sebelum berkecimpung di dunia joki tugas, penulis punya pandangan kalau orang-orang yang menggunakan joki tugas karena malas. Usut punya usut, banyak sekali alasan kenapa orang memutuskan untuk menggunakan jasa joki tugas daripada mengerjakannya sendiri. Paling merenyuh hati ya karena sakit, ditambah pandemi di mana batuk sedetik bikin overthinking sewindu. Karena kebanyakan yang menggunakan jasa penulis adalah orang-orang terdekat, jadi bisa tahu alasan-alasan mereka. Selain sakit juga karena materinya sulit. Keterbatasan metode penyampaian bahan ajar bagi beberapa individu jadi sulit memahami materi. Menyerah, tapi masih ingin nilai bagus, membuat individu-individu tersebut menyerahkan takdir nilainya kepada jasa joki tugas.

Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, fenomena joki tugas ini bukan hal yang baru. Dan sama dengan bentuk joki lainnya, namanya mengerjakan tugas milik orang lain jelas salah. Mau dilihat dari sisi mana pun juga salah. Namun, perlu dilihat kembali alasan mengapa penjaja joki tugas memilih untuk melakukan pekerjaan nonhalal ini. Rekan-rekan penulis yang juga melakukan joki tugas kebanyakan memiliki alasan ekonomi. Sudah kerja sana-sini tetap belum cukup buat memenuhi kebutuhan. Jadilah segala cara dihalalkan dan kapan lagi bisa punya pekerjaan fleksibel dan selalu dibutuhkan kapan pun dan di mana pun. Selain ekonomi, biasanya yang buat penjaja joki tugas bertahan ialah selama tidak melewati moral compass yang mereka pegang. Mayoritas joki tugas lebih merasa aman dan memilih untuk hanya mengerjakan tugas harian. Mereka masih berprinsip kalau tugas harian lebih berbentuk “bantu-bantu kecil” dibanding joki ujian ataupun skripsi. Akan tetapi, pada akhirnya semua joki tugas tetaplah tindakan tercela. Tugas dikerjakan oleh orang lain kemudian diklaim sebagai hasil karya sendiri, bukankah sama saja dengan bentuk kecurangan akademik?

Dalam skripsi berjudul Bentuk Kecurangan Akademik di Kalangan Mahasiswa, Diana (2019) mendefinisikan kecurangan akademik sebagai suatu tindakan tidak jujur yang dilakukan seseorang dalam bidang akademik guna mendapatkan hasil akhir yang baik sesuai dengan yang ia inginkan. Tindakan tidak jujur tersebut berupa menyontek, plagiasi, menjiplak, menyuap, untuk mendapatkan hasil memuaskan dalam karyanya dan mengaku bahwa karya tersebut adalah karyanya sendiri. Walaupun sudah ada persetujuan antara penyedia joki tugas dengan pemakai jasa, tetap saja joki tugas merupakan bentuk kecurangan akademik. Tujuan sekolah atau kuliah yang awalnya untuk belajar malah digunakan sebagai ajang penipuan.

Penulis tentu menyesal dengan apa yang sudah diperbuat. Seharusnya penulis bisa lebih tegas dan tidak tergiur dengan tawaran pengerjaaan tugas yang jadi lari ke mana-mana. Memang kesempitan mendorong kesempatan. Walau begitu, tetap saja kecurangan akademik tidak dapat dibenarkan meski banyak alasan pendorong di belakangnya. Penulis berharap praktik joki tugas dapat dihapuskan dan pendidikan kembali berorientasi sebagai pendidik bukan kompetisi meraih gelar yang penting kelar. Penulis juga berharap pendidik guru maupun dosen dapat menyikapi praktik joki tugas dengan memberikan sanksi bagi pemakai maupun penyedia jasa joki tugas.

Catatan: Tulisan ini adalah hasil kontributor dan belum tentu mencerminkan sikap Pers Suara Mahasiswa UI 2021.

Referensi

Tisa Indriani, Diana. (2019). Bentuk Kecurangan Akademik di Kalangan Mahasiswa. Skripsi. Semarang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang.

Teks: Anonim
Ilustrasi: Berliana Dewi R.
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!